"Yang kalian lakukan salah."
Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
New School
◻️◻️◻️
"Heyoooo! Whatsapppp gengss!"
Semua orang memandang penasaran padanya—gadis yang berteriak tak jelas di depan gerbang sekolah bertuliskan SMA Nusa Unggul itu.
Sekitar lima belas menit lagi bel akan berbunyi, maka wajar saja banyak siswa yang masih berlalu lalang di depan gerbang. Mereka semua agak aneh dengan gadis itu, tinggi badannya sangat berbeda dari kebanyakan gadis yang bersekolah di sini, juga wajahnya yang polos tapi malah berteriak seperti orang gila.
"Jangan teriak."
Mayra dengan cepat menoleh pada seseorang yang baru datang dengan motor arengnya.
"Buleeee!" Segera dihampirinya Fero yang masih mengenakan helm itu.
"Lo tunggu di parkiran, gue anter ke ruang TU."
Mayra mengangguk bahagia. Ia berjalan dengan semangat ke arah parkiran dengan Fero yang sudah terlebih dahulu tiba bersama si areng.
"Gue jadi kelas apa ya? Apa di sini gue bisa dapet temen ..." gumamnya.
"Kan ada gue," celetuk pria yang memiliki rambut berwarna coklat gelap itu.
"Bule jangan bikin gue baper," Mayra tak berusaha sedikit pun menutupi pipinya yang merona.
"Kalau gue bikin anak orang baper, gue bakal tanggung jawab."
Meskipun cara pengucapannya itu dengan tak bernada, tapi tetap saja membuat Mayra semakin baper. Sejak Mayra berurusan dengan polisi, Fero dengannya jadi semakin dekat. Sering bertukar pesan, bertelponan walaupun yang banyak bacotnya cuma Mayra, dan yang tak disangka Mayra ini bisa main game online lhoo jadi saat Fero bilang ingin bermain game Mayra segera nimbrung alias ngajak mabar.
Ampun bang, jangan bikin ade baper lagi. Gak kebalik? Kan Mayra lebih tua dari Fero—eh, kan Fero gak naik kelas dua tahun berarti sekarang harusnya kelas 12, berarti bener Mayra nyebutnya Abang.
Tak tahan dengan kebaperannya, Mayra melilit tangan kanan Fero dengan kedua tangannya sambil berjalan yang kata Fero mau ke ruang TU.
Para murid yang kebetulan melihat mereka berdua, memandang aneh. Siapa gadis itu? Kenapa bisa gelonjotan di tangan Fero? Bukankah Fero itu tak tersentuh oleh siapapun?
"Btw, lo kelas berapa Bul?"
Fero langsung menatap tajam Mayra.
Mayra cengengesan saat sadar kalau ia memanggil Fero dengan sebutan Bul. Ia tahu kalau Fero itu tak suka dipanggil Bul ataupun Le—kata tidak lengkap dari Bule. Katanya, kata Fero—lebih baik dipanggil lengkap saja tak perlu disingkat-singkat, Bule.
"Kamu kelas berapa?" tanya Mayra pelan.
Fero langsung berhenti melangkah saat itu juga. Menatap Mayra sambil terdiam. Kenapa pertanyaan Mayra yang satu ini terasa menyenangkan untuk didengar?
Oh Tuhan, jangan sampai dirinya tersenyum karena kalimat itu.
"Kenapa? Lo baper ya?" Mayra tersenyum jahil.
Fero kembali berjalan, berusaha menghiraukan pertanyaan Mayra yang mungkin saja ... benar. Ya, hanya mungkin. Tidak sepenuhnya benar.
"Gue sekelas sama Varidza, X IPA 2."
"Idza .... " Mayra langsung lesu saat mendengar nama itu.
Dielusnya pelan tangan Mayra yang masih melingkar di tangannya. "Nanti kita jenguk lagi, ok?"
Sebisa mungkin Fero berusaha mengurangi kesedihan Mayra dengan berucap demikian.
Dua hari lalu mereka berdua dengan Mommy dan Daddy -nya Fero menjenguk Varidza di rumah sakit. Masih dengan keadaan yang sama, koma.
Ini sudah tiga hari sejak masalah Mayra yang bersangkutan dengan kepolisian, selama tiga hari itu juga Mayra tak pulang ke rumah satu hari pertama ia menginap di rumah Fero, dan sisanya ia menginap di rumah Annisa—sekaligus menemani Icha yang sendirian di rumah sebab orang tuanya keluar kota.
Pintu ruang TU yang terbuka lebar sudah ada di depan mereka berdua.
"Mau gue tungguin?"
Mayra mengangguk. "Anterin ke kelas, gue gak mau dianter guru."
"Ok, gue tunggu di sini."
Mayra pun masuk ke dalam dan menanyakan kelasnya pada guru yang bertugas. Segala urusan administrasi dan tektek bengeknya sudah diurus oleh Kakaknya, jadi ia tinggal masuk saja ke sekolah ini. Terlebih lagi sekolah ini milik tunangan Kakaknya, pasti dipermudah.
Setelah mendapat info kelas yang akan ia tempati dan menolak untuk diantar Mayra segera keluar dan menghampiri Fero yang sedang terduduk di bangku panjang.
"Ayo, anterin gue ke kelas 11 Ipa 1."
Keduanya kembali berjalan sambil Mayra yang kembali bergelayut di tangan Fero. Tak peduli dengan murid lain yang memandang keduanya.
"Pinter juga lo, masuk kelas unggulan."
Mayra mengetuk pelan dahi Fero. "Si anjing, ya iyalah. Siapa yang ngajarin lo belajar selama ini hah?!"
Tatapan tajam Fero tak menggentarkan Mayra sama sekali—emang ada yang Mayra takuti? Eh.
Asal kalian tau ya, kemarin saja saat dibawa ke kantor polisi Mayra tak merasa takut sedetik pun. Malahan ia terlihat ceria, dengan selalu menyunggingkan senyum di wajah polosnya.
"Apa lo bilang? Anjing?" tanya Fero tajam.
Mayra mengangguk dengan cepat. Tak merasa bersalah sama sekali.
"Sana pergi."
"Eh, kok marah sih? Gue kan gak maksud ngatain lo anjing. Maa—"
Fero memutar bola matanya jengah, "Udah nyampe kelas lo, emang mau ikut gue ke kelas? Mau jadi kelas 10 lagi?"
Tadi ia hanya kaget saja, mendengar Mayra yang berbicara kasar padanya untuk pertama kalinya. Tak ada yang salah dengan berbicara kasar pada seorang wanita, menurutnya—kenapa seorang pria berbicara kasar dimaklumi sedangkan bila wanita yang melakukannya pasti tak akan mendapat kemakluman. Bukankah sudah ada kesetaraan gender? Lalu untuk apa ada kesetaraan gender bila pria dan wanita saja masih dibedakan?
"Ehehe, thanks udah nganterin gue. Nanti kalau ke kantin bareng ya, gue gak tau dimana."
"Nanti lo tunggu di depan tangga."
"Emang kelas lo dimana?"
"Tiga kelas dari sini."
"Lho, kirain gue kelas 10 di bawah," ucap Mayra heran.
"Di sini emang gini, kelasnya diacak."
Mayra membulatkan mulut saja dan bergumam, "Gampang dong kalau mau ngapel." Pastinya Fero tak mendengar gumamannya.
"Gue pergi."
"Bye," Mayra melambaikan tangan.
Setelah memastikan Fero sudah menjauh dan mulai masuk ke kelasnya, Mayra juga masuk ke kelasnya untuk pertama kalinya.
Semua orang memandangnya penasaran. Apakah gadis ini akan ada di kelasnya?
"Hai, kenalin gue Mayra."
Mayra melambai pada pada calon teman sekelasnya. Ia menelusuri penjuru kelasnya untuk menemukan kursi kosong. Dan ....
Ada kursi kosong di sana, tapi bukan itu yang menjadi perhatian Mayra. Seseorang yang duduk di sana yang menjadi perhatiannya.
"Ella!"
Tanpa babibu lagi Mayra mendekati seseorang yang dikenalnya dengan baik itu—temannya dulu semasa Smp.
Orang yang dipanggil oleh Mayra hanya memandang Mayra penasaran, siapa gadis ini? Dan kenapa bisa tau namanya?
"Ini gue Mayra Azzahra," ucap Mayra sambil mengguncangkan bahu gadis berkacamata kotak itu.
"Kok ..."
"Gue berubah? Waktu berjalan dengan cepat Ell, tapi gue tetep Mayra yang lo kenal kok," ujar Mayra berusaha meyakinkan gadis cupu itu sambil menyimpan tasnya di sebelah Ella.
"Nanti gue ceritain. Gue rindu banget sama lo."
Mayra memeluk Ella erat. "Lo gak rindu sama gue?"
"Ri-rindu, ta-tapi kamu kok aneh?" tanyanya dengan pelan.
Mayra melepas pelukan sepihaknya, "Kan gue udah bilang, nanti gue ceritain."
Ella mengangguk paham lalu mulai memeluk Mayra dengan erat.
"Ini baru temen gue," Mayra balas memeluk Ella.
"Kamu kemana aja?" tanya Ella.
"Gak kemana-mana, masih di bumi yang sama sama lo."
Keduanya kompak melepaskan pelukan. "Lo di sini gak ada temen Ell?"
"Kamu tau kan aku kayak gimana May," ucap Ella pelan.
"Sekarang ada gue, lo jangan khawatir."
Ella mengangguk sambil tersenyum pelan.
"Eh, bukannya lo anak Nusa 1?"
Mayra menoleh ke samping, berjarak dua bangku dengannya—seorang pria yang bertanya padanya. "Iya, lo kenal gue?"
"Gue sering liat lo di club terus kalau gak salah lo temennya Zidan kan?"
"Eh, lo temennya Zidan?"
Pria itu mengangguk. "Kenapa lo pindah ke sini? Bukannya di sana juga sekolahnya bagus?"
"Gue make narkoba, jadi di drop out." Mayra mengedikkan bahu acuh.
Semua murid di kelas itu terperangah kaget. Dua fakta yang mereka ketahui, Mayra itu anak malam dan pengonsumsi narkoba. Harus segera dijauhi! Tapi kenapa sekolah ini menerimanya? Dan bukannya Mayra harusnya direhabilitasi?
"Ka-kamu .... "
Mayra tertawa pelan, seolah menganggapnya lelucon, "Ya enggak lah. Walaupun gue sering ke club gue gak ngonsumsi gituan. Kemarin gue dijebak, sekolah juga sebenernya gak nge-do gue— mana mau mereka kehilangan murid pinter kek gue."
Semua orang memandangnya tak percaya, kepedean banget ni orang. Mayra ini tak pantas untuk dipercaya, mulutnya banyak bacot terus bacotannya juga gak original alias banyak bohongnya.
"Bullshit," ucap seseorang di belakangnya.
Mayra menoleh cepat ke belakang, matanya mengerjap dengan lambat.
Oh sial! Drama apalagi ini? Kenapa harus sekelas dengan si mantan bangsat ini?!
Kenapa lu panik Mayra? Emangnya lu belum move on? Kalau udah move on mah pd aja. Kalau bisa tanya-tanya kayak yang akrab aja biar si doi gak curiga kalau lu belum move on—eh?
Kok gitu sih?! Yakali, Mayra ini udah move on. Jadi gak boleh keliatan sama sekali galmupnya—karena emang udah move on pastinya.
"Eh, ada mantan. Pakabs Ntan?" Tanya Mayra sok akrab.
Orang yang tak lain dan tak bukan adalah Aldi mendelik padanya.
"Takut ayangbebnya cemburu ya?" tanya Mayra lagi.
Aldi tak menjawab dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Jutek amat jadi orang."
◻️◻️◻️
"Heh lo Kelvin! Bapak lo tai banget sih! Gara-gara dia Idza jadi koma! Gak ada akhlak banget jadi bapak!"
"Bukan urusan lo juga kali, itu bapaknya Kelvin sama Idza," celetuk Adrian.
Ya, kalau gak salah namanya Adrian. Mayra tau karena tadi pria itu memperkenalkan diri padanya saat memasuki kelasnya yang juga ditempati oleh Kelvin dan Aldi. Mereka berlima mengungsi ke kelasnya setelah semua murid keluar dari kelas. Oh, iya berlima itu terdiri dari Kelvin, Aldi, Adrian, Harun, dan Bagas. Tadi yang ia pikir ia hanya sekalas dengan Aldi, tapi beberapa saat setelahnya Kelvin datang terlambat—melihat wajahnya saja Mayra tak sabar ingin mengumpat keras-keras. Namun urung dilakukannya karena guru pengajar sudah masuk ke kelasnya, mau tak mau ia harus mengunci mulutnya rapat-rapat.
Saat pelajaran telah usai dan seluruh murid di kelas XI IPA 1 ini sudah berhamburan keluar kecuali dirinya, Ella, Aldi, dan Kelvin—tak bisa membuang waktu lagi Mayra mengeluarkan segala unek-uneknya.
Apa tadi?! Kata Adrian itu bukan urusannya. Mana yang bukan menjadi urusannya bila karena hal itu ia jadi sedih?!
"Ma-Mayra a-ayo," ajak Ella. Ia tidak ingin Mayra mendapat masalah dengan para lelaki itu.
"Bentar Ell, sumpah gue gedeg banget sama lo. Lo bahkan mungkin gak tau kalau sebelum Varidza koma, beberapa hari sebelumnya dia masuk rumah sakit."
Kelvin tertegun beberapa saat.
"Lo juga gak tau kan alasan Varidza pindah ke sini?" tanya Mayra.
"Jangan banyak omong lo," timpal Harun.
"Lo juga, lo tahu kan alasan Varidza pindah ke sini. Alasan itu juga lah kenapa gue bisa hampir di do dari sekolah gue dulu!" Mayra menunjuk-nunjuk Harun. Bocah dengan wajah tanpa dosa itu banyak menyembunyikan rahasia.
"Ma-Mayra udah," ucap Ella pelan.
"Dan semua itu gara-gara lo tau nggak!"
"Apa hubungannya sama Kelvin?" tanya Bagas penasaran.
"Lo udah berurusan sama anak Asevil. Tanpa perlu dijelasin lo pasti paham maksud gue Kelvin," ucap Mayra sambil mendengus kesal.
"Mayra," panggil seseorang di depan pintu.
"Eh, bule. Ayo ke kantin," jawabnya dengan ceria seolah barusan sebenarnya tak terjadi apa-apa.
Fero memasuki kelas Kakak kelasnya itu dan berjalan ke arah Aldi dan teman-temannya. Ia sedari awal mendengarkan omelan Mayra tentang Bapaknya si Kelvin yang tai itu. Ia pikir akan selesai dengan cepat, jadi ia diam saja. Tapi Mayra malah semakin bertele-tele. Ia tahu semua kekacauan yang menyebabkan semua kondisi ini—selama tiga hari libur Mayra tak pernah absen untuk menceritakan kisahnya mulai dari masalah kemarin hingga Annisa yang saat kecil pernah terperosok ke selokan di depan rumahnya.
Baiklah, sekarang biar Fero yang mengambil alih.
"Biar gue jelasin. Mungkin gue orang luar, tapi gue mau ngingetin—kalau lo mau nyari lawan, cari yang selevel. Jangan sampai lo ngebahayain orang yang lo sayang dengan berurusan sama mereka, karena lo udah ganggu salah satu dari mereka. Kemarin Varidza dibully sama anak Asevil tapi Mayra berhasil ngegagalin rencana mereka, dan akhirnya Mayra yang diincar. Dan lo tau mereka mau ngejebak Mayra dengan nyuruh dia pake barang haram. Lo gak mikir apa? Ini semua berawal dari lo. Gue cuman mau bilang hati-hati, Asevil gak akan berhenti ganggu lo sebelum mereka berhasil. Jaga semua orang yang lo sayang, mereka gak ngincar lo tapi ngincar orang yang ada di sekitar lo."
Oh, iya. Membahas tentang penjebakan Mayra kemarin, ia dijebak oleh anak Asevil dan alasannya seperti yang diucapkan Fero tadi. Dan soal bukti yang Mayra punya, ialah cctv tersembunyi di kelas itu. Di Nusa 1, tak ada yang tau kalau sekolah mereka memasang cctv di setiap ruangan. Kenapa Mayra tau? Mayra pernah dikasih tau sama Varidza, kan Varidza itu deket banget sama kepala sekolah Sma Nusa 1 yang juga Bapaknya si Harun itu.
Mayra terperangah dengan mulut menganga. Rasa-rasanya ia baru mendengar Fero bicara sepanjang ini? Ataukah di part sebelumnya Fero pernah bisa sepanjang ini? Dan tahukah kalian saat Fero mengucapkan semua kalimat panjang itu, ekspresi wajahnya tetap datar tapi tetap dengan ketegasan.
Hanya kecengoan yang bisa ditampilkan Mayra, ia sungguh terpesona dengan Abang Bule yang satu ini.
Kenapa semakin hari Fero semakin membuat Mayra ingin memilikinya?
Hal selanjutnya apa lagi yang dapat membuat—
Sial!
Inilah hal selanjutnya yang membuat Mayra semakin meleleh.
Fero merangkulnya!
Hell!
Mayra rasanya mau mati sekarang juga!
Dan lagi, Fero merangkulnya dari kelas sampai ke kantin! Bayangkan apa yang kalian rasakan bila ada di posisi Mayra?
Memekik kah?
Menjerit kah?
Melompat-lompat bahagia kah?
Semua hal itu dilakukan Mayra tanpa rasa malu sedikitpun. Dihadapan orang-orang yang sedang menikmati jam istirahat mereka.
Ella yang sedari tadi mengekor di belakang mereka, hanya bisa menahan malu.
Mayra benar-benar memalukan!
◻️◻️◻️