Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Bayangan Cinta Tersembunyi
Malam menggantung berat di atas dermaga pelabuhan yang sunyi, seolah menyimpan napas sebelum badai menerjang. Bau asin laut tercampur bau oli dan darah yang seolah tertinggal dari perang-perang sebelumnya. Di tempat ini, segala hukum runtuh dan malam ini, dua kekuatan bawah tanah paling ditakuti di Asia Tenggara saling beradu.
Red Scorpio, geng mafia brutal dari jalur Jepang-Taiwan, berdiri di sisi kiri dermaga dengan pimpinan mereka, Koji Nakamura, yang terkenal karena disiplin militernya dan taktik penyergapan yang mematikan. Wajahnya dingin dan sinis, tubuhnya kaku seperti prajurit, dan matanya penuh perhitungan.
Di sisi seberang, berdiri Valtherion Syndicate, kelompok yang dibesarkan Alexio Dirgantara dan kini dipimpin langsung oleh tangan kanannya, Jay Tanaka. Tubuh tinggi kekar Jay dihiasi bekas luka masa lalu, namun sorot matanya penuh semangat bertarung. Ia kasar di luar, namun sangat protektif terhadap orang-orangnya. Malam ini, dia memimpin pasukan terbaiknya untuk mempertahankan wilayah bisnis dari upaya infiltrasi Red Scorpio.
“Koji,” seru Jay sambil maju beberapa langkah, “Kau pikir kau bisa rebut klien-klien kami hanya dengan gertakan dan strategi kotor?”
Nakamura hanya tersenyum miring, lalu mengangguk ke arah anak buahnya.
“Bukan gertakan. Ini invasi.”
Detik berikutnya, pertempuran pecah.
Valtherion Syndicate bergerak duluan, menyerbu cepat dengan senjata ringan pistol, pisau lempar, dan pentungan baja. Mereka menyebar dengan taktik menyerupai gerilya kota, menyelinap di balik kontainer, melompat dari atas gudang, dan memotong jalur kabur musuh.
Jay menghadapi langsung Koji Nakamura dalam duel satu lawan satu. Jay mengayunkan tongkat baja ke arah kepala Nakamura, tapi pria Jepang itu menangkis dengan tonfa besi, senjata khasnya. Dentuman logam bertemu logam bergema di atas suara peluru dan jeritan.
“Aku tahu gerakanmu, Jay,” bisik Nakamura, lalu menyerang dengan kombinasi lutut dan tonfa yang hampir mengenai rahang Jay.
Tapi Jay berguling ke belakang, menendang kaki lawannya, lalu mengunci leher Koji untuk menjatuhkannya.
Namun Koji cepat. Ia membalikkan posisi dan menyikut Jay hingga berdarah. Jay terhuyung, tapi tak mundur.
“Dan aku tahu betapa brengseknya kau,” desis Jay.
Di sisi lain dermaga, anak buah dari kedua geng saling memburu dalam pertempuran brutal. Beberapa menggunakan pedang katana pendek, ada yang menggunakan shotgun jarak dekat.
Percikan api senjata otomatis menyala-nyala di antara bayangan kontainer. Satu pria Valtherion ditikam dari belakang. Seorang anggota Red Scorpio dihantam batang besi hingga rahangnya hancur. Baku hantam, peluru berseliweran, jeritan dan suara tulang patah memekakkan malam. Ini bukan sekadar perkelahian. Ini perang teritorial.
***
Di waktu yang sama, sebuah mobil hitam melaju kencang di jalanan lengang kota. Di dalamnya, Alexio Dirgantara duduk di kursi belakang bersama Irene. Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan klien di kawasan elit. Wajah Alexio dingin, namun konsentrasi penuh pada ponsel yang baru saja menampilkan pesan dari Davin.
“Jay dalam masalah. Red Scorpio menyerang di Dermaga 17.”
Alexio menyuruh sopirnya berbelok ke arah pelabuhan tanpa menjelaskan pada Irene.
“Kau tinggal di mobil,” ucap Alexio begitu mereka sampai. Suaranya datar namun tegas.
Irene sempat hendak protes, namun membatalkannya. Ia tahu saat seperti ini bukan waktu untuk berdiskusi.
“Baik,” katanya pelan.
Alexio turun dari mobil. Begitu langkahnya menyentuh lantai baja dermaga, ia langsung melepas jas dan bergerak cepat masuk ke arena pertempuran. Rambut hitamnya berantakan ditiup angin laut, dan matanya tajam seperti elang.
***
Jay nyaris roboh. Kepalanya berdarah. Koji Nakamura sudah mengangkat tonfa-nya untuk menghantam sekali lagi hingga sebuah bayangan menghentikan langkahnya.
Alexio.
Pria itu muncul seperti kilat. Dalam sekali gerakan, ia memutar tubuh dan menghantam dagu salah satu anggota Red Scorpio dengan siku. Satu tembakan dilepaskan ke arahnya, tapi Alexio berguling ke samping dan menendang pistol dari tangan penyerang itu.
Ia melangkah seperti bayangan, menyelinap dan menyerang titik-titik vital, leher, lutut, perut. Setiap gerakannya presisi dan mematikan. Dalam waktu singkat, ia menjatuhkan empat orang, tanpa luka berarti.
Jay melihat itu dan tertawa, meski darah mengalir dari pelipisnya.
“Akhirnya kau datang juga, Lex.”
Alexio hanya mengangguk tanpa menjawab. Tapi saat ia sedang bertarung, Irene yang menunggu di mobil menyipitkan mata. Dari kejauhan, di atas salah satu kontainer, ia melihat seseorang bersenjata api, sedang membidik ke arah Alexio.
Matanya membelalak.
“Tidak!”
Tanpa pikir panjang, Irene keluar dari mobil dan berlari ke arah medan tempur. Suara tembakan memekakkan telinga. Dalam detik terakhir sebelum peluru dilepaskan, Irene berteriak sekuat tenaga.
“Alexio!!”
Alexio menoleh. Tepat saat peluru dilepaskan, Irene menghambur ke arahnya, mendorong tubuhnya ke dalam pelukan Alexio. Sang pria memahami situasi dengan cepat dan memeluk Irene balik, merunduk, membiarkan peluru hanya menyobek bagian lengannya.
Darah menyembur, tapi luka itu bukan yang mematikan. Davin dan bala bantuan tiba, melumpuhkan penembak dari atas kontainer. Jay bangkit dengan kepala berlumur darah dan menerjang Koji dengan tenaga terakhir. Serangan bertubi-tubi Jay dan anak buah Valtherion akhirnya memukul mundur Red Scorpio, Koji Nakamura melarikan diri, meninggalkan dermaga dalam kekacauan.
***
Semua terdiam sesaat. Alexio masih memeluk Irene. Napas mereka memburu. Wajah mereka hanya sejengkal. Alexio menatap perempuan itu dalam diam.
“Kau... menyelamatkanku lagi.”
Irene mengalihkan tatapan, menghindari mata pria itu. Dalam hati, ia berkata,
Aku masih membutuhkan kekuatanmu, Alexio. Aku harus merebut Ornadi Corp dari adikku. Tapi jika kita bisa selamat bersama... aku tak keberatan.
Anggota Valtherion kini memandang Irene dengan hormat. Ia bukan hanya wanita di lingkaran bos. Ia sudah dua kali menyelamatkan nyawa Alexio Dirgantara.
***
Malam itu, semua kembali ke markas utama. Dita, dengan cekatan, menyiapkan alat medis. Namun Alexio menolak dibantu. Ia masuk ke kamarnya sendiri. Tak lama, Irene masuk setelah mengetuk pintu. Di dalam, ia melihat Alexio tanpa kemeja, duduk di depan cermin, mencoba memperban luka di lengannya sendiri.
Tubuhnya tinggi, tegap, kulit putih bersih, dan perut berotot jelas terlihat. Tapi lebih dari itu, Irene melihat bekas luka lama, luka tembak, sayatan, dan bekas luka bakar. Ia terdiam sejenak.
“Lukamu... cukup dalam,” ujar Irene.
“Aku pernah lebih parah,” jawab Alexio tanpa menoleh.
“Biar kubantu,” tawar Irene.
“Tak perlu.”
“Kau tak bisa melakukannya sendiri dengan satu tangan. Jangan keras kepala.”
Mereka saling menatap. Irene tak mundur. Akhirnya Alexio menyerah, menyerahkan perban padanya.
Irene perlahan membersihkan luka itu, lalu membalutnya dengan perban steril. Jari-jarinya halus, tapi pasti. Tak ada kata romantis di antara mereka, hanya keheningan yang semakin menegaskan kedekatan emosional yang rumit.
Tanpa Irene sadari, wajah Alexio memerah sedikit. Ia bahkan tak paham apa yang ia rasakan.
***
Sementara itu, di rumah sakit, Reza Ornadi selamat dari maut, tapi kondisinya kritis. Ia kini terbaring koma. Cassandra menangis di pelukan Reno Wiratmaja, sang bodyguard setia yang kini menjadi kekasih rahasianya.
“Papa terpeleset... dia mabuk... dia terlalu stres karena Irene mempermalukan keluarga...” katanya tersedu.
Vania ikut memperkuat cerita itu. Reno, yang jatuh cinta pada Cassandra dan buta akan tipu daya, mempercayainya.
“Aku tahu kau gadis baik, Cass... ini bukan salahmu.”
Cassandra mengangguk, lalu tersenyum samar, penuh manipulasi. Dalam hati, ia tahu, rencananya masih berjalan sempurna.
***
Di markas, Irene berdiri di balkon, menatap kota dari ketinggian. Di belakangnya, Alexio menyusul, berdiri di samping.
“Kau keras kepala,” ucapnya.
“Kau juga,” balas Irene tenang.
Irene tertawa kecil, sebuah momen singkat tanpa perang, tanpa darah.
Namun di hati masing-masing, mereka tahu, perang sesungguhnya belum berakhir.