Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAMA DATANG MENGACAUKAN
"Duduk!" itu kata pertama yang aku dengar saat baru memasuki ruangan. Pak Julio duduk di kursinya dengan tatapan tajam yang membuat atmosfer jadi terasa berat. Apakah aku melakukan kesalahan lagi?
"BRAK!"
Aku sedikit terinjak saat pak Julio melempar bendel kertas ke atas meja.
"Baca itu!" Ujarnya tanpa basa-basi.
Jantungku berdegup kencang. Aku mengambil naskah yang dilempar Pak Julio dan meminta waktunya sebentar untuk menelaahnya dengan seksama.
"Ini bukankah, naskah yang saya kurasi kemarin, Pak?" Tanyaku mencari kepastian.
Pak Julio mengangguk singkat tanpa mengatakan apa-apa. Aku kemudian bertanya lagi. "Ada masalah dimana, Pak?"
"Siapa bilang ada masalah?" Balasnya, dengan nada yang tidak memberikan petunjuk.
Aku menelan ludah. Jadi kalau tidak ada yang salah, kenapa dia memberikan naskah kepadaku?
"Hubungi penulisnya. Kita akan menjadikannya cerita eklusif untuk edisi bulan ini!" Perintahnya tiba-tiba.
Mataku melebar. Bukankah ini adalah berita yang sangat menggembirakan? Ini pertama kalinya naskah yang aku kurasi akan diterbitkan secara ekslusif.
"Bapak serius, kan?" Aku memastikan kembali.
"Kapan kamu pernah melihat saya becanda?" Jawabnya dengan wajah serius dan meyakinkan.
Ah, benar. Aku tidak pernah melihatnya becanda dalam hal pekerjaan.
"Tentu, Pak. Terimakasih banyak. Saya akan menghubungi penulisnya segera", jawabku dengan senang hati.
Terlanjur merasa bahagia. Aku langsung berdiri dan hampir meninggalkan ruangan itu. Lalu....
"Kemana kamu?" Pak Julio menghentikan.
Aku menoleh. "Oh, Maaf. Apakah ada yang perlu dibahas lagi?"
Pak Julio mengangguk lagi. Dia menunjuk kursi yang ada di depannya, memberi isyarat untuk duduk kembali.
Aku duduk dengan penasaran, sambil menunggu pak Julio melanjutkan.
Kami duduk dalam keheningan panjang. Aku bisa merasakan pak Julio ragu-ragu, dan itu membuat jantungku kembali berdegup kencang. Dan tiba-tiba setelah beberapa detik, pak Julio mengatakan, "Saya dengar, kamu sudah bercerai, Riana?"
"Ya..." Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan pribadi yang tiba-tiba ini.
Namun aku segera menyadari dan mengangguk pelan. "Iya, Pak. Kamu sudah bercerai, tapi ada sesuatu yang perlu bapak tanyakan tentang hal itu?"
"Hanya ingin tahu saja". Ujarnya seolah-olah ini adalah keinginan tahuannya saja.
Aku mengangguk, mencoba membaca untuk tidak terlalu jauh kedalam maksudnya. Mungkin dia hanya mendengarkan rumor di kantor dan ingin memastikan saja. Tapi, tidak lama kemudian Pak Julio melemparkan pertanyaan yang tidak pernah aksu duga.
"Apakah kamu tidak ingin mencari suami baru, Ariana?"
Bibirku terbelalak. "Eh, iya?"
"Kamu sudah janda sekarang. Tidak ingin menikah lagi?" Tanyanya tanpa basa-basi.
Sejenak aku merasa otakku mati sebentar. Apakah ini adalah topik yang layak untuk dibahas dengan atasan? Aku merasa tidak nyaman.
Meskipun begitu, aku mencoba untuk tetap profesional. "Maaf, Pak. Saya belum memikirkannya".
"Kenapa, tidak?"Pak Julio mendelik, seakan tidak terima dengan jawabanku.
"Saya hanya belum memikirkannya!" Kataku kikuk. "Masih banyak hal yang harus dipikirkan..."
"Sayang sekali..." Ucap Pak Julio dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. "Kalau kamu menikah lagi, kamu tidak akan pernah bekerja lembur lagu seperti kemarin".
Aku menelan ludah. Faktanya yang membuat aku lembur kemarin adalah dia sendiri. Tapi aku memilih tetap tersenyum kikuk. "Saya belum terpikirkan, Pak!"
"Ya, terlalu disayangkan", katanya lagi, tanpa memberikan petunjuk lebih lanjut.
Akhirnya, aku diberi izin setelah mengkonfirmasi bahwa aku akan menghubungi penulis naskah eklusif ini. Segera setelah itu, aku keluar dari ruangannya dengan rada lega.
Berat sekali perasaan ini. Tetapi saat aku melihat naskah yang akan diterbitkan sebagai cerita eklusif, semua kekhawatiran ku seketika lenyap.
Saat aku bertemu dengan Kenzi diluar ruangan, dia langsung menanyakan kabarku dengan senyuman.
"Ada kabar baik, Kenzi!" Kataku dengan senyum. "Naskah yang kita kurasi malam itu akan diterbitkan sebagai novel bulan depan".
"Serius?" Mata Kenzi membulat, dengan ekspresi terkejut yang sama denganku.
"Ya, terimakasih sudah bantuin aku malam itu. Nanti akan aku traktir makan siang sebagai ucap terimakasih", kataku.
Kenzi langsung mengiyakan dengan semangat. "Saya menunggu undangan ibu".
...****************...
Suasana hatiku sedang berbunga sejak pagi. Pekerjaanku terasa ringan, terlebih setelah aku mendapatkan lampu hijau dari penulis naskah yang akan terbit.
Namun tiba-tiba, suasana itu buyar begitu pintu kantor terbuka dengan keras. Mamaku Endah, masuk dengan langkah cepat, wajahnya terlihat merah padam. "Ariana!" Itu kata pertama yang terdengar begitu dia memasuki ruangan.
Aku tersentak kaget melihat kedatangan Mama yang tiba-tiba.
BRAKK!!
Aku hampir melompat saat Mama melempar sebuah dokumen keatas meja kerjaku. "Ariana, apa ini yang aku dengar? Kamu mau menjual rumahmu sendiri?" Bentaknya tanpa menunggu kata.
Aku menelan ludah sebentar. Enggan menjawab, apalagi wanita itu tidak bisa membaca tempat dimana dia berteriak sekarang.
Tentu saja seluruh mata yang bada di ruangan itu langsung tertuju ke arah kami. Aku kesal, tapi lebih merasa malu karena Mama tiriku ini.
"Kenapa diam kamu?" Sambung mama sambil melotot. "Bener kamu jual rumahmu?"
Aku menarik nafas dalam. Lalu mengangguk, mengiyakan dengan malas.
"Kurangajar!"
PLAKK!!!
Satu tamparan mendarat di pipiku.
Mataku membulat tak percaya. Namun sebelum menuntut penjelasan, wanita itu di depanku kembali mencak-mencak.
"Apa-apaan kamu jual rumah itu, hah?" Serunya. "Kamu pikir bisa jual seenaknya, gitu?"
"Aku mau pindah, Ma. Daripada rumah itu gak kepake", jelas ku.
"Nggak ke pake?" Mama semakin mendelik. "Kamu kalau mau pindah, ya pindah saja. Gak usah pake jual rumah segala!"
"Ya, terus rumah itu mau di apain?" Tanyaku. "Udahlah, Ma. Aku masih kerja, mending Mama pulang, kita bicarakan lagi nanti".
Aku membuang muka, sengaja tidak mau meladeni Mama lebih jauh. Namun lagi-lagi wanita itu menarik lenganku.
"Pokoknya aku gak mau tahu. Kamu batalin transaksi rumah itu, atau __"
"Atau apa, Ma?" Potongku dengan tenang, namun dengan penuh penekanan. "Itu rumahku, aku beli pakai duitku sendiri. Kenapa aku gak boleh jual?"
Bisa aku rasakan kemarahan memuncak di mata Mama. Namun sudah cukup, aku kadung lelah dengan semua dramanya.
"Atau Mama nyuruh aku gak jual rumah itu biar Ayunda dan Dimas bisa tinggal dirumah itu?" Aku menebak dan sepertinya tebakanku sangat tepat. "Kalau memang kayak gitu, mending Mama suruh Dimas yang miskin itu beli rumah sen__"
PLAKk!!
Satu tamparan kembali aku terima. Kali ini lumayan terasa perih, dan membuatku seketika kehilangan kata-kata.
"Kamu anak gak tahu diuntung!" Ucap Mama dengan mata memegang.
Aku pikir wanita itu akan berhenti setelah menamparku dua kali. Namun nyatanya tidak, wanita itu semakin brutal dengan menarik rambutku sangat keras.
"Dasar anak pungut gak tahu diri!"
Aku meringis menahan perih di pangkal rambut. Tiba-tiba aku merasa seperti berada dalam sebuah adegan film yang menyeramkan, tapi ini nyata. Nafasku terasa sesak, tidak hanya karena sakit fisik, tetapi juga karena rasa malu dan marah yang memuncak.
"Ma, berhenti!" Teriakku sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Mamaku yang kasar. Beberapa orang dikantor mulai bergerak, mungkin ingin menghentikan kejadian ini, tapi tidak seorangpun berani menyentuh Mamaku.
Mamaku menatapku dengan mata yang teramat marah. "Kamu pikir aku akan diam saja melihat kamu melakukan hal ini? Rumah itu bukan milikmu seorang, Riana!"
"Ma, sakit!"
Beberapa rekan kerjaku akhirnya menarik Mama, berusaha melerai pertengkaran kami.
Hingga akhirnya Mama melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuatku hampir terjatuh ke lantai. Dia menatapku sebentar, kemudian berbalik dan keluar dari kantor dengan langkah cepat dan marah.
Aku duduk di kursi, mencoba menenangkan diri yang gemetar. Beberapa rekan kerja mendekatiku dengan ekspresi khawatir, menawarkan bantuan atau sekedar untuk mendengarkan. Aku hanya menggelengkan kepala, tidak ingin membuat situasi ini semakin rumit.
Rasa malu ini jauh lebih besar daripada rasa sakit akibat jambakan. Kalau saja Mama tidak lebih tua, aku pasti akan menjambaknya balik.
Ketika aku masih merenung di depan meja kerja, tiba-tiba Kenzi menghampiriku dengan tatapan cemas. "Bu Ria__"
"Riana!" Pak Julio terlihat berkacak pinggang di ambang pintu. "Bisa keruangan saya sebentar?"
Ah, ini dia. Aku pasti akan mendapatkan masalah sekarang.