Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Ada apa, Aiden?" tanya Richard.
"Aku tidak bisa menghubungi Rachel. Dia tidak menjawab panggilan aku," jawab Aiden pelan, nyaris seperti bicara pada diri sendiri.
Nada suara Aiden yang agak gemetar membuat Richard terdiam. Biasanya, Aiden tak pernah ambil pusing jika Rachel tidak menjawab telepon. Namun kali ini, raut khawatir jelas terlihat. Jemarinya menekan layar ponsel dengan gelisah.
“Lagi-lagi dia terlihat berubah,” pikir Richard. “Aiden Salvador yang dulu dingin dan cuek, sekarang bisa cemas karena istrinya tidak membalas pesan.”
"Aku akan pulang ke rumah. Kamu kembali saja ke kantor," ujar Aiden sambil menyimpan ponselnya. Suaranya tegas, tapi sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.
Richard mengangguk tanpa banyak tanya. Dia tahu, sahabatnya itu sedang tak ingin diganggu.
Mobil mereka pun berpisah arah. Di dalam mobil yang melaju tenang menuju rumah, Aiden bersandar di kursi sambil mengusap dadanya. Entah mengapa, ada rasa tak nyaman menyelusup ke dalam hatinya, seperti firasat buruk.
“Semoga saja Rachel baik-baik saja,” batin Aiden, matanya menatap kosong ke luar jendela, mencari ketenangan yang sulit ia temukan di dalam dirinya sendiri.
Sementara itu, Rachel yang tak sadarkan diri terbaring lemah di kamar lamanya yang bekas gudang. Napas pelan, tak beraturan. Wajah pucat, nyaris tanpa rona, seolah semua energi telah terkuras habis dari tubuhnya. Sudah lebih dari empat jam dia tak bergerak, seakan waktu berhenti di sekelilingnya. Ruangan itu pengap, jendela tertutup rapat, dan lampu remang-remang membuat suasana semakin muram.
Di lantai bawah, suasana berubah saat langkah Aiden menggema dari balik pintu depan. Wajah tegang, napasnya terburu-buru. Ia tampak tidak seperti biasanya. Jelas sekali pria itu tidak tenang sepeti biasanya, tetapi terlihat gelisah.
"Loh, Aiden! Kenapa kamu sudah pulang?" tanya Nenek Hilda yang duduk santai di ruang tamu. Suaranya dibuat setenang mungkin, meski dia kaget di dalam hatinya. Wajah wanita tua itu mencoba tampak biasa, tapi matanya melirik ke arah tangga dengan gugup.
"Rachel mana, Grandma?" tanya Aiden, tajam dan tak ingin dibohongi.
Nenek Hilda tercekat. Sejenak dia kehilangan kata-kata. Kerongkongannya kering.
"E ... tidak tahu. Sejak tadi Grandma duduk di sini. Tapi, tidak melihat Rachel." Suara Nenek Hilda terdengar bergetar, tak setegas biasanya.
Aiden tidak menjawab. Langsung saja dia naik ke lantai atas, langkahnya tergesa-gesa. Jantung pria itu berdetak cepat, seperti firasat buruk menyelinap ke dadanya. Di ruang kerja tak ada siapa-siapa. Ruangan itu dalam keadaan rapi, tidak terlihat ada bekas jejak orang.
"Apa dia sedang tidur siang? Biasanya, dia jarang melakukan itu, " gumam Aiden. Ada rasa curiga yang mulai menjalar dari tengkuknya.
Dia menuju kamar tidur utama. Kosong juga. Gorden melambai pelan ditiup angin dari celah jendela, seolah mengisyaratkan ketidakhadiran sang penghuni.
Sementara itu, Nenek Hilda yang mendengar langkah cucunya menjauh, segera memberi aba-aba pada pelayan. Dengan sigap mereka membawa tubuh Rachel yang masih lemas ke ruang keluarga. Mereka membaringkannya di sofa, menyalakan televisi dan menata selimut agar seolah-olah wanita itu hanya tertidur sambil menonton.
Aiden yang turun terburu-buru menuju ke lantai bawah. Perasaannya menaruh curiga Rachel ada di sana.
"Rachel?" Aiden membuka kamar masa lalu Rachel. Namun, ruangan itu pun kosong. Rasa panik mulai mencengkram, Aiden.
“Sebenarnya ke mana perginya dia?” desis Aiden, wajahnya mengeras. Pandangannya menyapu sekeliling rumah, seolah mencoba menembus dinding dengan tatapannya.
Saat dia berpapasan dengan salah satu pelayan, suaranya terdengar tajam. “Tuan sedang mencari siapa?” tanya pelayan itu dengan sopan, walau ada ketakutan dalam sorot matanya.
“Nyonya Rachel di mana?”
“Tadi aku lihat Nyonya sedang menonton televisi,” jawab pelayan itu cepat, menunduk dalam, takut salah ucap.
Tanpa pikir panjang, Aiden melesat ke ruang keluarga. Langkahnya panjang-panjang, seperti sedang mengejar sesuatu yang penting. Di sana, dia melihat Rachel terbaring dengan posisi santai, wajahnya menghadap layar TV yang menyala tanpa suara.
Rasa lega merayapi wajah Aiden. "Kenapa kamu tidur di sini?" tanyanya pelan, mendekat dan menatap wajah pucat Rachel dengan alis bertaut. "Kalau ngantuk, seharusnya tidur di kamar."
Aiden mencolek pipi istrinya, berharap respons. Namun, tak ada. "Rachel, bangun! Kamu sudah makan siang, belum?"
Aiden mengguncang pelan lengan Rachel. Masih tidak ada reaksi. Aiden mengira kalau istrinya itu terlalu lelah bekerja. Karena banyak sekali dokumen yang harus diperiksa olehnya.
“Kayaknya tubuh ini masih kuat buat menggendong,” gumam Aiden, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Perlahan, Aiden menyelipkan tangan di bawah tubuh Rachel dan mengangkatnya. Tubuh wanita itu terasa sangat ringan, terlalu ringan, seperti berat anak kecil. Dia menghela napas, mencoba menyingkirkan bayangan buruk dari pikirannya.
Dari kejauhan, Nenek Hilda dan Hillary mengintip di balik tembok. Wajah mereka tegang, berharap Rachel tetap bungkam dan tidak melaporkan perlakuan mereka kepada Aiden. Rasa takut menggelayut seperti awan mendung di atas kepala mereka.
Aiden membaringkan tubuh Rachel di atas ranjang. Saat itu matanya menangkap sesuatu. Ada noda merah samar di leher belakang Rachel, tersembunyi di balik helaian rambutnya.
Pria itu mendekat, menyingkap rambut itu, dan matanya melebar. Luka lebam, merah keunguan dan bentuk memanjang. Itu adalah luka baru. Tanda yang jelas akibat cambukan. Tangan Aiden bergetar saat menyentuh kulit istrinya.
"Siapa yang berani melakukan ini?!" suara Aiden menggema, kali ini penuh amarah. Dadanya bergemuruh seperti gunung yang hendak meletus. Matanya menatap tajam ke luar kamar, bersiap untuk mencerca penghuni rumah lainnya.
***
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀❤❤❤❤