Spin-off dari Istri Amnesia Tuan G
Dalam beberapa jam, Axello Alessandro, seorang aktor terkenal yang diidamkan jutaan wanita jatuh ke titik terendahnya.
Dalam beberapa jam, Cassandra Angela, hater garis keras Axel meninggal setelah menyatakan akan menggiring aktor itu sampai pengadilan.
Dua kasus berbeda, namun terikat dengan erat. Axel dituduh membunuh dua wanita dalam sehari, hingga rumah tempatnya bernaung tak bisa dipulangi lagi.
Dalam keadaan terpaksa, pria itu pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi rumah itu aneh. Karena tepat pukul 21.45, waktu seakan berubah. Dan gadis itu muncul dengan keadaan sehat tanpa berkekurangan.
Awalnya mereka saling berprasangka. Namun setelah mengetahui masa lalu dan masa kini mereka melebur, keduanya mulai berkerjasama.
Cassie di masa lalu, dan Axel di masa kini. Mencoba menggali dan mencegah petaka yang terjadi.
Mampu kah mereka mengubah takdir? Apakah kali ini Cassie akan selamat? Atau Axel akan bebas dari tuduhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 ~ Apa Aku Terlihat Seperti Pembunuh?
Axel menatap amplop coklat itu, yang kini telah ia pegang dengan sedikit gemetar. Namanya tercetak rapi di atas, di bawahnya logo Kepolisian Metropolitan Aven.
Setelah menarik napas panjang, jari-jarinya mulai menyobek amplop itu lalu membuka lembar suratnya pelan-pelan, seakan berharap isinya berubah saat terbaca.
Cukup lama ia membacanya, ekspresinya datar, lalu meletakkannya ke atas meja.
"Panggilan bukan berarti tuduhan, kita datangi saja dulu dan jawab sejujurnya!" Hugo menepuk punggung Axel, berharap pria itu bisa lebih tenang.
Axel mengangguk pelan, dalam hatinya kini mulai dipenuhi kasus yang sempat ia lupakan. "Aku akan berganti pakaian dulu."
Hugo menghela napas, jika Axel ditetapkan sebagai tersangka, maka semuanya akan semakin rumit. Karir pria itu... mungkin tidak akan kembali semula. Di saat itu ia baru teringat, sebuah kalung yang ia pungut di halaman rumah.
Hugo merogoh kembali saku jaketnya, meraih kalung itu dan menaruhnya ke atas meja. Ia ingat, Axel pernah menggenggam kalung itu. Jadi pasti milik pria itu yang tidak sengaja jatuh.
.
.
.
13 Januari 2025. Pukul 10.16.
Lorong markas polisi itu berbau lembap dan pembersih lantai. Langkah kaki Axel bergema samar, diapit dua petugas yang mengarahkannya ke ruang interogasi. Hugo berjalan di belakangnya, wajahnya tenang tapi tegang.
Saat pintu terbuka. Seorang pria dengan kemeja putih menggulung lengan berdiri menyambut. Sorot matanya tajam tapi tidak langsung menghakimi.
"Axello Alessandro, terima kasih sudah datang," ujar pria itu dengan suara datar. Mendominasi dan menekan di saat yang bersamaan.
Sementara Axel hanya mengangguk, lalu duduk di sebuah kursi yang disediakan. Di hadapannya, kamera pengawas menyala. Di sudut meja, ada tape recorder.
"Saya Detektif Ronan Evander. Saya yang akan memimpin investigasi atas kasus kematian nyonya Ferlinda Hilton dan nona Cassandra Angela. Untuk sekarang, kamu belum jadi tersangka. Tapi kami perlu mendengar penjelasan versi kamu." Ronan memperkenalkan diri dengan menjaga kesopanan, namun suaranya tetap datar senada dengan raut wajahnya.
Axel yang mendengarnya entah merasa lega atau tidak. Karena meski sekarang belum ditetapkan menjadi tersangka, bukan berarti ia sudah aman. Hingga akhirnya ia hanya bisa dengan pelan menjawab, “Saya mengerti.”
Ronan tidak banyak bereaksi, pria itu mengambil map dari meja, menarik selembar foto TKP. Ia menatap Leon sejenak sebelum bertanya.
“Kamu kenal nyonya Ferlinda Hilton?” tanya pria itu sembari menggeser sebuah foto wanita yang tergeletak dengan kepala bersimbah darah.
Axel mengangguk pelan. “Ya, dia istri bos besar agensi yang menaungiku."
"Terakhir kali kapan kamu bertemu dengannya?"
Axel mengerutkan alis dalam. Hal ini yang membuatnya terjebak di sini sekarang. Dengan menghela napas lelah, ia kembali membuka mulutnya.
"Malam sebelum dia ditemukan meninggal. Saat itu dia mampir ke kantor dan menyapaku yang baru akan pulang. Keadaannya cukup memprihatinkan, karena itu aku tidak menolak saat dia mengajak mengobrol."
"Lalu apa yang kalian bicarakan? Penjaga keamanan melihatmu keluar dari kantor sekitar 22.22 malam. Sekitar 40 menit saat nyonya Ferlinda masuk."
Axel lagi-lagi menarik napas lelah. Apakah ia harus membeberkan masalah pribadi orang lain?
"Beliau mengatakan suaminya berselingkuh."
Sesaat hening, entah apa yang dipikirkan Ronan. Karena wajahnya tetap datar sejak pertama kali Axel masuk.
"Baiklah. Anggap saja nyonya Ferlinda sedang mencari teman berbicara. Tapi kenapa harus kamu? Yang notabene orang luar?"
"Aku artis lama, hubungan kami juga cukup baik. Dia seusia ibuku, karena itu aku hormat padanya."
Ronan mengangguk. Tangannya beralih dan kembali menggeser foto ke-dua. Foto seorang gadis yang keadaannya lebih parah dari wanita sebelumnya. Sampai Axel pun sedikit berpaling tak ingin melihatnya.
"Bagaimana dengan nona Cassandra Angela?"
Axel menggeleng, kenangan mereka terlalu sedikit. "Aku hanya pernah ketemu dia beberapa kali."
"Dia sempat mengaku sebagai hater kamu. Dan menyatakan akan menggiring kamu sampai pengadilan. Tapi tiba-tiba dia tertabrak di hari yang sama dengan penemuan mayat nyonya Ferlinda. Menurut kamu bagaimana?"
Saat itu Axel merasakan udara di dalam ruangan semakin menipis. Aura dingin Ronan membuatnya sedikit terintimidasi. Dengan menarik napas perlahan, ia berusaha tenang.
"Aku tau semuanya seakan-akan mengarah mulus padaku. Tapi aku sendiri bahkan lebih ingin tahu kebenaran dibandingkan orang lain."
Ronan kembali bergeming , tatapannya menatap Axel dengan misterius. Pria itu lalu menutup map di meja. "Baiklah, kamu sudah boleh pulang! Tapi selagi kasus ini belum usai, kamu tidak diperbolehkan keluar kota. Karena tidak menutup kemungkinan, kami akan memanggilmu kembali."
Axel mengangguk dan berdiri tanpa berkata lagi. Pria itu keluar dari ruangan, dan mendapati Hugo yang berdiri di sana dengan wajah cemas.
"Ayo kita pulang!" kata Hugo tidak banyak bertanya ketika melihat wajah Axel yang tampak pucat.
Mereka berjalan keluar bersama. Di lorong yang sepi itu, Axel akhirnya bicara lirih.
“Menurutmu... apa aku kelihatan seperti pembunuh?”
Hugo yang tidak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu menggeleng dengan tegas. Pria itu tersenyum tipis pada Axel
“Kau kelihatan seperti orang yang dipaksa menanggung beban milik orang lain. Itu saja.”
.
.
.