Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Sembilan
Hening lima detik setelah jatuh itu terasa seperti film slow motion. Kirana masih berada tepat di atas tubuh Samudera, dengan jarak wajah yang bahkan semut pun mungkin bisa lewat sambil say hi. Deg-degan. Nafas campur. Tatapan intens.
Sampai akhirnya terdengar bunyi. Suara yang entah dari mana, mungkin dari punggung Samudera yang protes dipaksa jadi matras darurat, membuat keduanya tersentak bersamaan.
“A—aduh!” Sam memegangi pinggang. “Pinggangku! Badanmu berat juga Kiran. Untung tak patah pinggangku!"
Kirana langsung bangkit panik. “Astaga Sam! Kamu nggak apa-apa? Tapi, badanku tak berat ya. Jangan asal bicara!"
"Nggak berat, tapi posisi jatuhmu di tubuhku itu tak nyaman bagiku!"
Kirana lalu bangun dari tubuh suaminya itu. Tapi saat ia mencoba berdiri, kembali jatuh. Karena saat ia bangkit kakinya yang masih di lantai basah kembali
“KI–RANAAA!!”
Ia jatuh lagi. Tepat di atas perut Samudera. Pria itu merasa tubuhnya remuk.
“Ya Allah Kiran! Jangan dijadikan aku sebagai trampolin hidup!!”
Kirana panik total. “Sam! Sam! Ya Tuhan maaf, maaf ... maaf!! Aku ....”
“Aduh … tunggu. Izinkan aku mengingat kembali bagaimana rasanya punya tulang belakang.”
Kirana buru-buru bangkit, kali ini dengan merangkak supaya tidak jatuh lagi. Tapi karena gugup … ia malah kepleset kali ketiga.
Kirana terjerembap ke samping sofa. Samudera menutup muka dengan satu tangan sambil tertawa meski masih meringis.
“Kiran … kamu tuh bukan kepleset. Kamu tuh kayak nabrak skripsi, jatuhnya berkali-kali tapi masih lanjut aja.”
Kirana mendongak dari lantai dengan muka kusut seperti daun singkong. “Samudera … ini lantai terlalu licin!”
“Lah jelas! Kamu tuang cairan pembersihnya kayak tuang sirup buat buka puasa! Ini lantai, bukan es campur!”
Kirana meraih sapu pel sambil bersusah payah. “Ya ampun … pokoknya jangan ketawa! Kamu hampir mati tertindih aku!”
“Gimana aku nggak ketawa,” Samudera duduk sambil memegang pinggang, “kamu jatuh tiga kali dan semua jatuhnya ke Aku. Tiga kali! Persentase keberhasilan kamu menimpa aku itu 100%! Itu statistik luar biasa!”
Kirana lempar tatapan mematikan. “Aku bantuin kamu bersih-bersih, tau!”
“Iya, iya. Makasih. Tapi ....” Sam menunjuk lantai,
“Untuk keselamatan kita, mari berhenti sebelum apartemen ini berubah jadi Rumah Sakit.”
Samudera berjalan pelan dan mengambil baju kering yang tak dipakai lagi, dia mengelap ke lantai basah itu agar tak licin lagi.
Setelah lantai agak kering dan Samudera memastikan Kirana tidak terjun bebas lagi, mereka duduk di sofa sambil menarik napas panjang.
Kirana memeluk bantal. Pipinya masih merah, entah karena capek, malu, atau semua kejadian memalukan barusan.
“Aku … sumpah … itu semua kecelakaan. Tak aku sengaja,” ucap Kirana malu.
Samudera meneguk air minum sambil mengibas-ngibaskan baju yang basah. “Iya. Dan aku percaya. Tapi kalo kamu jatuh sekali lagi, aku bakal pake helm.”
Kirana mendengus. “Jangan bercanda!”
“Aku serius,” jawab Sam dengan muka sok tegang. “Aku akan beli helm hitam, tulisannya besar:
‘HELM ANTI KIRANA’.”
“Samudera!!”
Sam ngakak sampai sofa bergoyang.
Tapi kemudian ia menatap Kirana sebentar. Lebih lembut. Lebih lama. Tanpa tawa.
“Tapi … Kiran,” ucap Samudera pelan. “Tadi waktu kamu jatuh pertama kali … kita kan, ehm, dekat banget.”
Kirana membeku. “Jangan bahas itu.”
“Kenapa?” Samudera menyenggol bahunya. “Kamu malu ya?”
“Aku nggak malu!” bantah Kirana spontan.
“Terus apa?”
“Aku … cuma … ya sedikit malu.”
Sam tertawa lagi. Kirana melempar bantal ke muka Sam. “Kamu itu nggak bisa serius sedetik aja ya?”
Sam menangkap bantal itu dan meletakkannya di pangkuannya, lalu menatap Kirana dengan senyum kecil yang aduh, menyusahkan jantung.
“Aku bisa serius, Kirana.”
Detik itu, hening turun sebentar. Tapi sebelum suasana berubah jadi romantis lagi, Sam menambahkan:
“Tapi kamu tuh kalau jatuh menggemaskan banget. Kayak bayi kura-kura kebalik.”
“Samudera.”
“Iya?”
“Tolong diam sebelum aku lempar setrika.”
Sam langsung terdiam tapi matanya tetap berbinar menahan tawa.
Kirana akhirnya berdiri. “Oke! Lantai udah kering. Aku mau ke kamar mandi dulu, cuci muka. Kamu jangan bikin lantai ini licin lagi ya!”
“Siap, yang punya rumah.”
Kirana menuju kamar mandi. Samudera bersandar di sofa, menghela napas panjang sambil mengusap pinggangnya.
“Aduh sakit … tapi lucu sih,” gumam Samudera sambil tertawa kecil.
Namun saat Kirana menutup pintu kamar mandi, terdengar suara jatuh lagi. Suara keras terdengar dari dalam.
“Kiran! Kamu kejatuhan apa lagi?!” teriak Samudera panik sambil lari.
Dari dalam terdengar suara Kirana, putus asa:
“Sam ... aku terpeleset lagi," ucap Kirana dari dalam kamar mandi.
Samudera langsung berlari ke kamar mandi, beruntung belum di kunci. Dia langsung menggendong Kirana ke kamar.
Samudera menurunkan tubuh Kirana dengan pelan ke atas tempat tidur.
"Hobi kok jatuh sih," ucap Samudera.
"Bukan hobi, Sam. Mana ada orang yang mau terpeleset terus," balas Kirana.
Samudera berjalan menuju meja rias. Dia membuka lacinya seperti mencari sesuatu. Ia lalu mengambil balsem.
Samudera naik ke ranjang dan mendekati istrinya itu. "Ayo tengkurap!" perintahnya.
Dengan pelan Kirana melakukan perintah suaminya itu, walau dengan penuh tanda tanya. "Kamu mau apa, Sam?"
"Jangan ingatkan soal kontrak yang tanpa sentuhan fisik. Dari tadi kita juga sudah banyak bersentuhan.
Samudera tanpa permisi lalu menurunkan celana Kirana membuat gadis itu menahan tangannya. "Sam, jangan gila kamu mau apa?" tanya Kirana, mencoba menahan tangan Sam yang menurunkan celananya.
"Kamu tuh sudah dua puluh enam tahun, tapi pikirannya masih aja jelek terus. Aku mau mengoles balsem biar pinggang dan panggilmu tak nyeri!" ucap Samudera.
Kirana akhirnya pasrah dengan apa yang suaminya itu lakukan. Saat Samudera sedang mengoles balsem, tanpa ia dan istri sadar, mami telah berdiri di ambang pintu.
"Astaga Sam, Kirana, kalau mau gituan tutup pintu dulu, kunci dari dalam!" teriak Mami Vania.
Samudera langsung menarik tangannya dari pinggang Kirana, dan gadis itu juga menarik celananya ke atas. Mami Vania sudah tak terlihat, mungkin ada di ruang keluarga. Samudera turun dari ranjang ingin menyusul maminya.
**
Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭