NovelToon NovelToon
Like Or Die

Like Or Die

Status: tamat
Genre:Horor / Zombie / Tamat
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: zeeda

Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.

Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.

ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___

Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.

(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pagi yang seperti malam hari

Pagi datang tanpa fanfare.

Jalanan masih basah oleh hujan semalam, tak ada ayam berkokok, suara motor ,tetangga mengomeli anaknya karena tidak berprestasi,sama seperti kemarin,tapi terasa lebih sepi,hanya cahaya pucat yang menyelinap masuk lewat celah jendela, membawa rasa dingin yang tidak bisa dihangatkan oleh matahari, seolah malam menolak benar-benar pergi dan hanya menyisakan versi terang dari keheningan.

Zean membuka mata dengan pelan, seperti takut pagi akan lenyap kalau ia bergerak terlalu cepat. Tubuhnya kaku, tapi bukan karena tidur nyenyak, lebih seperti tubuh yang terlalu lama menahan tegang. Ia duduk dan menatap sekeliling. Kamarnya tetap sama, setumpuk baju belum dilipat, rak buku setengah kosong, dan boneka jari dari masa TK yang entah kenapa masih disimpan.

Ia membuka ponsel. Masih tanpa sinyal. Tanpa kabar. Hanya wallpaper lama dan satu pesan dari ibu, pesan yang semalam terasa hangat, kini hanya pengingat bahwa sesuatu telah bergeser dari porosnya.

Ia keluar kamar. Ruang tengah tetap seperti semalam. Lira sudah bangun, duduk menyandar di sofa, memegang selimut seperti jubah. Di hadapannya segelas air, setengah penuh, dan sisa roti dari semalam.

“Tidur?” tanya Zean, suaranya parau.

“Lebih kayak merem sambil deg-degan,” jawab Lira. “Kau?”

“Tidur, tapi otakku kayak nyetel ulang setiap lima menit. Kayak... mimpiin ulang berita semalam.”

"aku bingung sekarang sekolah apa tidak," Lira penasaran. "dan baru kali ini aku merasa aku ingin bolos sekolah."

"tentu saja libur," jawab Zean penuh keyakinan, "kau lupa apa di katakan di TV semalam, STAY IN HOME" berlagak sangat yakin.

Mereka diam. TV masih mati. Tirai masih tertutup setengah. Dunia masih tidak menjelaskan dirinya.

“Kita nggak... halusinasi, kan?” tanya Lira akhirnya.

Zean menggeleng. “Sayangnya nggak.”

Lira menunduk. “Tapi juga belum pasti... kan? Maksudku, berita semalam memang menyeramkan. Tapi belum jelas itu apa. Bisa apa saja. Bisa kerusuhan. Bisa penyakit. Bisa... hal lain.”

“Ya,” sahut Zean pelan. “Dan ‘hal lain’ itu yang bikin aku pengen tahu, tapi juga nggak pengen tahu.”

Mereka mendengarkan suara sekitar. Hanya mendengar air hujan yang jatuh dari genteng sisa dari semalam. Kadang terdengar suara logam beradu pelan, mungkin atap tetangga, mungkin bukan. Tapi tak ada suara manusia. Dan keheningan semacam itu biasanya cuma muncul di fiksi-fiksi yang mereka tonton larut malam.

“Kau percaya semua itu... nyata?” tanya Lira lagi,kali ini perasaan takut mulai datang perlahan lahan,suatu hal yang tidak nyaman mulai menyelimuti dirinya.

“Aku percaya sesuatu sedang terjadi. Tapi belum tahu apa. Dan rasanya kita nggak akan dapat jawabannya dari sini.”

Zean bangkit perlahan, mengintip lewat celah tirai. Jalanan kosong. Rumah-rumah tetangga tampak tertutup rapat. Tak ada aktivitas. Tak ada suara.

“Rasanya kayak... dunia lagi nge freeze, tapi kita malah nge bug,” gumamnya.

Lira menggigit bibir. “Kalau memang ada sesuatu... kenapa belum datang ke sini?”

“Atau mungkin sudah,” bisik Zean, “tapi belum mengetuk.”

Lira menarik selimut lebih erat.

Mereka belum tahu. Tapi mereka merasa. Dan firasat kadang lebih jujur dari berita.

“Kita harus cek luar,” ujar Zean akhirnya.

Lira menatapnya, “Kau yakin?”

“Enggak. Tapi terlalu lama duduk di sini rasanya bisa bikin aku tambah gila.”

Zean meraih jaket tipis dan sepasang sepatu, lalu menuju pintu depan. Lira mengikutinya, setengah protes, setengah takut ditinggal. Mereka membuka pintu perlahan, seperti membuka rahasia yang belum siap dibeberkan dunia.

Udara pagi dingin, lebih dingin dari seharusnya. Halaman depan rumah mereka kosong. Tak ada suara kendaraan lewat. Tak ada anak sekolah. Tak ada apa pun, hanya angin membawa bau samar logam dan... sesuatu yang amis.

Mereka melangkah pelan ke pagar. Dari sana, mereka bisa melihat lebih jauh, jalan raya di ujung blok tampak lenggang. Beberapa motor ditinggalkan begitu saja. Salah satunya menyala dalam diam, lampunya menyinari pohon, tapi tak ada pengendara.

“Kau lihat itu?” Lira menunjuk motor tersebut. “Kenapa mesinnya nyala?”

Zean hanya mengangguk. “Mungkin mau di tarik leasing.”

“ah kau ini,masih sempat sempatnya bercanda” Lira meninju pelan bahu Zean,dan Zean hanya tersenyum kecil.

Suara langkah mendadak terdengar dari arah rumah seberang. Mereka membeku.

Seseorang,dengan perawakan kurus, jalannya ganjil,muncul dari gang sempit antara rumah Pak Darto dan rumah kosong yang sudah bertahun-tahun tak dihuni.

Orang itu berjalan terseok, seperti mabuk. Bajunya berantakan, satu lengannya meneteskan darah. Tapi ia terus melangkah, seolah tak sadar ia diamati.

Zean dan Lira mundur pelan ke balik pagar.

“Kau lihat tangannya?” bisik Lira, suara nyaris tak terdengar.

“Iya,” jawab Zean. “Dan lihat matanya...”

Orang itu memang sempat menoleh sebentar, bukan menatap, tapi lebih seperti mengarah ke sesuatu. Matanya kosong, mengembara, tak fokus. Lalu ia terus berjalan, tersandung sendiri, dan menghilang di balik rumah lain.

Diam.

Lira menarik napas dalam, gemetar. “Oke. Mungkin kita bukan cuma halu. Mungkin dunia beneran rusak.”

Zean menatap jalan yang kembali sepi. “Belum tahu apa. Tapi jelas ini aneh.”

Mereka kembali masuk ke dalam rumah, menutup pintu perlahan, seolah suara kunci bisa jadi alarm bagi entah apa yang berkeliaran di luar.

Di ruang tengah, Zean mencoba TV lagi. Masih tidak mau menyala,Lira membuka laptop milik Zean, mencoba sambung internet. Tidak bisa. Bahkan jaringan Wi-Fi tetangga kini kosong,bahkan jaringan bernama hanya untuk orang miskin yang selalu on 24 jam pun tidak ada, Seolah semua telah ditarik mundur.

Tiba-tiba, suara samar terdengar dari kejauhan. Teriakan. Tidak jelas, bisa minta tolong, bisa marah, bisa... gila. Lalu hening kembali. Seperti suara itu hanya lewat dalam mimpi buruk.

Lira menatap Zean. “Kita harus nyari orang lain, yang setidaknya benar benar tau apa yang sebenarnya terjadi.”

Zean mengangguk perlahan.

“Kalau kita cari orang...” Lira menghela napas, “...mulai dari siapa?”

Zean menatap kosong ke arah lantai sebelum menjawab pelan, “Johan.”

Nama itu keluar tanpa ragu. Di antara semua teman mereka, Johan adalah yang paling mungkin tau sesuatu. Bukan karena pengetahuan atau keberanian, tapi karena kewaspadaan. Dan sedikit paranoid. Dua hal yang tiba-tiba jadi sangat penting sekarang.

“Dia tinggal 5 rumah dari sini,” lanjut Zean. “Kita bisa ke sana dulu.”

Lira mengangguk. Ia berdiri, menggenggam mug teh yang sudah dingin. “Kita harus tahu apakah dia masih hidup. Atau...”

"tunggu sebentar"Potong Zean.

Menatap Lira,dan mengambil alih mug teh yang Lira pegang,serta langsung meminumnya sampai habis.

 "makasih"ujarnya,menyodorkan ke Lira lagi,dan Lira secara otomatis menerimanya.

Mereka bersiap dalam diam. Zean mengambil senter kecil dari laci ruang tengah,barang murahan dari acara sekolah yang dulu tak pernah berguna, tapi kini terasa seperti satu-satunya alat yang bisa memberi sedikit kendali.

Lira masuk ke dapur dan kembali dengan sesuatu di tangan, alat pemukul daging logam.

Zean mengangkat alis. "Serius?"

"Tentu,ingin mencobanya?," sahut Lira enteng.

Mereka membuka pintu lagi, kali ini dengan napas ditahan. Matahari sedikit lebih tinggi, tapi cahayanya seperti malas menyentuh bumi. Mereka melangkah keluar, hati-hati seperti pencuri. keheningan yang pekat. Seperti menunggu sesuatu pecah.

Setiap langkah terasa berat dan tak pasti. Udara pagi membawa bau yang tidak biasa, samar, seperti besi berkarat dan tanah basah yang tak seharusnya tercium di lingkungan tempat tinggal.

“Sepi banget” Lira berbisik.

Zean tak yakin mana yang lebih buruk, rasanya ingin sekali berteriak dan berharap ada seseorang yang menjawab,tapi dia juga takut,jika yang datang bukanlah kelegaan melainkan hal yang menakutkan.

Rumah Johan tinggal beberapa langkah lagi. Tapi setiap rumah yang mereka lewati seperti menyimpan kisah sendiri. Jendela tertutup. Pintu terkunci atau terbuka setengah. Tirai bergerak pelan, atau tak bergerak sama sekali. Tak ada suara manusia. Tak ada suara hidup.

Mereka melewati rumah Pak Rustam, yang biasanya setiap hari memutar musik dengan volume keras sambil berteriak-teriak,tapi kali ini hening. Pintu depannya terbuka sedikit. Sepasang sepatu masih tertata rapi di teras. Zean menoleh sekilas ke dalam dan segera mengalihkan pandangan.

“Ada tangan,” bisik Lira setelah sempat melirik. Suaranya nyaris mati.

Zean menariknya menjauh. “Fokus ke Johan dulu," menggenggam senter lebih erat dan mempercepat langkah.

Langkah mereka makin cepat. Rumah Johan sudah terlihat. Pagar masih tertutup. Cat birunya mulai pudar, dan spanduk ulang tahun yang tergantung sejak minggu lalu bergoyang pelan tertiup angin. Dunia berubah, tapi sepertinya keluarga Johan bukan tipe yang suka beres-beres.

“Johan?” Zean memanggil, pelan.

Tak ada sahutan.

Ia memanggil lagi, lebih keras. Masih tak ada balasan.

Zean menoleh ke Lira. “Kita masuk saja.”

“Serius?” Lira mengangkat alisnya.

Zean menatap pagar, lalu membuka pengaitnya. Engselnya berderit tajam. Mereka masuk halaman depan dengan hati-hati.

Tiba-tiba

"gedubrak"

terdengar suara dari dalam rumah, bercampur suara seseorang mirip Johan.

Zean langsung mencoba memutar kenop pintu sambil memanggilnya pelan.

"Johan?"

Pintu utama terkunci.

“Jendela samping?” tanya Lira pelan.

Zean mengangguk. Mereka berdua tahu jendela itu selalu sedikit rusak.

Mereka mengendap ke samping rumah. Bau lembap dan kayu lapuk menyambut mereka saat Zean menyelipkan jari ke celah dan menggeser jendela. Bunyi gesekan halus terdengar dan jendela terbuka.

Zean masuk lebih dulu, lalu membantu Lira menyusul. Dapur Johan tampak berantakan. Piring berserakan, sebagian pecah. Keran menyala tetes demi tetes, dan ada setumpuk baju di kursi makan yang belum sempat dicuci.

Televisi di ruang tengah menyala, menampilkan layar biru darurat:

“TETAP DI DALAM RUMAH. VIRUS MEMATIKAN. HINDARI KONTAK FISIK DENGAN ORANG LAIN YANG TIDAK DIKENAL. JANGAN DEKATI ORANG YANG TERINFEKSI.”

Zean dan Lira saling pandang,menatap sebentar ke arah TV tersebut,pikiran yang bertanya tanya juga muncul sesaat.seperti virus zombie?. serius?.

Langkah kaki terdengar dari lantai atas.

Lira menegang,mengangkat pemukul bersiap siap untuk menghantam.

Zean menyalakan senter. Ia mengisyaratkan agar Lira diam dan mengikutinya. Mereka menaiki tangga perlahan, satu per satu, tanpa suara.

Di atas, suara itu terdengar lagi. Seperti langkah orang berjalan tertatih.

“Zean?” Suara lemah, namun dikenal.

“Lira?”

Mereka berdua terdiam. Zean menyorotkan senter ke ujung tangga.

Seseorang berdiri di sana.

Johan.

Wajahnya pucat, matanya merah, dan tubuhnya gemetar. Tapi ia masih berdiri.

“Aku kira... cuma aku yang tersisa,” katanya lirih, bercampur perasaan lega.

Zean dan Lira mengangguk pelan. Mereka tak tahu harus menjawab apa. Tapi mereka tahu, saat ini, bertemu seseorang yang dikenal,dan masih hidup,adalah satu-satunya hal yang membuat dunia terasa sedikit lebih nyata.

1
Byyoonza
awokawok, suka sama timpalan humornya
Vahreziee
ayu beban
Re_zhera
kurang G bang 😆
Foolixstar
bagus banget,seru,lucu
Re_zhera
bagus,semoga kedepannya makin cakep,ku tunggu update nya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!