Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi itu, matahari belum tinggi, tapi Dewi sudah berdiri di dapur rumah Naya dengan tangan memegang gelas kopi dan wajah serius. Sementara itu, Naya duduk di meja makan sambil mengoles selai ke roti bakarnya.
“Ada yang aneh,” gumam Dewi.
“Selain muka lo yang udah kayak sinetron jam tujuh pagi?” sahut Naya santai.
Dewi memutar bola matanya. “Enggak. Serius, Nay. Pak Dewa itu... dia terlalu tahu banyak hal soal gue.”
Naya mendadak menegakkan duduknya. “Lo pikir dia stalker?”
“Bukan. Tapi dia tahu aku suka kopi tanpa gula, dia tahu rumah kakek gue, bahkan pas rapat kemarin, dia kasih aku ruang untuk bicara... seperti dia tahu aku bisa handle topik itu.”
Naya mengunyah roti. “Itu berarti dia memperhatikan lo.”
Dewi mengangguk pelan.
“Dan lo mulai ngerasa... nyaman?” pancing Naya.
“Bukan itu yang bikin gue takut. Gue takut... beneran suka.” jawab Dewi
Naya melongo. “DEWI AYU NINGRAT JATUH CINTA?! ALARM! ALARM!”
“SHHH!”
Mereka saling menatap, lalu sama-sama terdiam, menyadari satu hal: ada sesuatu yang perlahan berubah, bukan hanya di antara Dewi dan Dewa, tapi juga di dalam hati Dewi sendiri.
Pukul sebelas siang, kantor mendadak ramai karena tamu tak terduga datang.
Sepasang sepatu hak tinggi mengetuk lantai lobby, disusul suara wanita yang nyaring, percaya diri, dan nyebelin:
“Halo semuanya. Aku cari Pak Dewa.”
Dewi yang sedang lewat langsung berhenti. Matanya menyapu wanita itu dari atas ke bawah. Rambut panjang coklat gelombang, riasan sempurna, dan... aura mahal.
Nadine.
Wanita itu melirik ke arah Dewi, lalu tersenyum—senyum yang lebih mirip evaluasi penuh sindiran.
“Kamu?” katanya sinis. “Kamu yang kerja di sini juga, ya?”
“Benar,” jawab Dewi datar.
“Staf bagian apa? PR? Admin? Atau... bagian kopi dan snack?” Nadine tertawa kecil, tipis, menusuk.
Dewi menatap lurus. “Bagian yang bikin bos anda percaya sama hasil kerja saya. Bukan tampilan luar.”
“Wah... pintar ngomong juga,” ucap Nadine sambil menaikkan alis. “Tapi ya... siapa pun bisa pintar kalau cuma buat menyenangkan hati Dewa.”
Dewi menatap tajam. “Aku nggak berusaha menyenangkan siapa pun. Kalau dia senang, itu pilihannya. Bukan usahaku.”
Nadine melangkah mendekat. “Hati-hati ya. Dewa itu bukan tipe yang jatuh sembarangan. Apalagi untuk... tipe kamu.”
“Dan kamu bukan orang yang bisa memutuskan siapa tipe siapa,” balas Dewi, senyumnya manis tapi nadanya tajam.
Beberapa staf mulai memperhatikan. Nadine tampak kesal tapi menahan diri.
Dia melengos pergi, masuk ke lift menuju ruangan Dewa.
Beberapa menit kemudian...
Dewi melanjutkan pekerjaannya, mencoba fokus, walau jantungnya masih berdegup cepat karena interaksi barusan. Tapi yang bikin lebih kaget, bukan hanya omongan Nadine—melainkan fakta bahwa Dewa membiarkan wanita seperti itu datang dan bicara seolah-olah mereka punya hubungan khusus.
Sore harinya, Naya sudah duduk bersila di ruang tengah rumah sambil ngetik di laptop, sementara Dewi melemparkan dirinya ke sofa.
“Kamu SERIUS BILANG GITU KE DIA?” tanya Naya.
“Aku bukan tipe cewek yang diem kalau disindir soal harga diri.” jawab Dewi
“Dan kamu juga bukan cewek yang bisa pura-pura cool kalo udah mulai mikirin cowok!” ujar Naya
Dewi menatap langit-langit. “Aku takut, Nay.”
“Takut jatuh cinta?” tanya Naya
Dewi mengangguk. “Aku ini cewek yang kabur dari perjodohan. Yang lari dari status. Tapi... sekarang aku malah...”
Naya mendekat. “Jatuh cinta sama orang yang kamu pikir bukan jodoh kamu , padahal mungkin… dia emang jodoh kamu dari awal?”
Dewi tak menjawab.
Tapi dalam hatinya... dia tahu.
Perasaannya bukan sekadar kekaguman.
Dewa... mengusik sisi terdalam dirinya yang ingin dimengerti, bukan dijinakkan.
...----------------...
Sementara itu, Dewa berdiri di depan rak bukunya, menggenggam bingkai foto kecil. Foto masa kecilnya bersama Dewi.
Dulu mereka bertemu di acara keluarga besar. Kecil, polos, ceria. Dewi kecil tertawa sambil menarik tangan Dewa kecil yang pendiam.
Sekarang... dia sedang jatuh cinta lagi. Pada versi Dewi yang dewasa, liar, kuat, dan tak bisa ditebak.
Dewa menghela napas.
“Nadine datang hari ini...” gumamnya.
Dan saat asistennya bertanya apakah ia akan menjelaskan pada Dewi tentang masa lalu dengan Nadine, Dewa hanya menjawab:
“Belum saatnya. Aku ingin dia tahu siapa aku dari matanya sendiri... bukan dari cerita orang.”
Pagi itu, ruang briefing dipenuhi karyawan dari berbagai divisi. Dewa berdiri di depan layar proyektor, tampak lebih serius dari biasa nya meski sebenarnya, Dewa selalu serius.
“Perusahaan kita akan menangani proyek pengembangan cabang internasional,” katanya tenang, tatapannya menyapu ruangan. “Dan saya sudah menunjuk tim kecil untuk menyusun konsep presentasi dan desain awal.”
Semua orang menunggu nama-nama yang akan disebut.
Dan saat nama terakhir keluar dari mulut Dewa...
“Dewi Ayu.”
Suara gumam langsung terdengar. Mata-mata melirik. Beberapa memasang ekspresi tak percaya. Sementara itu, Nadine yang duduk sebagai ‘konsultan’ luar dalam proyek itu—menyipitkan mata.
Dewi membeku di tempat.
Apa barusan... namanya disebut?
---
Setelah briefing selesai, Dewi menyusul Dewa di koridor.
“Pak, saya...” ia terengah. “Kenapa saya?”
Dewa menoleh pelan. “Karena kamu punya sudut pandang berbeda. Dan saya butuh itu.”
“Bukan karena... hal lain?” tanya Dewi ragu.
Dewa hanya menggeleng kecil. “Saya tak pernah mencampur kerjaan dan... yang bukan kerjaan.”
Lalu ia berjalan pergi, menyisakan Dewi yang masih bingung dengan rasa gugup dan... sesuatu yang tidak bisa ia tolak.
---
Dua hari berikutnya mereka sibuk. Dari membuat konsep, diskusi dengan tim Jepang, hingga menyesuaikan desain dan strategi pemasaran digital. Dan setiap hari, Dewa dan Dewi bekerja bersama—terkadang dalam satu ruangan, hanya berdua.
Kadang diam.
Kadang adu argumen.
Kadang... tertawa bersama.
Seperti dua dunia yang mulai menyatu perlahan.
bersambung