NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:969
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Petunjuk

Renaya berdiri di hadapan pintu kamar Adibrata, mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dering ponsel yang dipanggilnya jelas berasal dari ruangan itu. Napasnya memburu, menimbang logika yang terasa tidak masuk akal. Kenapa suara ponsel Sandrawi terdengar dari kamar Adibrata?

Ia memutuskan panggilan, lalu menghubungi lagi.

Dering ponsel itu kembali terdengar, samar namun cukup jelas. Renaya menelan ludah. Rasa penasarannya mengalahkan keraguan, membuatnya mendorong pintu kamar Adibrata yang hanya tertutup setengah.

“Dimana ponsel itu?” gumamnya sembari meneliti setiap sudut kamar.

Matanya menatap tubuh Adibrata yang masih tergolek lelap di atas kasur. Tanpa membuang waktu, Renaya melangkah mendekat dan mengguncang tubuh adiknya.

“Adibrata, bangun!” sentaknya.

Namun, reaksi yang didapat justru Adibrata yang memeluk gulingnya lebih erat, menggeliat manja seperti anak kecil.

“Dasar, malah tidur lagi!” Renaya mendecak kesal, merampas guling dari pelukan adiknya. Ia mencondongkan tubuh, bertanya tanpa basa-basi, “Di mana kamu sembunyikan ponselnya Sandrawi? Cepat kasih ke Mbak!”

Adibrata membuka sebelah matanya, tampak mengantuk. “Hape apa, Mbak? Aku nggak nyimpen barangnya Mbak Sandrawi,” ucapnya dengan suara parau.

Renaya mendesah panjang, menggeleng kecil. Ia kembali menekan tombol panggilan, dan dering ponsel kembali terdengar di dalam kamar Adibrata.

“Dengar itu?! Ayo ngaku, di mana kamu taruh ponsel Sandrawi?” Renaya mendesak, suaranya meninggi.

Adibrata yang kini sudah lebih sadar, turut mendengarkan dering ponsel itu. Dahinya berkerut, matanya menyapu ruangan.

“Bentar, Mbak. Kayaknya dari arah jendela,” ujar Adibrata.

Ia bangkit, berjalan menuju jendela yang sedikit terbuka. Tangannya menyibak tirai dan alisnya terangkat kaget.

“Loh, kok hapenya Mbak Sandrawi ada di sini?” ucapnya seraya mengambil ponsel tersebut yang terselip di sisi jendela.

Renaya menghampiri dengan langkah sigap. “Jadi… bukan kamu yang ngambil ponselnya Sandrawi?”

Adibrata menggeleng cepat. “Ngapain juga aku ambil, Mbak?”

“Biar Mbak lihat,” ujar Renaya, meraih ponsel itu dari tangan adiknya.

Ia menyalakan layar. Tak ada kunci pengaman. “Sandrawi nggak pernah pakai password, ya?” tanya Renaya setengah bergumam.

Adibrata mengangkat bahu, acuh. “Emang kenapa sih, Mbak? Mbak mau apa?”

Renaya tak menjawab, matanya fokus menelusuri layar. “Cari bukti tentang kematian Sandrawi,” jawabnya tenang namun tajam.

Adibrata menarik napas panjang, mengerutkan dahi. “Bukti apa lagi, Mbak? Kematian Mbak Sandrawi kan udah jelas… murni bunuh diri.”

Ada nada ragu yang berusaha ditutupi Adibrata. Renaya mengangkat kepala, menatap tajam adiknya.

“Ceritakan ke Mbak, gimana kehidupan Sandrawi selama ini,” ucapnya sembari menjatuhkan tubuh ke tepian kasur.

Adibrata tampak gelisah, melirik jam dinding. “Mbak, aku harus berangkat sekolah,” kilahnya, beranjak.

Renaya menarik pergelangan tangannya sebelum sempat melangkah. “Jawab dulu, Adibrata!” tekan Renaya.

Adibrata menunduk, menghela napas panjang sebelum duduk pasrah di samping Renaya.

“Tapi aku tanya sesuatu dulu ke Mbak,” gumamnya.

Renaya menaikkan sebelah alis, “Apa lagi?”

Adibrata menatap langsung ke mata Renaya. “Kenapa Mbak pergi ninggalin aku sama Mbak Sandrawi?”

Pertanyaan itu menghantam keras di dada Renaya. Pertanyaan yang sejak lama ia hindari. Tanpa kata, ia menarik napas dalam, mengalihkan pandangan.

“Kamu tahu alasannya, kan? Mbak nggak ingin membuka luka lama.”

Adibrata mengangguk pelan. “Aku tahu. Karena cuma Mbak yang berani lawan Baskoro. Cuma Mbak yang nggak takut buka suara soal kelakuan dia.”

Renaya menunduk, meremas jemarinya. Adibrata melanjutkan, “Sama kayak Mbak, sejak Ibu pergi, Sandrawi juga jarang pulang. Dia kerja sambil kuliah.”

Renaya menoleh, suaranya menurun, “Kalau nggak tinggal di rumah, Sandrawi tinggal di mana?”

“Ngekos. Baru seminggu terakhir sebelum Ibu pulang, Mbak Sandrawi balik ke rumah.”

Renaya menyipitkan mata. “Kamu tahu alamat kosannya?”

Adibrata mengangguk, “Tau, Mbak. Tapi aku mandi dulu, aku harus sekolah. Kalau Mbak mau ke sana, nanti bareng aku aja.”

Renaya tersenyum tipis. “Baik. Kamu siap-siap.”

Harapan Renaya untuk menemukan secercah jawaban lewat ponsel Sandrawi seketika hancur berantakan, saat matanya terpaku pada satu pesan yang terkirim kepada sang ibu, Ratih.

"Maaf, Bu. Sepertinya Sandrawi nggak bisa pakai kebaya itu, karena Sandrawi nggak akan pernah wisuda. Maaf kalau setelah ini Sandrawi nggak akan jadi kebanggaan Ibu lagi. Sebelum Ibu semakin kecewa, Sandrawi mau minta maaf dulu. Mungkin ini akan jadi permintaan maaf Sandrawi yang terakhir. Semoga Ibu bisa ikhlas memaafkan Sandrawi."

Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamannya. Renaya memegangi kepalanya yang terasa berdenyut hebat. Rasa gamang menyusup begitu saja, menusuk relung hatinya. Bukankah pesan itu sudah menjelaskan semuanya? Sandrawi dengan sadar berpamitan. Lalu, untuk apa Renaya bersusah payah menggali lebih dalam?

Air matanya pecah, deras menetes tanpa bisa ditahan.

“Kenapa kamu bikin semuanya jadi serumit ini, Sandrawi…” bisik Renaya, suaranya tercekat di sela tangisan. Kedua tangannya menutupi wajah, menahan guncangan emosi yang nyaris membuatnya limbung.

Di tengah derai air mata, tiba-tiba pundaknya terasa disentuh seseorang.

“Mbak… maafin aku ya…”

Bisikan lirih itu terdengar begitu dekat, persis di sampingnya. Renaya spontan menurunkan tangannya. Matanya membelalak. Tubuhnya seketika gemetar saat menoleh ke sisi kanannya, di sana, Sandrawi duduk, wajahnya sendu, matanya berkabut duka. Sosoknya begitu nyata, tapi jelas bukan lagi manusia biasa.

“Sa… Sandrawi…?” gumam Renaya, tubuhnya bergeser mundur, naluri takut menyergap, namun hatinya menahan agar tidak berteriak histeris.

“Jangan ikut campur, Mbak… Ini terlalu berbahaya,” bisik Sandrawi, lirih namun tegas, seolah melarang Renaya mengorek kebenaran yang seharusnya dibiarkan terkubur.

Renaya menegakkan punggung, mencoba menahan detak jantungnya yang berdentum tak beraturan. “Kenapa kamu cegah Mbak, Sandrawi? Sebenarnya ada apa dengan kematianmu?”

Langkahnya perlahan mendekat, memberanikan diri meski rasa takut menyelimuti. Ia tahu, yang duduk di depannya kini bukan lagi adik yang bernafas, tapi jika ini satu-satunya cara mengetahui kebenaran, ia tak akan mundur.

Pandangan Sandrawi mengarah kosong ke langit-langit kamar, tepat ke tempat terakhir ia menggantung nyawanya. Isak tertahan terdengar dari bibir pucat itu.

“Aku nggak mau mati, Mbak… Aku nggak mau mati!” Suaranya pecah, mengguncang hati Renaya.

“Kalau memang nggak mau mati… kenapa kamu… bunuh diri?” suara Renaya pelan, namun penuh tekanan. Ia sengaja melempar pertanyaan itu, ingin mendengar pengakuan langsung dari bibir Sandrawi.

Kepala Sandrawi menggeleng lemah. Sorot matanya lalu mengarah pada nakas kecil di sisi ranjang, tempat di mana surat perpisahan itu ditemukan.

“Mbak pikir aku bunuh diri?” tanyanya, suara itu kini terdengar getir. Dalam sekejap mata, Sandrawi tak lagi duduk, melainkan melayang di udara, berdiri di hadapan nakas dengan kaki yang tak menapak lantai.

Renaya menelan ludah, suaranya pelan, “Kalau kamu nggak bunuh diri… lalu buat apa kamu tulis surat itu?”

Tatapan Sandrawi meredup, matanya sejenak menatap Renaya, kemudian mengarah pada satu benda yang tergeletak di atas nakas, mengisyaratkan sesuatu yang tak terucapkan.

Panggilan dari luar kamar menyentak lamunan Renaya.

“Mbak Renaya… ayo! Aku udah siap!” suara Adibrata menggema.

Refleks, Renaya menoleh ke arah pintu. Saat kembali menatap ke dalam kamar… sosok Sandrawi sudah lenyap, meninggalkan udara dingin yang menggigit tulang-tulangnya.

“Sandrawi! Kamu kemana?” seru Renaya sembari bangkit dari duduknya, matanya mengitari seisi kamar. Nafasnya memburu, menahan cemas setelah sosok adiknya itu tiba-tiba lenyap begitu saja tanpa jejak maupun perpisahan.

Namun, sekelebat ingatan melintas begitu saja dalam benaknya. Tatapan Sandrawi… tadi sempat terarah ke sebuah benda di atas nakas. Dengan langkah tergesa, Renaya mendekat, matanya menyapu permukaan nakas tersebut.

Telapak tangannya meraih sebuah pulpen hitam. Ia mengernyitkan dahi, membaca tulisan kecil yang tertera di badan pulpen itu, PT. Indo Contractor.

“Punya siapa ini?” gumam Renaya pelan. Jari-jarinya meraba-raba permukaan pulpen, seolah berharap bisa mendapatkan jawaban dari benda mati itu. Hatinya mengerucutkan rasa curiga yang semakin pekat. “Jangan-jangan… pulpen ini yang dipakai untuk menulis surat itu?”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!