NovelToon NovelToon
NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

NIKAH KONTRAK, CINTA NYATA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: wiedha saldi sutrisno

ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.

Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13: Secercah Harapan yang Tumbuh

Malam telah beranjak jauh ketika Elina terbangun.

Awalnya hanya suara halus jam dinding tua di kamar tamu yang membuatnya membuka mata, detik yang berdetak pelan di dalam keheningan rumah megah itu. Lampu kecil di sudut ruangan masih menyala, memandikan dinding dengan cahaya temaram keemasan.

Ia merasa ada sesuatu yang hangat dan lembut di pelukannya.

Ketika pandangannya mulai jelas, Elina menyadari bahwa Claire, si gadis kecil yang ceria dan polos itu sedang terlelap dengan posisi meringkuk manja di dada Elina, satu tangan mungilnya menggenggam ujung piyama wanita itu seolah mencari rasa aman dalam tidur.

Elina membeku sejenak.

Ada kehangatan aneh yang menjalari hatinya, menembus tulang rusuknya dan mengetuk halus pintu emosinya yang lama terkunci. Ia tidak tahu kapan Claire naik ke tempat tidur. Mungkin saat Elina masih belum sepenuhnya sadar, atau mungkin gadis itu memang mencarinya, tanpa suara, hanya dengan insting seorang anak yang tahu siapa yang akan membuatnya merasa nyaman.

Dengan perlahan, Elina mengusap rambut Claire. Lembut dan harum, seperti mawar pagi. Napas Claire tenang, dadanya naik turun perlahan. Di wajah mungil itu tidak ada beban dunia, tidak ada luka, tidak ada pertanyaan.

"Claire..." bisik Elina nyaris tak terdengar, hanya gema cinta yang tak diucap.

Tubuhnya mendadak berat, bukan karena kantuk, tapi karena sesuatu di dadanya mengendur. Ia tak pernah menyangka akan mengizinkan seorang anak, yang bukan darah dagingnya, menyusup sedalam ini ke dalam hatinya.

Ia menggenggam tangan Claire lebih erat, menyadari bahwa malam itu, ia bukan hanya sedang berada di rumah orang lain. Tapi seolah sedang belajar menyusun ulang makna dari kata rumah itu sendiri.

Dan dalam keheningan malam keluarga Leonhart, Elina menutup matanya kembali, dengan Claire di pelukannya dan perasaan baru yang mulai tumbuh perlahan-lahan, seperti tunas kecil di antara retakan hati yang lama kering.

...****************...

Nenek Leonhart berdiri diam di balik pintu yang setengah terbuka, tidak berniat mengganggu atau membuat kehadirannya diketahui. Langkahnya yang biasanya tegas kini seolah membatu di lantai marmer, matanya tak berkedip memandangi pemandangan yang terpampang di depan sana, sesuatu yang begitu sederhana, namun menghunjam jauh ke dalam hatinya yang selama ini dipenuhi keraguan.

Di ranjang tamu yang luas dan rapi, Elina tertidur sambil memeluk Claire. Sang cucu kecil itu tampak begitu tenang dalam dekapan wanita muda itu, seperti anak burung yang nyaman di sarangnya. Wajah Elina tampak damai, dan bahkan dalam tidurnya, tangannya tetap memeluk erat gadis kecil itu, seolah bersumpah akan menjaga apa pun yang terjadi.

Sang nenek menghela napas perlahan, hampir tak terdengar.

Ia datang ke kamar itu, berniat mengecek Claire yang tadi menghilang dari kamarnya. Rasa panik sempat menguasainya... hingga ia melihat sendiri bagaimana cucu kesayangannya itu tertidur dengan nyaman di pelukan wanita yang awalnya ia anggap tidak layak.

Ia menyaksikan semuanya dalam diam, namun di dalam hatinya, riuh yang sulit dijelaskan mulai tumbuh. Ia telah menyaksikan banyak hal dalam hidupnya, pernikahan yang palsu, senyum yang dibuat-buat, ibu tiri yang hanya pandai memerankan kasih sayang di depan umum. Tapi malam ini... bukan akting. Bukan manipulasi.

Ini adalah sesuatu yang nyata.

Senyap-senyap, sesuatu di dalam dirinya mulai luluh.

Ia tidak buta terhadap dunia Adrian. Ia tahu politik keluarga, status sosial, dan tekanan yang datang dari nama besar Leonhart. Tapi saat melihat cucunya tidur setenang itu, tanpa mimpi buruk, tanpa gelisah, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah itu semua benar-benar lebih penting dari kebahagiaan Claire?

Ia menyentuh bingkai pintu perlahan, lalu berbalik tanpa suara. Tidak perlu membangunkan mereka. Tidak malam ini. Ia sudah mendapat jawaban yang tidak pernah ia minta, namun ternyata sangat ia butuhkan.

Dengan langkah pelan, ia berjalan kembali ke kamarnya. Di balik wajah yang biasanya keras dan kaku, kali ini terselip sebuah senyum kecil. Ringkih... tapi nyata.

Dan dalam hatinya, untuk pertama kalinya, sang nenek berpikir... mungkin, hanya mungkin, wanita itu bukan pilihan yang buruk.

...****************...

Pagi itu menyambut hangat dengan aroma roti panggang dan teh melati yang mengepul dari dapur keluarga Leonhart.

Cahaya matahari menembus lembut melalui jendela kaca besar ruang makan, menyinari meja kayu panjang yang sudah tertata rapi. Piring-piring porselen dengan motif bunga biru tersusun serasi, dan suara tawa kecil Claire menjadi musik paling jujur pagi itu.

Elina duduk di samping gadis kecil itu, membantu mengoleskan selai stroberi ke sepotong roti panggang. Wajahnya masih menyimpan sisa kehangatan dari malam yang panjang. Rambutnya diikat seadanya, tanpa riasan, namun tampak lebih hidup daripada malam sebelumnya.

Nenek Leonhart masuk ke ruang makan dengan gaun pagi berwarna krim dan syal ringan melingkar di bahunya. Tidak ada ekspresi keras seperti biasa. Justru, ada kilasan lembut di matanya saat melihat Claire memeluk erat lengan Elina seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan mainannya.

"Selamat pagi, Nenek!" seru Claire ceria, tangannya melambai dengan roti masih di tangan.

"Selamat pagi, sayang," jawab sang nenek, melangkah mendekat dan mencium ubun-ubun cucunya.

Tatapannya lalu beralih kepada Elina yang buru-buru hendak berdiri dan memberi salam.

"Tidak usah terlalu formal, Elina," ucapnya, suaranya tenang namun terdengar lebih pribadi dari sebelumnya.

Elina mengangguk sopan, agak canggung namun tersenyum, "Terima kasih sudah mengizinkan saya menginap, Nyonya Leonhart."

Sang nenek duduk perlahan di ujung meja, memandang Elina sejenak sebelum mengambil cangkir teh yang telah disiapkan oleh pelayan.

"Aku sempat melihat kalian tadi malam," katanya tiba-tiba, matanya tidak lepas dari cangkir teh yang mengepul.

Elina menegang sesaat.

"Claire tidur begitu tenang di pelukanmu. Jarang sekali aku melihat dia setenang itu..." ucapnya pelan. Lalu ia menatap Elina. "Kupikir... itu bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat."

Elina diam, hanya menunduk, mencoba menyembunyikan kegugupan sekaligus rasa terharu.

"Aku bukan orang yang mudah percaya," lanjut sang nenek. "Tapi Claire bukan gadis kecil yang bisa dibohongi. Dia tahu siapa yang menyayanginya dan siapa yang berpura-pura."

Kemudian, untuk pertama kalinya, sang nenek mengangguk pelan pada Elina. Tidak ada pelukan, tidak ada sanjungan. Tapi anggukan itu lebih tulus dari semua restu yang pernah diucapkan dengan kata-kata manis.

"Terima kasih sudah menjaga cucuku tadi malam," katanya singkat, lalu mulai menyendok bubur oat dari mangkuknya seolah pembicaraan tadi bukanlah sesuatu yang istimewa.

Tapi Elina tahu... ia baru saja melewati ujian pertama. Bukan sebagai calon istri Adrian, tapi sebagai seseorang yang mulai diterima dalam lingkar kecil dunia kecil mereka... dunia yang dulunya tak pernah ia bayangkan bisa dimasuki.

Dan pagi itu, segalanya berubah. Tidak secara besar-besaran. Tapi cukup... untuk membuatnya percaya bahwa ia tidak sendirian.

...****************...

Cahaya matahari menembus jendela besar, menerangi ruang makan yang hangat dan penuh kesan elegan. Sarapan pagi sudah usai, aroma kopi dan roti panggang masih samar tercium di udara.

Elina duduk di kursi terakhir dengan sedikit senyum lega, sesekali mencuri pandang pada Claire yang tampak ceria, bermain-main dengan sendok dan piringnya. Adrian berdiri di samping mereka, rapi dalam setelan yang telah ia kenakan sejak tadi pagi.

Nenek Adrian terlihat sibuk mengatur beberapa hal di meja, tetapi matanya sesekali menyentuh Elina dan Claire dengan sorot yang sulit dibaca, antara rasa waspada dan sesuatu yang lebih lembut.

Saat semua tampak siap, Adrian melangkah mendekat dan menarik napas panjang, lalu mengucapkan kata-kata perpisahan.

"Kami harus pamit sekarang, Nenek," ujarnya dengan suara tenang namun penuh hormat.

Nenek mengangguk singkat, matanya mengarah pada Claire yang dengan penuh semangat melambai.

"Jaga diri kalian baik-baik, terutama kamu, Claire," ucap nenek dengan nada yang lebih hangat dari biasanya, sedikit tersenyum saat memandang putri kecil itu.

Claire membalas dengan senyum manis dan lambaian kecil, sementara Elina berdiri rapi, membungkuk sedikit hormat.

"Kami sangat berterima kasih atas keramahan Nyonya Leonhart," kata Elina tulus.

Adrian membantu Elina membawa beberapa tas kecil, sementara Claire berlari kecil di depan mereka, penuh semangat.

Ketika mereka melangkah keluar dari rumah mewah itu, pintu besar tertutup pelan di belakang mereka, mengisyaratkan babak baru yang mulai terbuka di perjalanan hidup mereka.

...****************...

Langkah kaki Adrian, Elina, dan Claire bergema di jalanan setapak menuju mobil mewah yang terparkir di halaman. Udara pagi yang segar menyapa, membilas sisa ketegangan yang sempat mengisi suasana rumah Leonhart.

Claire terus berlari kecil di depan, sesekali menoleh dengan senyum cerah yang menular. Adrian sesekali menatap putrinya dengan hangat, namun pikirannya tetap melayang, mencerna segala dinamika yang baru saja terjadi.

Elina di sampingnya, membawa tas kecil yang berisi beberapa barang penting, tampak tenang namun mata yang penuh kelelahan menyiratkan pergolakan batin yang belum sepenuhnya reda. Ia mengatur nafas, berusaha meredam rasa cemas tentang masa depan yang belum pasti.

Di dalam mobil, suasana sedikit lebih hening. Claire yang mengantuk mulai tertidur di pangkuan Elina, tangan mungilnya menggenggam kain baju Elina yang sudah mulai hangat oleh sentuhan kasih sayang.

Adrian memandang ke depan, memegang kemudi dengan erat, namun pandangannya kosong. Ia tahu perjalanan mereka masih panjang, penuh tantangan dan ketidakpastian.

Namun pagi itu, ada secercah harapan yang tumbuh... dari keberanian Elina menerima tawaran, dari perhatian tulus Adrian, dan dari kasih sayang sederhana yang terpancar dari pelukan kecil Claire.

Perjalanan mereka baru saja dimulai

1
Mia Syara
Awal baca,sudah tertarik dengan alur cerita ini..Salam dari Malaysia
Wiedha: Terimakasih sudah mampir Kak Mia...diusahakan untuk up date setiap hari...🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!