Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penagih Janji
Rumah panggung itu masih basah oleh embun ketika suara ayam jantan kedua kali menggema dari balik surau kecil dekat tikungan. Biasanya, pagi-pagi begini suasana sarapan selalu riuh oleh obrolan ringan—entah soal Ayah yang bercanda tentang harga kopi yang makin naik, atau Ibu yang mengomel halus karena Raga terlalu sering lupa bawa sarung ketika ke masjid. Namun pagi ini… keheningan turun bagai kabut tebal di halaman rumah.
Raga duduk di meja kayu, memandangi sepiring lontong sayur yang masih mengepul pelan. Ibu mondar-mandir tanpa bersuara, sesekali menghela napas panjang. Sementara di sudut ruangan, Ayah menunduk khusyuk menyeduh teh, gerakannya lambat seolah takut memecah sunyi.
Lalu, entah kenapa… aroma melati samar-samar mencuat menyebar didalam ruangan, membuat bulu kuduk Raga berdiri. Padahal ia yakin bunga melati itu sudah ia buang semalam sebelum tidur.
Ibu menoleh, memperhatikan perubahan wajahnya. “Kenapa, Nak?” suaranya lembut, namun kecemasan tergambar sulit disembunyikan.
Raga tidak langsung menjawab meremas jemarinya, menahan degup kencang di dadanya. Kilasan mimpi—atau entah apa itu—masih berputar-putar di kepalanya. Arumi. Suaranya. Sentuhan dingin tangannya. Bunga melati di bantalnya. Dan pertanyaan terakhir gadis itu…
"Abang, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Dadanya terasa sesak mengingatnya lagi.
Ayah, pria berkopiah hitam itu akhirnya angkat bicara. “Raga…” ucapnya pelan, serak seperti orang yang belum tidur semalaman. “Apakah kamu tadi malam bermimpi lagi?”
Ia terkejut. Jarang sekali Ayah menanyakan menyangkut dirinya secara spesifik. Selama ini, dia lebih sering menghindar pembicaraan menyentuh mimpi, makhluk halus bunian, atau perjanjian lama keluarga besar mereka.
Ibu, perempuan berselendang itu melirik khawatir, “Bang… jangan dulu—jangan cerita, situasinya sedang tidak nyaman."
“Terlambat,” Ayah memotong cepat, , tatapannya tertuju pada bola mata anaknya memerah karena kurang tidur. “Perjanjian itu sudah mulai menagih. Kita tidak bisa berpura-pura lagi.”
Raga menggenggam sendoknya gemetar, bibir nya memutih “Ayah… jadi semua cerita Ibu semalam itu benar? Perjanjian itu… bukan hanya dongeng menjelang tidur?”
Ayah terdiam tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah jendela, batang cubadak, dan pohon pinang daunnya bergoyang pelan di tiup angin subuh membawa aroma tanah basah, bercampur dengan bau bunga kantil kemenyan, sesuatu yang dingin dan asing.
“Apakah kamu tidak pernah berpikir mengapa ayah sering sakit sakitan akhir ini?” ujarnya lirih.
Raga terdiam sepi, memang benar adanya Ayah yang dulu kuat bekerja di ladang dari pagi sampai petang, kini mudah sekali batuk, lelah, dan kadang-kadang terlihat melamun di anjung, seolah melihat sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya dan ibu.
“Keturunan lelaki dalam keluarga kita, jika sampai umur tertentu tidak memenuhi janji moyang maka akan ‘diingatkan’,” lanjut Ayah sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Dan sekarang, giliran itu turun kepadamu, Raga.”
Ibu menunduk, menahan tangisnya, “Ayahmu…sering kali tengah malam tidak dapat tidur, terkadang mengigau memanggil namamu, dan moyang tuanku Rusdi. Moyang yang dulu membuat perjanjian.”
Ayah, laki laki bertubuh kurus itu menghela napas panjang menatapnya dalam. “Kamu melihat melati itu Nak?”
Raga menelan ludah, kerongkongan nya terasa pahit, " Raga tidak tahu Yah, pagi ini bunga melati itu ada lagi di bantal.”
Ayah menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Napasnya berat, memendam rahasia besar menyelimuti keluarganya.“Itu pertanda,” ucapnya rintih. “Tanda bahwa gadis itu… sudah datang.”
Suasana diruangan makan hening. Hanya suara sendok bergetar di tangan, dan dering piring yang menghentak di atas meja.
“Raga, " Ibunya tiba tiba menyela, " kamu mengatakan pernah bertemu dengan gadis itu? Apakah benar?”
Ia mengangguk perlahan. “Apakah ibu tidak menyadari dia datang saat Raga sakit ?'Arumi… dia memanggil ‘Abang’, Anak dari keturunan Haji Rusdi—”
Ibu tercekat tidak mengerti, " kamu selalu berkata begitu, tapi ibu tidak pernah merasakannya."
Ayah terperanjat kecil mendengar nama Arumi “Arumi...Dia menyebut nama ayahnya?”
“Secara spesifik tidak ayah, cuma dia… dia mengatakan perjanjian itu tidak baik. Bahkan dia tahu… kalau hubungan ini melanggar aturan Tuhan.”
Ayah menghela napas lega, menatap Ibu bercampur rasa penasaran dengan ketakutan. “Kalau begitu… mungkin Arumi, gadis itu berniat baik, tapi kita tidak mengerti alur pikiran makhluk halus. Dan ini membuktikan satu hal lain,” lanjutnya sambil mengepalkan tangan, “bahwa batas antara alam kita dan alam mereka kini sudah tipis. Terlalu tipis.”
Raga merasakan tengkuknya meremang. Udara di ruangan terasa lebih dingin dari sebelumnya.“Ayah…” suaranya bergetar halus. “Kalau memang Arumi tidak ingin mengganggu… kenapa dia terus muncul?”
Laki laki beruban tipis itu menatapnya berat dan dalam.“Karena janji itu bukan dibuat oleh Arumi,” jawabnya pelan tetapi jelas. “Janji itu dibuat oleh moyang kita. Dan yang berhak menagih… bukan keturunan perempuan. Tapi penjaga perjanjian.”
Ibu spontan meraih tangannya. “Nak… mulai malam ini jangan keluar rumah dulu setelah Magrib, ya. Ibu takut kalau—”
Suasana berubah dingin, entah dari mana datangnya hembusan angin merasuk tubuh. Dan secara tiba-tiba sayup terdengar dari arah loteng langkah kaki seseorang sedang berjalan menapak langkah diatas papan kayu tua.
Mereka terdiam beku tanpa suara
Ayah bangkit perlahan, wajahnya pucat. “Apakah kamu membuka jendela loteng semalam, Raga?”
“Raga…tidak membuka apa pun, Yah, " jawabnya tersentak melihat ibu.
Perempuan itu merapatkan kain selendangnya, tubuhnya bergetar hebat. “Bang… jangan katakan—”
“Dia sudah masuk rumah,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Suara itu datang lagi… berat tertatih tatih, seakan sengaja mengetuk loteng memberitahu kehadirannya.
Raga mengalihkan pandangannya terlihat pucat pasi. “Ayah… siapa?”
Pria beruban itu menelan ludah, menatap ke arah langit-langit rumah berderit.“Bukan siapa siapa”. Dia hanya menagih.”
Ibu langsung memeluk lengannya, bibirnya komat-kamit membaca doa.
Raga merasakan dingin merayap dari ujung kaki ke tulang belakangnya. Suara langkah itu berhenti tepat di atas mereka.
Lalu… hening.
Ayah menggenggam bahu laki laki itu kuat sekali, seakan memberikan pesan terakhir.
“Nak,” ucapnya parau, “sebelum semua berakhir buruk… kita harus melakukan ritual pemutusan malam ini.”
Raga tersentak, tubuhnya gemetar hebat, " Ritual pemutus?Aku tidak bisa ayah."
" Jangan katakan itu, Nak. janji adalah hutang yang harus dibayar."
"'Tapi bukan raga yang membuat janji, tapi moyang, moyang lah harus bertanggungjawab."
" Raga, " Ibunya menyental, wajah nya memerah, "Jangan katakan moyang dalam situasi seperti ini, kamu harus lebih bijak, jangan takut, ada ayah, Angku yang akan membimbingmu."
" Apakah Ibu ikut?”
Ayah menggeleng berat.“Tidak. Hanya laki-laki yang boleh hadir hak mengakhiri janji.”
Raga terdiam kelu, di atas langit-langit, suara ketukan ringan terdengar sekali lagi—pelan, sabar, seperti pengingat, seseorang… atau sesuatu… yang menunggu.