Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Mobil hitam yang dikendarai Reihan berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Suasana kala itu cukup ramai. Para siswa berhamburan keluar, suara riuh tawa dan obrolan melebur dalam udara sore yang mulai menguning.
Namun Reihan tak bergeming. Tangannya menggenggam erat setir, pandangannya terpaku ke arah gerbang seolah tengah menunggu sesuatu. atau seseorang. Hatinya mulai tak tenang.
Hingga matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal. Alya.
Gadis itu sedang berjalan santai bersama seorang pria. Mereka berbincang ringan, diselingi tawa-tawa kecil yang terdengar renyah, membuat wajah Alya tampak jauh lebih hidup dari biasanya. Sorot matanya berbinar, senyum tak henti tersungging di bibirnya.
Dan itu cukup untuk membakar dada Reihan.
Senyum itu. Senyum yang belum pernah ia lihat sejak mereka tinggal satu rumah. Senyum yang tak pernah ditujukan untuknya.
Rahang Reihan mengeras. Napasnya memburu, mengalirkan amarah yang kian menggunung. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar, menghampiri mereka dengan tatapan menusuk.
...
"Helm-mu," ujar Bagas, menyodorkan helm pada Alya sambil tersenyum hangat. “Kamu beneran nggak mau belajar bawa motor? Masa tiap hari dianterin terus?”
Alya tertawa kecil. “Kalau kamu terus yang nganter, aku sih nggak keberatan.”
Bagas terkekeh. “Hati-hati lho, nanti aku GR.”
Tawa mereka terhenti saat sebuah suara berat dan tajam menusuk dari belakang.
“Alya.”
Suara itu membuat keduanya spontan menoleh. Di sana, berdiri Reihan dengan sorot mata membakar dan rahang mengatup kuat. Pria itu berjalan cepat, menghampiri Alya tanpa memperdulikan keberadaan Bagas. Tangannya langsung mencengkeram lengan Alya.
“Pak Reihan?! Lepaskan? Sakit!” seru Alya mencoba melepaskan diri.
“Diam dan ikut aku,” ucap Reihan dingin, matanya tak pernah lepas dari wajah Alya.
“Aku nggak mau!” Alya menepis, tapi Reihan tetap menariknya dengan paksa.
Langkah-langkah panjang Reihan membuat Alya kesulitan mengikuti. Tubuh mungilnya hampir terseret, dan sesekali tersandung, hingga...
“Eh, mas! Jangan kasar sama perempuan!” Suara tegas Bagas menghentikan langkah Reihan. Tangan Bagas menahan bahu pria itu.
“Jangan ikut campur,” desis Reihan, menatap tajam seolah Bagas adalah ancaman nyata.
“Dia bukan barang yang bisa kamu tarik seenaknya! Dia bilang nggak mau ikut!” Bagas berdiri lebih dekat, menarik lengan Alya ke sisi yang berlawanan.
Kini, Alya berada di tengah dua pria. Lengan kanannya masih dicekal Reihan, dan tangan kirinya dipegang oleh Bagas.
“Lepasin dia!” bentak Bagas.
“Aku bilang JANGAN IKUT CAMPUR!!” bentak Reihan sekali lagi.
“Kalau kamu laki-laki, kamu nggak akan nyakitin perempuan seperti ini!” balas Bagas berani.
Alya mencoba melepaskan diri dari keduanya. “Berhenti! Kalian berdua, berhenti!”
Namun, ketegangan sudah terlanjur memuncak.
Bugh!
Sebuah tinju mendarat telak di wajah Bagas, membuatnya terhuyung dan jatuh ke tanah. Helm yang masih dipegangnya terlempar, dan darah mulai mengalir dari sudut bibirnya.
“BAGAS!!” jerit Alya panik. Ia berlari, berjongkok di sisi Bagas.
“Kamu nggak apa-apa?! Astaga... kamu berdarah!”
Bagas mengangkat satu tangan, berusaha menenangkan Alya.
“Aku nggak apa-apa... cuma sedikit pusing aja.”
Reihan berdiri tak jauh dari mereka, matanya masih menyala marah. Namun, melihat Alya menunduk, menggenggam wajah Bagas dengan penuh kepedulian, membuat hatinya diremukkan rasa cemburu dan kemarahan yang tak terkendali.
“Apa-apaan kamu?! Kamu pikir kamu siapa bisa mukul orang semaumu?!” bentak Alya dengan mata berkaca-kaca.
Reihan hanya menatapnya. Dingin. Beku. Tak menjawab.
“Aku benci kamu, Reihan!” Alya berdiri dan menatapnya tajam. “Aku bukan milikmu! Kamu bukan siapa-siapa untuk bisa memperlakukanku kayak begini!”
Namun Reihan melangkah maju dan dengan satu gerakan cepat, meraih tangan Alya kembali.
“Ayo kita pulang,” ucapnya datar, seolah insiden tadi tak pernah terjadi.
“Aku nggak mau!”
“Kita pulang. Sekarang.”
Reihan mendorong tubuh Alya ke mobil, membukakan pintu dengan kasar. Alya terus meronta.
“Lepaskan aku! Aku bilang aku nggak mau!”
Namun Reihan lebih kuat. Tubuh Alya akhirnya terdorong masuk ke dalam mobil. Ia mencoba membuka pintu dari dalam, tapi Reihan segera membanting pintu hingga tertutup rapat. Suara dentuman pintu membuat beberapa siswa di sekitar mereka menoleh.
Bagas yang masih duduk di tanah mencoba berdiri, tapi Reihan sudah masuk ke kursi kemudi dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu dengan kemarahan yang masih membara.
Di dalam mobil, suasana hening. Alya duduk membeku dengan napas memburu, menahan air mata yang hampir pecah.
Sementara Reihan menggenggam setir dengan keras. Napasnya berat. Dada sesak. Tapi ia tetap melaju, tak berkata apa pun.
“Aku nggak akan pernah maafin kamu,” bisik Alya akhirnya. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menusuk hati Reihan.
Reihan menoleh sedikit, namun tak berkata. Hanya tatapan kosong di kaca spion yang menjawab semuanya.
...
Pintu apartemen terbanting keras saat Reihan membawa Alya masuk. Genggaman tangannya begitu erat, seolah tak ingin melepaskan gadis itu sedetik pun. Tapi arah langkahnya bukan menuju kamar Alya. melainkan ke kamarnya sendiri, kamar yang tidak pernah Alya masuki. Ia terus memberontak, tubuhnya menolak dengan panik, tapi Reihan tetap menyeretnya hingga masuk ke dalam.
Begitu berada di dalam kamar, Reihan menghempaskan tubuh Alya ke tempat tidur dengan kasar. Nafas mereka sama-sama memburu, bukan karena kelelahan, melainkan karena kemarahan yang membakar.
"Sebenarnya apa maumu?!" teriak Alya, matanya menatap tajam penuh luka.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu!" Reihan membalas dengan nada tinggi, wajahnya memerah karena emosi.
"Apa kau lupa kau sudah punya suami, Alya? Tapi lihat dirimu, tertawa lepas dengan pria lain, menatapnya dengan mata berbinar seolah seolah kau miliknya!"
Alya menggertakkan gigi. Air matanya jatuh satu-satu, membasahi pipi yang sudah memerah karena amarah.
"Aku bukan istrimu!" teriaknya, suaranya pecah.
"Kau istriku!" bentak Reihan, suaranya terdengar seperti cambuk yang mengoyak keheningan.
"Kalau begitu… ceraikan aku!" ucap Alya akhirnya, suaranya gemetar namun tegas.
Plak!
Seketika, tamparan keras mendarat di pipinya. Suaranya menggema, membuat kepala Alya menoleh tajam ke samping. Pipinya berdenyut perih, namun matanya lebih dulu memancarkan rasa sakit yang dalam. Ia menatap Reihan dengan sorot mata penuh luka dan kebencian.
"Siapa kau… berani menamparku seperti ini?!" lirihnya dengan napas tersengal, tapi sorot matanya tajam, nyalang.
Reihan yang masih dikuasai emosi, mencengkeram dagu Alya hingga gadis itu meringis menahan sakit.
"Aku suamimu!" desisnya.
"Dan perlu kau ingat baik-baik, sampai mati pun, aku tidak akan pernah menceraikan mu! Sekali lagi kau ucap kata itu, aku tak akan segan berbuat lebih kejam dari ini."
Setelah berkata demikian, Reihan melepaskan cengkeramannya dengan kasar, lalu berbalik, berjalan keluar kamar dan mengunci pintu dari luar.
Di ruang tamu, ia menjatuhkan dirinya di atas sofa. Napasnya memburu, dadanya naik-turun tidak teratur. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menghilangkan amarah pada diri nya. Saat menatap tangannya yang tadi menyentuh pipi Alya, hatinya mencelos.
Tangannya masih panas. Dan di balik kemarahannya tadi. Ada penyesalan yang diam-diam menyelinap. Ia tak bermaksud menyakitinya. Tapi kenyataannya… ia telah melukai gadis yang bahkan tak pernah berhenti mengisi pikirannya.