Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 07 Lelah
Berkat Paman Adi yang menghubungi Dzaka pada detik-detik terakhir, dia kini berdiri di samping pintu kecil pada dinding yang menjulang tinggi di belakang mansion Keluarga Emir.
“Ayo, Tuan Muda!” Paman Adi langsung berjalan di depan Dzaka seraya memerhatikan sekitar dengan was-was. Dzaka mengikuti langkah Paman Adi dengan perasaan gelisah. Sebab, tidak seharusnya dia berada di sini. Dzaka hanya tidak enak hati menolak ajakan Paman Adi.
Terlebih Paman Adi menyogok dengan siomay super pedas dari warung langganannya. Salahkan dirinya yang tergila-gila pada makanan super pedas, hingga sangat mudah disogok.
“Tuan Muda tunggu di sini sebentar!” Paman Adi langsung berjalan mengecek keadaan halaman belakang. Dzaka terpaksa menunggu di balik gazebo itu dengan was-was.
Derap langkah terdengar mendekat ke posisi Dzaka. Tak lama suara berat menyapa indera pendengaran Dzaka, hingga tubuhnya menegang seketika. Suara percakapan itu terdengar semakin dekat, membuat jantung Dzaka berdegup lebih kencang.
Wajahnya berubah pucat pasi dan bulir keringat dingin bermunculan di keningnya. Dzaka menyatukan kedua telapak tangannya dan mengepalnya hingga buku-buku putih terlihat.
“Ternyata Ardi itu bukan berutang pada rentenir, Tuan.” Telinga Dzaka langsung fokus mendengar nama itu disebut.
“Lantas? Di mana lagi dia berutang dengan bunga sebesar itu?” Sosok dengan suara berat nan serak itu mendudukkan diri di gazebo.
Hal itu lantas membuat Dzaka semakin merapatkan tubuhnya pada dinding gazebo. Susah payah ia mengatur deru napasnya agar tak didengar orang-orang di depan gazebo.
“Dari informasi yang saya dapatkan, Ardi meminjam uang pada sebuah organisasi, Tuan,” ujar sosok yang masih berdiri membuat tuannya mengernyit heran.
“Apa ada organisasi seperti itu? Setau saya organisasi yang ada di kota ini tidak cukup mumpuni menyediakan jasa pinjaman.” Hal itu lantas membuat bawahannya hanya mampu menggeleng pelan.
“Permisi, Tuan. Tamunya sudah datang,” ujar Paman Adi yang baru saja tiba dengan sedikit gemetar. Namun, hal itu berhasil membuat Tuan Emir dan bawahannya tadi beranjak menjauh.
Setelah memastikan Tuan Emir tak lagi terlihat, Paman Adi menghampiri Dzaka yang bersandar lemas pada dinding gazebo. Wajahnya semakin pucat, ujung-ujung jarinya pun memutih bahkan terasa dingin.
“Tuan Muda tidak apa-apa?” tanya Paman Adi yang khawatir melihat kondisi Dzaka.
Dzaka hanya mampu menggeleng lemah. Tenaganya seperti tersedot habis lantaran berada dalam kondisi menegangkan seperti barusan. Bulir-bulir keringat dingin mengalir dari pelipisnya.
"Terima kasih, Paman," ujar Dzaka lirih dibalas anggukan singkat dari Paman Adi.
Akhirnya Paman Adi memapah Dzaka ke paviliun. Paman Adi mendudukkannya di sofa dan menyerahkan segelas air putih yang langsung diteguk habis oleh Dzaka.
Setelahnya Dzaka sudah disambut dengan sepiring siomay super pedas yang dijanjikan Paman Adi. Meski tenaganya belum begitu pulih, Dzaka memaksakan langkahnya menuju meja makan. Tiba-tiba saja perutnya meronta minta diisi segera.
“Makan yang banyak, Tuan Muda. Tumbuhlah menjadi lebih kuat dari siapa pun,” ujar Paman Adi seraya menatap tulus pada Dzaka yang menyantap makanan di hadapannya dengan lahap.
Dzaka hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Paman Adi. Dia tak pernah terpikir kekuatan seperti apa yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan yang menantinya. Rasanya selama ini Dzaka sudah berusaha menjadi kuat, tapi semakin hari kehidupan yang dihadapinya terasa lebih berat.
“Oh iya, saya sampai lupa. Jadi, tujuan saya ngajak Tuan Muda bertemu di sini untuk menyampaikan berita bahwa Ardi sudah ditangkap, berkat orang suruhan Tuan Emir yang berhasil menemukan data penggelapan dana pelatihan olimpiade sains dan penerimaan sogokan di Sky High School.” Hal itu berhasil mengalihkan atensi Dzaka.
Tadi ia mendengar ‘orang itu’ dan bawahannya membahas utang Pak Ardi, bukan penggelapan dana maupun menerima sogokan.
“Dari yang saya tau uang itu digunakan untuk membayar utang dengan bunga yang sangat besar.”
Informasi yang diberikan Paman Adi membuat Dzaka mengaitkannya dengan apa yang dia dengar tadi.
“Katanya sih, utangnya sampai sekarang belum lunas. Meski di penjara pun, Ardi bilang nyawanya terancam.” Paman Adi tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.” Rentenir zaman sekarang mengerikan, ya, Tuan Muda.”
Bukan rentenir, Paman. Tapi sebuah organisasi, batin Dzaka.
Dzaka menatap Paman Adi jenaka. “Paman pasti menguping lagi, ya.” Ucapan telak dari Dzaka hanya dibalas tawa ringan Paman Adi. Sudah bukan hal baru bagi Dzaka mendapati informasi rahasia seperti ini berkat telinga Paman Adi yang tajam.
Ponsel Dzaka berdering menampilkan nama Bi Edah. Dzaka lantas menghentikan makannya dan segera mengangkat telepon dari pengasuhnya itu.
“Halo, Bi.”
“Den Dzaka udah selesai urusannya? Pengawal-pengawal itu udah nanyain. Bi Edah bilang Den Dzaka janjinya pulang jam 7.”
Suara Bi Edah terdengar begitu gelisah membuat Dzaka memilih segera beranjak. “Dzaka pulang sekarang, Bi!” Ia bergegas mengambil tasnya dan keluar dari paviliun.
“Biar saya antar, Tuan Muda!” Paman Adi sudah berdiri di hadapan Dzaka dan berjalan bersamaan menuju motor Dzaka.
Mengingat kondisi Dzaka yang kurang baik, Paman Adi lah yang mengendarakan motor milik Dzaka. Saat sudah dekat dengan rumah Dzaka, Paman Adi menepikan motor.
“Kalau begitu silakan Tuan Muda masuk terlebih dahulu. Saya harus memastikan Tuan Muda aman.” Paman Adi berdiri di samping motor Dzaka.
Dzaka mengangguk dan menyalakan mesin motornya. “Dzaka udah pesan ojek online buat Paman. Sebentar lagi sampai kok. Terima kasih udah nganterin Dzaka. Kalau gitu Dzaka pamit, Paman.”
Melihat Dzaka datang, satpam langsung membukakan gerbang dan membiarkan Dzaka melajukan motornya ke garasi. Bi Edah menyambutnya dengan wajah lega yang begitu kentara.
“Dzaka ke kamar dulu, ya, Bi. Abis ini Dzaka makan.” Ia beranjak menuju kamarnya di lantai dua dan merebahkan tubuh lelahnya dengan posisi telentang.
...----------------...
“Organisasi, ya. Kayaknya di markas gue bisa nyari info,” lirih Dzaka bermonolog.
Lamunan Dzaka terhenti saat panggilan dari Bi Edah terdengar. Dia teringat bahwa sudah waktunya untuk makan malam. Dzaka menuju ruang makan dengan pikiran yang masih berkecamuk.
Dia hanya bisa tersenyum getir melihat mangkuk berisi mashed potato cheese di atas meja makan. Hatinya berdenyut nyeri. Entah dia harus berbuat apa setiap kali hatinya mengeluhkan kondisinya yang berbeda dari orang lain.
Dzaka duduk untuk menyuap sedikit demi sedikit mashed potato cheese itu ke dalam mulutnya. Selalu enak seperti biasanya, tapi Dzaka selalu merasa sesak saat memakannya.
Lihatlah. Kenyatannya dunia ini memang tak berpihak pada Dzaka. Dalam hal mengisi perut saja, dia tetap dibatasi. Dzaka tak bisa makan nasi seperti orang-orang. Sebagai gantinya, dia memakan olahan makanan berbahan dasar kentang.
Tak ingin mendapat masalah, setelah kembali ke kamar, Dzaka segera membuka bukunya dan mulai belajar. Saat sedang serius belajar, jarinya terasa perih. Dzaka meringis melihat jarinya melepuh. Dia segera mengambil kotak P3K dan mengeluarkan plester luka.
Seraya memasang plester luka, Dzaka kembali tersenyum getir. Lihatlah, bekas-bekas lepuhan yang lalu saja belum membaik. Dia merasa bersalah sekaligus iba pada dirinya sendiri.
“Bersabarlah lebih lama lagi. Gue masih belum punya kekuatan untuk berdiri sendiri. Gue emang lemah,” lirih Dzaka seraya kembali ke meja belajarnya.
Fisiknya yang lelah membuat Dzaka tertidur dengan posisi yang tidak nyaman. Dia menjadikan lututnya sebagai penopang kepala, meringkuk di atas kursi belajar dengan cahaya lampu remang.
“Bi! Bi Edah! Kenapa Bi Edah diam aja?” desak anak itu tak sabaran.
“T-tapi, Den.” Bi Edah terlihat gelisah.
“Dzaka udah gede, Bi Edah. Tahun ajaran baru Dzaka udah masuk SMP. Bi Edah nggak boleh gini terus.” Anak itu merasa ia harus mendapatkan jawabannya saat ini. Sebab, sudah sejak lama ia menunggu dan terus menunggu.
Wanita paruh baya itu akhirnya menghela napas berat. Mungkin memang sudah waktunya majikan kecilnya itu tahu semuanya.
“Soal itu .... Sebenarnya—”