Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang rapuh
Berusaha untuk tidak menangis, walau matanya berkaca-kaca. Luna pun menatap dalam wajah lelaki yang sudah membersamainya selama lima tahun ini. Benar, pada akhirnya kisah mereka harus berakhir menyedihkan.
“Aku mencintaimu Luna, aku sangat mencintaimu.” Berulang kali Arin mengatakan kata cinta, tetapi ia juga yang berkhianat seolah tidak memiliki dosa.
Luna berjalan maju selangkah, entah apa yang kurang darinya sehingga ia tidak bisa memiliki hati Arindra sepenuhnya. Ruang di dalamnya kini sudah diisi oleh nama lain, meski sakitnya tak tertahankan. Luna masih sanggup menopang rasa itu.
“Jika kamu memang mencintaiku, bisakah kita memulai dari awal? Bisakah kamu melakukan semua itu untukku …?”
“Cih, aku rasa kamu tidak bisa. Jadi, lebih baik seperti ini. Jangan lagi katakan cinta jika kamu tidak tahu makna dari kalimat tersebut,” ucap Luna panjang lebar.
“Maaf, jika jalan ini terasa sulit. Kita bisa bercerai—.”
“Tidak! Aku hanya ingin tahu sampai mana bisa bertahan. Bukankah kamu yang menikahiku dulu? Lantas sekarang mulutmu dengan seenaknya mengeluarkan kata-kata itu,” sahut Luna.
“Lun, apa kamu yakin ingin bertahan?”
“Lalu biarkan aku memilih jalanku, terkadang kita butuh sebuah luka untuk mengingat bekas goresan itu.”
“Lun … maaf,” ucap Arindra.
“Sudahlah, kita masuk.”
Siapa sangka jika pertengkaran tersebut disaksikan oleh Emilia. “Apa aku salah masuk di kehidupan mereka? Tapi aku juga mencintai mas Arin,” lirih Emi dengan hati tak karuan.
“Bu, maaf jika aku terlalu egois. Lebih mementingkan perasaanku sendiri daripada perasaan ibu,” gumam Emilia lagi.
Menurutnya, lari dari masalah semuanya tak akan mengubah apa pun, tetap saja Arindra mengejarnya.
Setelah melihat mantan gurunya dan kekasihnya masuk, Emi pun segera menutup jendelanya agar tidak ketahuan. Lalu, pergi tidur karena tidak ingin mengganggu suami istri tersebut.
Sedangkan Luna sendiri sudah masuk, sejenak. Membuka pintu kamar di mana Emi tidur. Tanpa beban, sudut bibir itu terangkat. Sepertinya luka pengkhianatan sembuh untuk beberapa detik ketika kedua matanya melihat seorang perempuan tidur dengan sangat pulas.
“Bahkan aku tidak menyangka jika selingkuhan suamiku adalah mantan muridku. Sungguh, dunia ini terlalu konyol karena harus bersaing dengannya,” batin Luna dengan mata memandang tanpa berkedip.
Sedikit puas usai melihat Emilia yang sebenarnya belum benar-benar tertidur. Luna pun keluar dan Arindra sudah menunggunya di kamar.
“Lun, kamu belum makan? Aku panaskan lauknya, ya.” Kata Arin dengan penuh perhatian.
“Tidak, aku sudah kenyang, tadi tidak sengaja bertemu dengan Aruna, kami makan di suatu tempat.” Jawab Luna.
“Apa dengan lelaki tadi,” ujar Arindra yang mana masih penasaran kepada Aroon.
“Tidak, dia hanya diminta menjemput, lalu mengantarku pulang.” Namun, ucapan Luna, sedikitpun tidak menunjukkan jika Arindra sedang cemburu.
“Oh, baguslah karena kamu pergi terlalu lama dan meninggalkan kami, rencana awalnya ingin mencarimu. Namun, siapa sangka jika kalian sudah berada di depan rumah. Aku khawatir karena kamu adalah istriku,” jelas Arin.
“Terima kasih atas perhatianmu,” balas Luna.
“Aku suamimu, hal ini memang sudah sepatutnya aku lakukan.” Jawab Arindra.
Begitu sakitnya ketika Arindra berbicara, seolah semua yang dikatakannya adalah bentuk kasih sayangnya kepada dirinya. Kata ‘suami’ seolah membuat Luna ingin tertawa, meski lelaki tersebut benar suaminya. Namun, semua itu hanya bentuk formalitas, karena dia tidak benar-benar peduli.
“Aku lelah, aku ingin tidur.” Luna pun berdiri dan membawa selimut keluar.
Arindra yang tidak mengerti itu, membuatnya menahan lengan Luna. “Lun, kamu mau ke mana?” Pertanyaannya lolos di bibirnya. Bahkan Arindra terlihat seperti pria idiot.
“kita pisah ranjang, bukankah ini yang terbaik bagi kita? Mengetahui perasaan masing-masing, dengan begitu akan tahu jalan kedepannya harus bagaimana.” Jawab Luna, tanpa menoleh ke arah Arun.
Hanya helaan napas yang terdengar, terlihat berat. Meski baginya perasaan itu jauh lebih berat. Namun, Arin tidak bisa mencegahnya dan membiarkan Luna pada pilihannya.
Keesokan paginya.
Aroon masih berada di bawah selimut. Pikirannya terus dihantui oleh wajah Luna, untuk pertama kalinya juga ia memikirkan seseorang. “Kenapa dengan otakku, bisa-bisanya di depanku ada Luna!” gerutu Aroon seraya mengusap rambutnya secara kasar.
Entah kenapa bisa, wajah Luna terus saja mengikuti ke mana ia pergi. Seolah terbelenggu oleh sebuah perasaan lain yang disimpan untuk Luna, sayangnya sampai detik ini Aroon tidak mengerti perasaan apa itu.
“Waktuku tinggal sebulan lagi, setelah itu aku harus kembali ke tempat aku berada walau dulu terlahir di sini. Apa aku bisa melihat wajahnya lagi,” gumam Aroon tanpa sadar.
“Argh … sudahlah, lagi pula dia memiliki suami. Meski begitu dia percaya pada keyakinannya, tak akan ada kesempatan dan aku rasa sudah tidak perlu memikirkannya.”
Aroon merasa kesal sendiri karena Luna terus saja menghantuinya. Akhirnya memilih bangun, tapi siapa sangka ketika bersiap untuk berdiri. Aruna tiba-tiba sudah ada di hadapannya.
“Sh*it … apa kamu sengaja bikin pamanmu ini cepat meninggal,” gerutu Aroon dengan wajah kesal.
Aruna bukannya merasa bersalah justru mengangkat sudut bibirnya. “Aku beberapa kali mengetuk pintu, tapi paman tidak mendengar. Jadilah masuk dan sudah melihat paman seperti orang gila.
“ Dasar keponakan menyebalkan!” umpat Aroon lagi.
“Cih, jika Paman terus marah-marah. Aku takut jika nanti tiba-tiba terkena serangan jantung, secara usia Paman sudah di atas 35 tahun.” Runa sengaja mengejek Aroon, di usianya yang tak lagi muda. Namun, masih enggan menikah walau ibunya pernah beberapa kali menjodohkannya, tetapi sayangnya semua itu tidak berhasil.
“Paman tidak akan menikah,” bantah Aroon.
Memiliki masa lalu yang menyakitkan, membuat trauma dengan sebuah hubungan. Hampir 15 tahun telah berlalu, tetapi bayangan itu tak bisa hilang di dalam ingatannya.
“Paman, apa Luna sedang ada masalah?”
Aroon seketika gelagapan ketika Aruna tiba-tiba mengajukan pertanyaan. “Paman tidak tahu, bukannya kamu adalah sahabatnya. Lantas kenapa malah bertanya kepadaku,” ujar Aroon yang ikut penasaran dengan Luna.
“Entahlah, aku merasa jika dia sedikit berbeda dari biasanya. Luna seorang guru, menikah dengan Arindra baru berjalan lima tahun ini.” Kata Aruna secara tiba-tiba memberi tahu siapa Laluna itu.
“Kemarin dia datang dengan mata sembab, sepertinya Luna memang tidak ingin berbagi beban kepadaku, aku tahu wataknya seperti apa! Selama dia bisa, selama itu juga Luna bungkam.” Aruna pun menambahkan lagi, tetapi Aroon masih fokus kepada ponselnya.
“Paman, apa kamu mendengarnya.” Aroon pun langsung mengangguk.
“Bahkan aku sendiri rasanya tidak kuat jika harus menjadi dirimu. Luka yang setiap hari aku terima, hingga menjadikan terbiasa.” Namun, itu semua hanya gumaman dalam hatinya, takkan mungkin mengatakan apa yang terjadi sebelumnya.