NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suamiku Membelaku

Pagi itu matahari menyinari rumah kecil mereka dengan lembut, tapi suasana hati Alya jauh dari cerah. Meski ia mencoba tersenyum saat menyajikan sarapan, ada gurat lelah yang tak bisa ia sembunyikan dari matanya.

Ardi memperhatikan itu diam-diam.

Semalam ia melihat langsung bagaimana istrinya menangis, bukan sekali, tetapi berkali-kali. Bahkan ketika Alya berusaha tertawa pagi ini, Ardi tahu itu hanya topeng agar rumah tidak terasa berat.

“Sayang,” panggil Ardi, “kamu yakin nggak apa-apa?”

Alya mengangguk sambil memindahkan telur dadar ke piringnya. “Aku baik. Yuk makan.”

Tapi Ardi tidak mengambil sendoknya. Ia masih menatap Alya dengan cara yang membuat Alya akhirnya duduk, menyerah.

“Ada apa?” tanya Alya pelan.

Ardi menarik napas panjang. “Aku mikir sepanjang malam.”

Alya menelan ludah, mendadak tegang. “Mikir… apa?”

Ardi mengusap wajahnya. “Tentang kamu. Tentang kita. Tentang apa yang keluarga aku bilang kemarin.”

Alya langsung menunduk. “Aku nggak mau bahas itu lagi, Di.”

“Tapi aku harus.” Ardi mendekat. “Karena aku udah terlalu lama diam.”

Alya tertegun. Ada sesuatu di suara Ardi lebih tegas, lebih mantap dari biasanya.

“Aku lihat kamu kemarin,” lanjut Ardi. “Aku lihat kamu tahan semuanya sendirian. Dan aku…” suaranya melemah, “aku nggak ada buat kamu.”

Alya mengangkat wajahnya perlahan. “Kamu ada, Di…”

“Tidak seperti seharusnya.” Ardi memotong lembut. “Aku suami kamu. Tapi aku cuma duduk, diem, sementara orang lain keluarga aku sendiri ngomong hal yang bikin kamu terluka.”

Alya membuka mulut, ingin menenangkan Ardi, tapi pria itu menggeleng.

“Aku janji… itu terakhir kalinya.”

Alya menatap Ardi, terpaku. Ada sesuatu di mata Ardi bukan amarah, tapi tekad yang benar-benar matang. Hatinya berdegup pelan.

 ~~~

Baru saja Ardi selesai mandi, ponselnya berdering. Nama Ibu muncul di layar.

Alya yang sedang menyapu ruang tamu langsung berhenti. Hatinya mencelos.

“Diangkat aja,” ucap Alya lirih.

Ardi melihat wajah Alya yang langsung tegang hanya karena satu panggilan itu. Ia meraih ponsel, menghela napas, lalu menjawab.

“Halo, Bu.”

Suara Bu Ratri langsung meluncur, tanpa jeda.

“Ardi, besok kamu sama Alya ke rumah lagi, ya. Ibu mau bicara soal program hamil. Ibu sudah cari-cari rekomendasi dokter kandungan yang bagus. Kalian harus mulai serius. Jangan kebanyakan nunda.”

Alya memejamkan mata, seperti menunggu pisau yang sebentar lagi jatuh.

Ardi menatap istrinya. Lalu ia berdiri tegak. Dan untuk pertama kalinya… suaranya berubah.

“Bu,” ucap Ardi pelan tapi sangat tegas, “jangan bahas itu lagi.”

Alya langsung menatapnya, kaget.

“Hah? Maksud kamu apa, Di?” suara ibunya meninggi.

“Aku bilang jangan bahas soal anak, soal program, soal badan Alya, atau apa pun yang bikin dia tertekan.”

Hening sesaat di seberang sana—hening yang penuh keterkejutan.

Lalu suara Bu Ratri meninggi.

“Ardi! Kamu kenapa? Ini buat kebaikan kalian! Ibu ini peduli!”

Ardi mengepalkan tangan. “Perhatian yang bikin istri aku nangis sampai nggak bisa tidur… itu bukan perhatian, Bu.”

Alya tertegun... Jantungnya berdetak kacau.

“Alya itu perempuan, Di!” seru Bu Ratri. “Tugasnya punya anak!”

Ardi memejamkan mata. “Bu, cukup.”

“Kenapa kamu belain Alya kayak begitu? Ibu ini ibumu sendiri!”

Ardi mengusap wajahnya, tapi ia tidak mundur. “Dan Alya itu istri aku. Orang yang aku pilih. Orang yang hidup sama aku. Orang yang aku harus jaga.”

Suara Bu Ratri terdengar seperti hendak protes lagi, tapi Ardi memotong cepat sebelum kalimat itu muncul.

“Mulai sekarang, jangan tekan dia. Jangan bandingkan dia sama siapa pun. Jangan singgung soal keturunan. Kalau mau ketemu, silakan. Tapi topik itu… stop.”

Alya menggigit bibir, napasnya gemetar. Ia tidak percaya Ardi mengatakan itu. Ardi yang biasanya diam. Ardi yang selalu takut menyakiti hati ibunya. Ardi yang sering bingung membela istri… Kini berdiri untuknya. Untuk pertama kalinya.

Suara Bu Ratri berubah ketus. “Kamu berubah, Di. Semua gara-gara Alya...”

“Bu!” suara Ardi naik, untuk pertama kalinya. “Alya nggak salah apa-apa.”

Alya menutup mulutnya dengan telapak tangan agar isaknya tidak terdengar.

Ardi melanjutkan, suaranya kembali terkontrol. “Aku sayang sama Ibu. Tapi aku juga sayang sama istri aku. Dan aku nggak mau dia terluka lagi.”

Ada keheningan panjang... Sangat panjang... Kemudian Bu Ratri hanya berkata dingin: “Ya sudah. Terserah kalian.”

Telepon ditutup.

Ardi menurunkan ponselnya—napasnya berat seperti habis berlari.

Alya hanya berdiri mematung, memeluk gagang sapu, gemetar.

 ~~~

Setelah Telepon Ditutup Ardi menatap Alya.

“Alya…”

Alya langsung meneteskan air mata tanpa bisa menahan.

Ardi berjalan cepat dan memeluknya.

“Aku nggak nyangka…” suara Alya pecah. “Kamu… kamu bela aku…”

Ardi mengusap punggungnya. “Harusnya dari dulu.”

Alya menangis lama di bahunya tangis lega, dan sedih sekaligus.

“Aku takut kamu jadi berantem sama ibumu,” isaknya.

Ardi menggeleng. “Kalau aku harus ribut demi kamu nggak disakiti lagi… aku rela.”

Alya memeluknya lebih erat.

“Alya,” Ardi menarik sedikit tubuh istrinya agar bisa menatap wajahnya, “kamu itu manusia. Bukan mesin pembuat anak. Nggak ada orang yang berhak maksa kamu atau nyakitin kamu.”

Alya menggigit bibir, mencoba menahan tangis.

“Terima kasih, Di…”

Ardi menghapus air mata Alya dengan ibu jarinya. “Mulai sekarang, kamu nggak sendirian lagi. Ada aku.”

Hati Alya terasa seperti diremas bukan karena sakit, tapi karena penuh.

Sesuatu di dalam dirinya pelan-pelan longgar. Tidak sepenuhnya sembuh, tapi mulai bernapas.

 

Saat mereka berdua mulai sedikit tenang, suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Alya dan Ardi saling menatap.

Tidak lama kemudian… seseorang mengetuk pintu.

Tok....

Tok....

Tok...

Alya merasakan perutnya mual. “Jangan bilang…”

Ardi menghela napas. “Aku yang buka.”

Ketika pintu dibuka, benar saja: Bu Ratri berdiri di sana. Wajahnya kaku, tapi sorot matanya jauh lebih lembut daripada saat di telepon.

Alya langsung menegang.

Ardi berdiri di depan Alya, bukan sebagai penghalang, tapi sebagai sandaran.

Bu Ratri menatap mereka berdua bergantian. “Ibu masuk, ya?”

Ardi mengangguk, meski waspada. Begitu masuk, suasana menjadi kental dan berat. Alya menunduk, namun Bu Ratri memanggil pelan, “Alya…”

Alya mengangkat wajah, penuh rasa takut. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka saling mengenal Bu Ratri menghela napas… lalu berkata:

“Ibu minta maaf.”

Alya membeku. Ardi pun kaget. Namun permintaan maaf itu… belum selesai. Dan reaksinya… bisa jadi tidak semanis yang terlihat.

Alya duduk di kamar tamu, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Matanya masih sembab setelah mendengar ucapan Ibu Murni yang menusuk hati. Ia mencoba bernapas pelan, tapi dada tetap terasa sesak.

Pintu kamar berbunyi pelan. Ardi masuk.

“Sayang…” suaranya lembut, berbeda sekali dengan ketegasan yang tadi ia keluarkan di ruang tengah.

Alya mengangkat wajahnya. “Maaf… aku bukan bermaksud bikin masalah di rumah,” suaranya lirih.

Ardi langsung duduk di sampingnya dan meraih kedua tangannya. “Alya, kamu nggak salah sama sekali. Bukan kamu yang harus minta maaf.”

Alya menunduk lagi, suara bergetar. “Tapi… aku jadi penyebab kamu bertengkar sama ibumu.”

Ardi mengusap pipinya dengan ibu jari, lembut. “Dengar ya… aku bukan anak kecil lagi yang harus diam kalau istriku diperlakukan nggak adil. Kamu istriku. Tempatku ada di pihak kamu.”

Alya memejamkan mata. Kata-kata itu seperti hangat yang turun perlahan ke hati yang retak.

Ardi melanjutkan, masih memegang tangannya erat.

“Aku capek lihat kamu selalu disalahkan. Capek lihat kamu selalu nangis diam-diam. Selama ini aku terlalu sering diem, takut dianggap anak durhaka. Tapi sekarang aku sadar… membiarkan kamu terluka jauh lebih durhaka daripada menegur orang tuaku sendiri.”

Alya akhirnya menangis. Bukan sedih, tapi lega.

Ardi mengusap rambutnya, menariknya ke dalam pelukan. “Kamu nggak sendiri lagi. Mulai sekarang, kalau ada yang menyudutkan kamu soal anak, soal rumah tangga kita… aku yang akan berdiri duluan.”

Alya menahan napas, suaranya pecah. “Aku takut, Di… takut kamu berubah. Takut kamu juga capek sama aku.”

Ardi memegang kedua sisi wajahnya, menatap langsung ke mata istrinya.

“Aku nggak akan capek. Kamu tahu kenapa?”

Alya menggeleng pelan.

“Karena aku yang minta kamu jadi istriku. Aku yang janji waktu ijab kabul: menjaga, melindungi, dan menemani. Jadi itu yang akan aku lakukan.”

Pelan-pelan, rasa cemas yang menjerat Alya sejak berbulan-bulan lalu mulai melonggar.

Alya bersandar ke dada Ardi. “Terima kasih… akhirnya kamu bela aku.”

“Aku seharusnya dari dulu.”

 ~~~

Malam itu suasana rumah sepi. Ibu Murni tidak keluar dari kamarnya sama sekali. Laras sesekali mengintip ke ruang tamu, tapi tidak berani masuk. Dimas yang baru pulang kerja langsung menutup pintu kamar, pura-pura tidak tahu apa-apa. Hanya Raka yang sempat menggedor pintu kamar Ardi sebelum pergi tidur, berbisik:

“Bang… makasih udah belain Kak Alya.”

Ardi hanya mengangguk.

Setelah semua mulai tenang, Ardi kembali ke kamar bersama Alya. Ia menatap istrinya yang tampak masih menyisakan ketakutan, walau sudah lebih tenang.

“Kamu masih kepikiran?” tanya Ardi lembut.

Alya menghela napas panjang. “Bukan soal omongan ibu… lebih ke perasaan bersalah. Aku nggak mau jadi alasan kamu ribut terus sama keluarga sendiri.”

Ardi duduk di tepi ranjang, menepuk tempat di sampingnya agar Alya ikut duduk. “Alya… kamu bukan pemicu masalah. Kamu cuma jadi sasaran empuk karena kamu diem. Karena kamu terlalu sabar.”

Alya tersenyum pahit. “Itu buruk ya?”

“Untuk orang yang kamu sayang… iya. Kamu tahan semuanya sendiri, padahal aku ada di sini.”

Alya menggigit bibirnya. “Aku cuma… mau rumah tangga kita rukun.”

“Justru itu. Dan aku harus ikut jaga itu, bukan cuma kamu.”

Ada jeda sebelum Alya akhirnya bersuara lagi. “Ardi… kalau nanti ibu marah sama kamu? Kalau ibu jadi nggak suka sama aku?”

Ardi memegang tangan Alya, menggenggamnya kuat.

“Aku akan jelasin baik-baik. Tapi kalau pun ibu tetap marah, aku akan hadapi. Kamu jangan takut.”

“Kenapa?” bisik Alya.

Ardi mengangkat wajahnya, menatap dalam.

“Karena kamu bagian dari aku. Kamu bukan orang luar. Kamu rumahku, Alya.”

Kalimat itu membuat dada Alya seolah retak lalu menyatu lagi. Hangat. Penuh.

Ia menunduk, memeluk Ardi dalam-dalam, lebih erat dari sebelumnya. “Aku sayang kamu, Di.”

Ardi membalas pelukannya. “Aku juga. Dan mulai hari ini, aku janji… aku akan selalu ada di pihak kamu. Kalau kamu sedih, aku yang pertama berdiri. Kalau kamu takut, aku yang pertama berdiri. Kalau kamu disudutkan… aku yang pertama berdiri.”

Alya menutup mata, air matanya menetes pelan. Tapi kali ini bukan karena sakit.

Melainkan karena akhirnya… untuk pertama kalinya sejak menikah, ia merasa dipilih.

 ~~~

Ia mendengar sedikit percakapan mereka. Hatinya bercampur antara marah, tersinggung, dan… gengsi untuk mengakui bahwa mungkin, ia tadi kelewatan.

Tapi entah kenapa, kata-kata Ardi yang ia dengar samar-samar terus memantul di kepalanya:

“Istriku bukan orang luar.”

Ibu Murni menghela napas panjang, menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat.

Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti kehilangan kendali atas Ardi. Namun ia juga tahu… mungkin ia harus mulai menerima. Bahwa hidup anaknya bukan lagi sepenuhnya miliknya.

Di dalam kamar, Alya memejamkan mata di pelukan Ardi. Untuk pertama kalinya, ia merasa aman. Dan rasa aman itu… adalah awal dari keberanian baru.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!