NovelToon NovelToon
Pemburu Para Dewa

Pemburu Para Dewa

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sistem / Kelahiran kembali menjadi kuat / Akademi Sihir / Harem / Elf
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ex_yu

Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.

Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.

Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.

Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.

Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8. Cahaya Pelangi.

Bab 08. Cahaya Pelangi.

Suara berat pintu gerbang kota yang terbuka bergema. Kota Velden, yang sempat terkunci karena serangan monster, kini telah terbuka bagi para pejuang yang telah menghalau ancaman goblin. Namun suasana kemenangan itu ternoda oleh atmosfer ketegangan yang mencekam.

Jeno Urias melangkah dengan ketenangan yang hampir supernatural. Setiap langkahnya di atas batu cobblestone yang kokoh menghasilkan gema yang terdengar lebih keras dari seharusnya, seakan alam semesta sendiri sedang menahan napas. Wajahnya yang tenang bagaikan permukaan danau di malam bulan purnama, tampak damai di permukaan, namun menyimpan kedalaman yang tak terhingga.

Ratusan pasang mata mengikuti pergerakannya. Warga kota yang berdiri di balik jendela-jendela kayu, pedagang yang mengintip dari balik lapak mereka, bahkan anak-anak kecil yang bersembunyi di belakang rok ibu mereka: semua menatap dengan campuran rasa ingin tahu dan ketakutan yang mendalam. Bisikan-bisikan mulai terdengar, menyebar seperti api yang membakar jerami kering.

"Iblis..." bisik seorang wanita paruh baya sambil merapat-rapatkan selendang di bahunya.

"Dia yang membuat ledakan mengerikan itu..." gumam seorang pria bertubuh besar sambil memegang kapak kerjanya lebih erat.

Namun di tengah lautan kecurigaan itu, ada sepasang mata yang menatap dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Rinka, gadis Beastkin Darewolf dengan telinga runcing yang bergerak-gerak gelisah, berdiri dengan postur tegap di antara kerumunan. Matanya yang berwarna amber berkilau dengan determinasi yang kuat.

"Ren, Kael," bisiknya kepada dua rekannya yang masih berkutat dengan mayat-mayat goblin. "Kumpulkan semua telinga kiri goblin. Aku akan menyusul Jeno."

Toma, yang sedang membersihkan darah dari kapak perangnya, mengangguk. "Kami akan menyusul setelah selesai, Rinka."

Doru, si penyihir muda yang masih terlihat pucat setelah menyaksikan kekuatan Jeno, menggenggam tongkat kayunya dengan erat. "Kau yakin dia bukan... maksudku, kekuatan seperti itu..."

"Dia menyelamatkan kita dari Troll," Rinka memotong dengan suara yang penuh keyakinan. "Orang yang menyelamatkan nyawa tidak mungkin adalah iblis."

Ketiga orang itu kemudian berlari mengejar Jeno yang sudah hampir mencapai jembatan penghubung menuju gerbang utama kota. Jembatan batu kuno itu membentang di atas parit yang dalam, dengan ukiran-ukiran rune kuno yang bersinar samar di sisi-sisinya.

"Kak Jeno!" Rinka berteriak sambil berlari, napasnya tersengal-sengal. "Tunggu!"

Jeno berhenti dan menoleh. Untuk sesaat, ekspresi dinginnya melembut saat melihat ketiga orang itu.

"Jangan..." Rinka terhenti sejenak untuk mengatur napas, "jangan ambil hati dengan tuduhan Arbelista tadi. Dia hanya iri karena kau lebih kuat darinya."

Sebuah senyuman tipis, nyaris tak terlihat di bibir Jeno. "Arbelista?" ia bergumam pelan, suaranya mengandung nada yang aneh. "Dia tidak lebih dari hama yang berlindung di balik cahaya suci yang palsu."

Toma dan Doru saling melirik, tidak mengerti maksud perkataan Jeno. Namun ada sesuatu dalam cara dia mengucapkan kata-kata itu, seakan dia tahu sesuatu yang mereka tidak tahu.

"Bagaimanapun juga," Rinka melanjutkan sambil mengangguk, "kau menyelamatkan kota ini. Cara kau mengalahkan pemimpin goblin itu... itu luar biasa."

Doru, yang rasa ingin tahunya sebagai penyembuh tidak bisa ditahan lagi, melangkah maju. "Kak Jeno, bolehkah aku bertanya? Sihir apa yang kau gunakan tadi? Aku belum pernah melihat ledakan sekuat itu tanpa mantra panjang atau ritual kompleks."

Jeno menatap ketiga orang di hadapannya. Mereka adalah orang-orang yang telah memperlakukannya dengan baik, tidak seperti kebanyakan orang lain yang dengan mudahnya menuduh tanpa bukti. Namun ada beberapa kebenaran yang terlalu berbahaya untuk dibagi.

"Sihir tingkat tinggi," jawabnya dengan nada datar, "yang dipadukan dengan kekuatan fisik. Tidak ada yang istimewa."

Sebelum Doru bisa bertanya lebih lanjut, suara derap kuda yang keras menggema dari belakang mereka. Jeno dan yang lainnya menoleh, dan melihat Arbelista yang menunggangi kuda putihnya dengan wajah merah padam. Di belakangnya, beberapa prajurit berbaris dengan armor yang berkilau.

"HEI PRIA IBLIS!" teriak Arbelista sambil menarik tali kekang kudanya hingga binatang itu berdiri dengan kaki depan terangkat. "Kau pikir bisa lolos begitu saja?"

Jeno berbalik menghadap Kesatria Suci itu dengan ketenangan yang kontras dengan kemarahan Arbelista. "Ada apa lagi?"

"Kau adalah iblis berkedok manusia!" Arbelista turun dari kudanya dengan gerakan dramatis, pedang suci di tangannya berkilau dengan cahaya keemasan. "Dan aku menuntut kau membuktikan bahwa kau bukan iblis!"

Suara tawa yang dingin dan mengejek keluar dari mulut Jeno. Suara itu bergema di jembatan batu, menciptakan harmoni yang aneh dan menakutkan. Beberapa warga yang sedang mengintip dari kejauhan mundur selangkah.

"Membuktikan bahwa aku bukan iblis?" Jeno menggelengkan kepalanya sambil tersenyum sinis. "Arbelista, aku tidak tahu kau adalah orang yang tidak memiliki otak. Bagaimana seseorang bisa membuktikan sesuatu yang tidak ada?"

Wajah Arbelista menjadi semakin merah. "Kau—"

"Bahkan," Jeno melanjutkan dengan nada yang semakin dingin, "aku mulai meragukan apakah kau benar-benar seorang Kesatria Suci. Seorang kesatria sejati tidak akan menuduh tanpa bukti, apalagi kepada orang yang telah menyelamatkan kota yang seharusnya dia lindungi."

Kata-kata itu seperti tamparan keras di wajah Arbelista. Dia mencabut pedangnya dari sarung, cahaya suci yang memancar dari bilah itu menjadi semakin terang karena emosinya yang tidak terkendali.

"KAU BERANI MENGHINA KEHORMATAN KESATRIA SUCI!" teriaknya sambil mengangkat pedang tinggi-tinggi. "BERSIAPLAH UNTUK MERASAKAN KEADILAN!"

Namun sebelum pedang itu bisa diturunkan, sebuah suara yang tenang namun penuh otoritas menghentikan semua gerakan.

"Cukup, Arbelista."

Seorang pria paruh baya dengan jenggot abu-abu dan mata yang bijaksana melangkah keluar dari kerumunan. Dia mengenakan jubah coklat sederhana dengan emblem Serikat Petualang di dadanya, dengan simbol pedang yang dikelilingi oleh tujuh bintang. Auranya tenang namun mengandung kekuatan yang tidak bisa diremehkan.

Arbelista mengenali sosok itu dan dengan enggan menyarungkan pedangnya. "Justus, tapi orang ini—"

"Adalah seseorang yang telah menyelamatkan kota kita," Justus memotong dengan suara yang tegas. "Dan tuduhan tanpa bukti adalah hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang kesatria."

Mata Justus yang tajam memindai Jeno dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ada sesuatu dalam tatapan itu: seakan dia bisa melihat lebih dari yang terlihat oleh mata biasa.

"Namun," Justus melanjutkan sambil mengeluarkan sebuah bola kristal sebesar kepalan tangan dari kantong jubahnya, "untuk menghilangkan keraguan dan menghentikan tuduhan yang tidak perlu, kita akan menggunakan ini."

Bola kristal itu berkilau dengan cahaya yang lembut, permukaannya halus seperti air yang membeku. Ukiran-ukiran rune kuno berputar-putar di dalamnya, menciptakan pola yang hipnotis.

"Kristal Pendeteksi Mana," Justus menjelaskan dengan suara yang dapat didengar oleh semua orang di sekitar. "Artefak kuno yang bisa mengungkap sifat sejati dari energi sihir seseorang. Jika dia benar-benar iblis, kristal ini akan menunjukkan aura gelap yang korup."

Kerumunan yang tadinya menyebar mulai berkumpul lagi. Warga kota, pedagang, bahkan beberapa petualang yang tadi masih berada di luar gerbang, semua ingin menyaksikan momen yang akan menentukan ini.

Arbelista tersenyum puas. "Bagus. Akhirnya kita akan tahu siapa sebenarnya orang ini."

Justus mendekat ke Jeno sambil mengulurkan kristal itu. "Anak muda, mohon letakkan telapak tangan Anda di atas kristal ini dan alirkan sedikit energi sihir. Prosesnya tidak akan membahayakan."

Jeno menatap kristal itu dengan mata yang tidak menunjukkan emosi apapun. Di sekelilingnya, ratusan pasang mata memandang dengan campuran rasa ingin tahu, ketakutan, dan harapan. Beberapa orang, terutama Arbelista, jelas berharap bahwa Jeno Urias memang iblis yang akan menyusup.

Tanpa ragu-ragu, Jeno mengulurkan tangan kirinya dan meletakkannya di atas permukaan kristal yang dingin. Ia menutup mata sejenak, berkonsentrasi, lalu mengalirkan sedikit energi sihir ke dalam kristal.

Yang terjadi selanjutnya membuat semua orang terdiam dalam kekaguman.

Kristal itu tidak hanya bersinar, tapi bercahaya indah dan menakjubkan. Tujuh warna pelangi yang sempurna mengalir di dalam kristal, berputar-putar dalam tarian yang memesona. Cahayanya begitu murni dan hangat, membuat semua orang yang melihatnya merasa damai.

Namun yang paling mencengangkan adalah intensitas cahayanya. Kristal itu bersinar begitu terang hingga cahayanya terlihat bahkan di siang hari, memantul dari dinding-dinding batu di sekitar jembatan dan menciptakan fenomena aurora mini di udara.

Justus, yang memegang kristal itu, tangannya bergetar hebat. Sebagai seorang yang berpengalaman puluhan tahun dengan berbagai jenis sihir, dia tahu betul apa arti cahaya pelangi dengan intensitas seperti ini.

"Ya Tuhan..." bisiknya dengan suara yang bergetar. "Ini... ini tidak mungkin..."

Kerumunan yang tadinya berisik kini sunyi total. Bahkan angin seakan berhenti bertiup. Semua orang menatap kristal yang masih bersinar dengan mata terbelalak.

"Apa... apa artinya?" tanya seorang wanita dari kerumunan dengan suara yang nyaris bisikan.

Justus mengangkat kristal tinggi-tinggi agar semua orang bisa melihat. Suaranya bergema dengan otoritas yang tidak bisa dibantah.

"Pemuda ini," katanya dengan suara yang penuh kekaguman, "bukanlah iblis. Dia adalah manusia yang diberkahi oleh para dewa. Cahaya pelangi menunjukkan kemurnian jiwa yang luar biasa... sesuatu yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang dipilih langit."

Keheningan itu pecah oleh berbagai reaksi. Beberapa orang berseru kagum, yang lain berbisik-bisik dengan wajah tidak percaya. Namun yang paling jelas adalah rasa malu yang mendalam di wajah Arbelista.

Kesatria Suci itu berdiri dengan wajah pucat, tangannya mengepal erat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbalik dan melompat ke atas kudanya.

"Kita belum selesai," bisiknya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Jeno. Matanya yang biru berkilau dengan dendam yang mendalam. "Aku akan mengingat ini."

Dengan sentakan tali kekang yang keras, Arbelista memacu kudanya menjauh, diikuti oleh para prajuritnya. Derap kuda mereka menggema di jalan batu, perlahan menghilang di kejauhan.

"JENO!" Rinka berteriak dengan suara yang penuh kegembiraan. "Kau dengar itu? Kau bukan iblis!"

Toma dan Doru ikut bersorak, wajah mereka berseri-seri. Bahkan beberapa warga yang tadi mencurigai mulai tersenyum dan mengangguk-angguk dengan hormat.

"Tentu saja dia bukan iblis," Rinka melanjutkan dengan suara yang lebih keras, agar semua orang bisa mendengar. "Dia adalah orang yang menyelamatkan tim kami dari Troll di Pegunungan Pemangku Dunia!"

Pernyataan itu membuat kerumunan semakin terkejut. Beberapa orang yang mendengar kata 'Troll' langsung bereaksi dengan wajah tidak percaya.

"Troll?" seru seorang petualang yang berdiri di pinggir kerumunan. "Troll yang sering memakan orang? Monster kategori A yang sudah membunuh belasan petualang?"

"Ya!" Rinka mengangguk dengan antusias. "Jeno mengalahkannya sendirian untuk menyelamatkan kami!"

Kini tatapan orang-orang terhadap Jeno berubah dari kecurigaan menjadi kekaguman dan rasa hormat. Mengalahkan Troll adalah prestasi yang bahkan tidak bisa dicapai oleh tim petualang berpengalaman.

Namun di tengah kegembiraan itu, Jeno sendiri malah terlihat bingung. Dia menatap kristal yang masih bersinar di tangan Justus dengan kerutan di dahi.

"Tuan Justus," katanya dengan nada bertanya, "apa sebenarnya arti cahaya pelangi ini? Saya... saya tidak mengerti."

Justus menatap Jeno dengan mata yang penuh makna. Ada sesuatu dalam tatapan itu, seakan dia tahu lebih banyak dari yang mau dia katakan.

"Cahaya pelangi," jawabnya dengan hati-hati, "menunjukkan bahwa Anda memiliki jiwa yang murni, tanpa noda kegelapan. Anda pasti orang yang diberkahi."

Namun Jeno bisa merasakan bahwa itu bukan penjelasan yang lengkap. Ada sesuatu yang disembunyikan Justus, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar 'jiwa yang murni'.

"Anak muda," Justus melanjutkan sambil menyimpan kristal kembali ke kantong jubahnya, "mohon ikut saya ke kantor Serikat Petualang. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan."

Ia berjalan menuju Jeno dengan langkah yang penuh hormat. "Bolehkah saya mengetahui nama lengkap Anda?"

"Jeno," jawab Jeno dengan singkat. "Panggil Jeno saja."

"Apakah Anda sudah memiliki identitas resmi di kerajaan?"

Jeno menggelengkan kepala. "Tidak. Saya berasal dari dusun terpencil di Pegunungan Pemangku Dunia. Tempat yang bahkan tidak memiliki nama."

Justus mengangguk dengan pemahaman. "Baiklah. Kita akan mengurus semua dokumentasi yang diperlukan. Seseorang dengan kemampuan seperti Anda pasti akan sangat berharga bagi Serikat Petualang."

Saat mereka berjalan menuju kantor Serikat Petualang, Jeno tidak menyadari bahwa dari balik jendela sebuah menara tinggi, sepasang mata tajam mengamati seluruh kejadian dengan penuh perhatian. Mata itu milik seorang yang paham betul bahwa cahaya pelangi dari Kristal Pendeteksi Mana bukanlah hal yang biasa, bahkan untuk standar 'orang yang diberkahi'.

Dan di kejauhan, Arbelista yang masih menunggangi kudanya berhenti sejenak. Dia menoleh ke belakang, menatap kota yang perlahan menghilang dari pandangan.

"Cahaya pelangi," bisiknya dengan suara yang penuh kebencian. "Tidak ada yang bisa sesuci itu. Pasti bola kristal itu dimanipulasi."

Dia memacu kudanya lebih cepat, meninggalkan jejak debu di belakangnya. Namun di dalam hatinya, benih dendam telah ditanam. Dan suatu hari nanti, benih itu akan tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.

Sementara itu, Kota Velden yang sempat diliputi ketakutan kini kembali hidup dengan aktivitas normal. Namun ada yang berubah, nama Jeno kini mulai dikenal sebagai penyelamat kota.

Dan di balik semua itu, rahasia yang sesungguhnya tentang siapa sebenarnya Jeno Urias masih tersimpan rapat. Cahaya pelangi yang terpancar dari kristal itu bukan hanya menunjukkan kemurnian jiwa, ia menunjukkan sesuatu yang jauh lebih mendalam, sesuatu yang bahkan Justus yang berpengalaman pun tidak berani mengungkapkannya di hadapan publik.

1
black swan
...
Kang Comen
Udh OP malah gk bisa terbang ????
Situ Sehat ??!
Kang Comen
lah mkin trun jauh kekuatan nya....
Buang Sengketa
masih pingin baca petualangan excel 😁
Stra_Rdr
kerennnn🔥🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!