Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Memanjat Reruntuhan Kuil Naga untuk Menyegel Gerbang Utama
Liang Feng melangkah perlahan di halaman belakang pondok Nenek Li, setiap jejak kaki bersepatu kulitnya berjalan pelan di atas lempengan batu tua yang tak rata. Sinar matahari pagi menembus celah kanopi pepohonan, menciptakan bayangan bergerigi di atas barisan perlengkapan barang yang disusun rapi. Ditempat Tali-tali berlapis perak tergeletak terdapat kantong-kantong berisi ramuan penyembuh, setiap botolnya memantulkan kilau pegunungan, diapit oleh tumpukan jubah tebal anyaman sutra suci yang berpendar samar mengikuti hembusan angin. Di ujung lingkaran perlengkapan, Bai Xue duduk dengan anggun, ekornya yang berjumlah sembilan menekuk bak pita hidup, mata perakannya bersinar seolah mengandung kata antisipasi yang tak terucapkan.
Liang Feng menunduk, berbisik dengan perlahan kepada roh rubah itu, “Nenek Li telah memanggil semua relawan desa ke alun-alun pusat. Briefing dimulai dalam tiga puluh menit.” Sebuah gelombang lembut kekhawatiran bergema dalam pikirannya, dan Bai Xue menjawab dengan suara merdu di dalam benaknya: “Semoga mereka memunculkan keberanian didalam hati mereka, karena bahaya yang akan mengintai di sepanjang jalan kuno itu.” Liang Feng mengangguk, menerima kegelisahan itu, lalu melangkah bersama Bai Xue menuruni jalan setapak sempit yang berujung di alun-alun desa.
Begitu sampai, puluhan relawan telah berkumpul mengelilingi mimbar batu di tengah alun-alun. Tunikan tenunan kasar berwarna cokelat dan abu-abu membalut tubuh mereka, setiap orang memegang tombak berujung besi, lentera kristal tergantung di pinggang mereka. Di wajah-wajah terpahat jelas garis-garis tekad yang tampak masih terdapat bayangan keraguan dihati mereka. Berdiri di atas mimbar itu, Nenek Li tegak meski usianya telah memasuki usia senja. Sorot matanya yang tajam, dengan sekejap melembut menjadi senyum hangat saat ia menyambut kehadiran Liang Feng dan Bai Xue.
“Teman-teman.” panggil Nenek Li, suaranya menembus suasana yang tampak begitu hening. “Hari ini kita akan memanjat reruntuhan Kuil Naga untuk menyegel Gerbang Utama. Kekuatan gelap menekan segel-segelnya dan jika retakan melebar, arus roh jahat akan menuruni lembah dan menelan desa kita.” Matanya menatap tiap relawan. “Berkat upaya kalian di Jurang Pertapa, Aliran Roh telah melambat. Namun, tugas kita belum usai.”
Seorang petani renta, tubuhnya membungkuk, melangkah maju. “Nenek Li, apa yang harus kami bawa?”
Dia menunjuk tumpukan perlengkapan. “Setiap relawan harus membawa minimal satu liter air mata fajar, air mata embun pegunungan, satu botol ramuan penyembuh dan satu kantong garam suci. Selain itu, kalian semua akan mendapatkan jimat bambu yang diresapi mantra Pelindung Kayu Perak. Gantungkan jimat itu di leher, lalu dekatkan ke hati kalian, maka mantra akan mencegah roh jahat mendekat.” Tangan keriputnya menimang bahu Liang Feng. “Feng, kau akan memimpin mereka. Ajari mereka cara mengaktifkan jimat itu.”
Liang Feng melangkah mantap ke depan, tubuhnya tegap. Sarung pedang berujung putih di pinggangnya menetak ringan di atas panggung. “Dengarkan baik-baik.” suaranya tenang namun menggaung bak singa yang kelaparan. “Jimat bambu itu diberkati untuk menolak kegelapan. Gantungkan di leher dan biarkan roh suci Bai Xue memperkuat perlindungan itu. Minumlah ramuan penyembuh sebelum senja tirai malam menyelimuti kita, agar luka kecil tertutup sebelum kegelapan menjerat langkah kita.”
Seorang wanita muda di barisan depan mengangkat tangan, jemarinya memutih di sekitar tombaknya. “Kakak Feng, bagaimana jalanannya? Apakah berbahaya?”
Liang Feng mengangguk serius, kemudian membuka gulungan peta tangan di atas meja kayu usang. Jarinya melacak rute dengan teliti. “Kita mulai di tepi hutan, lalu menanjak melalui lereng utara yang terjal. Batu-batu di sana licin karena embun pagi. Setelah itu, kita tiba di Pos Penyamakan G Clef, yang mana akan itu menjadi titik perhentian pertama kita untuk memperkuat barisan. Berikutnya Pos Batu Naga, terletak di ceruk sempit di tepi jurang. Terakhir, kita melanjutkan ke Pos Kubu Bayangan, suaka terakhir sebelum menangkap jejak Kuil.” Matanya menatap satu per satu relawan. “Waspadalah terhadap jebakan roh yang ditinggalkan para pertapa kuno. Mereka tertidur di sepanjang jalan, tapi akan bangkit jika kita bergerak ceroboh.”
Untuk mendemonstrasikan, dia mengangkat jimatnya tinggi-tinggi, lalu melantunkan mantera aktivasi dengan nada halus namun tegas:
“Bambu suci, usir malam, Lindungi jiwa dengan cahaya murni.”
Suara relawan pun bergema, menyanyikan mantera itu bersama. Aura perak Bai Xue berdenyut seirama, menenun benang pelindung tak terlihat. Seorang murid pembuat gerabah memeluk jimatnya erat, mata terbelalak saat perasaan hangat dan lembut merambat di dadanya.
“Kita akan berbaris dalam dua kolom.” lanjut Liang Feng. “Pembawa tombak di depan untuk menghalau roh berkeliaran, pembawa lentera di belakang untuk menerangi jalan. Jika diserang, tusukkan tombak, lalu hentakkan tongkatmu untuk menciptakan gelombang penolak roh.”
Relawan bergerak sigap, membentuk barisan teratur. Keranjang berisi air, ramuan dan garam suci digendong di punggung, sementara asap dupa tipis mengepul dari setiap lingkaran mereka sebagai perlindungan tambahan.
Nenek Li melangkah maju sekali lagi, menata tali tas kulitnya. Pandangannya terangkat, menatap cakrawala di mana cahaya matahari pertama memercikkan kilau ke puncak pegunungan. “Ingat.” katanya dengan nada suara lembut namun tegas, “beban ringan akan menyelamatkan kita. Jangan biarkan berat pikul memperlambat langkah kita atau hal itu bisa menjerumuskan kita semua.”
Dia meletakkan tangan lembutnya di lengan Liang Feng. “Pimpin mereka dengan bijak, Komandan Feng.”
Di bawah pohon ek berdaun perak di pinggir alun-alun, Liang Feng menunduk dan menutup mata. Ia berbisik doa kepada roh bumi dan langit. “Angin lembut, tuntun langkah mereka. Batu kukuh, lindungi tubuh mereka. Dan biarkan cahaya Bai Xue tetap terang dalam kegelapan.” Sekonyong-konyong, daun-daun di atas berdesir halus, seakan menyahut doanya.
“Formasi!” teriak Liang Feng, mencabut pedangnya, bilahnya memancarkan cahaya putih samar-samar, bergetar dengan kekuatan yang mengendap. Bai Xue melonjak, sembilan ekornya merekah seperti kipas bulan yang tampak hidup. Relawan menegakkan postur, jimat mereka berpendar lembut di dada masing-masing.
“Berangkat!” perintahnya, langkah pertama menjejak di jalur setapak yang menjalar ke lereng berhutan. Jejaknya mantap, bergema penuh tekad. Bai Xue mendahului, memancarkan cahaya yang menari-nari di atas dedaunan yang berembun.
Di antara semilir angin pinus dan aroma tanah basah, mereka menaiki jalanan berkelok. Tanda batu pertama Pos G Clef monolit usang bertatahkan ukiran kuno muncul di depan. Liang Feng menghentikan barisan. “Dekatkan jarak.” ia mengingatkan. “Percayalah pada pelatihan kalian dan satu sama lain. Tantangan yang lebih tua dari ingatan kita menanti di hadapan, tapi bersama, cahaya kita tak akan pernah padam.”
Relawan mengangguk, langkah mereka menyusuri jejak batu berlumut, bayangan pepohonan menari-nari di setiap sisi. Sekali-sekali terdengar bisik roh yang menguji keberanian mereka. Spear terangkat seketika, lentera menyala menepis dalam kegelapan.
Menjelang tengah hari, mereka tiba di Pos Batu Naga yang merupakan ceruk batu sempit yang menghadap ke jurang dalam. Wajah lelah terpancar di kerling mata setiap relawan, namun semangat tetap membara. Liang Feng berhenti di tepi ceruk. “Minum air, teguk ramuan.” perintahnya. “Istirahatkan pundak, kukuhkan lagi mantra.” Cawan-cawan air fajar berpindah tangan, Bai Xue menenun energi pelindung tipis di udara.
Setelah segar kembali, mereka melanjutkan pendakian. Jalanan semakin sempit, bebatuan licin diselimuti kabut abadi. Kadang-kadang tanah bergetar, seolah reruntuhan itu telah terbangun. Bahaya mengintai di tiap kerlip dedaunan, namun cahaya kristal dan jimat-jimat bambu meretas jalan meski remang-remang.
Mendekati waktu senja, mereka tiba di Pos Kubu Bayangan yang merupakan reruntuhan tembok setengah ambruk dengan gerbang kayu beralur retak. Udara berubah dingin saat mereka melangkah masuk. Liang Feng menoleh ke barisan yang terlihat begitu terlatih. “Esok fajar kita menuju wajah Kuil. Istirahatlah malam ini. Rawat luka-luka. Besok, kita menyegel Gerbang dan mengakhiri ancaman ini.”
Malam itu, api unggun menyala di dalam tembok lapuk. Relawan berbagi kisah rindu kampung halaman, doa keluarga yang menanti kepulangan mereka. Liang Feng duduk di samping Bai Xue, merawat bilah pedangnya, matanya menatap siluet Kuil Naga di kejauhan. Ia berbisik janji pada roh, pada Nenek L, dan pada setiap jiwa yang meletakkan harapan pada kepemimpinannya.