NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11 KUNJUNGAN MENDADAK

Sepulangnya dari makan malam bersama Margaret, Ava tidak mengucapkan apa pun pada siapa pun. Ia hanya melangkah masuk ke rumah, menutup pintu perlahan, lalu menahan napasnya sejenak—seolah tengah mencoba menahan seluruh perasaan yang hendak jatuh dari dadanya.

Beruntung, ayahnya belum pulang. Keheningan rumah menyambutnya, dingin dan kosong, seakan tahu persis betapa kacau isi kepalanya. Ava langsung masuk ke kamar, melepas sepatu dengan gerakan lambat, kemudian berjalan menuju kasur seperti seseorang yang telah kalah dalam sesuatu yang ia tidak mengerti sepenuhnya.

Begitu tubuhnya menyentuh kasur, ia terbaring telentang. Matanya menatap langit-langit yang pucat, sementara satu tangan terangkat menyentuh keningnya yang masih dibalut perban. Denyutnya terasa menusuk—bukan hanya fisik, tapi seperti mencerminkan perasaan yang sejak tadi berputar dalam dirinya tanpa arah.

“Seharusnya aku tidak mengatakan itu tadi…” gumam Ava lirih. Kata-kata itu menggoyang ulang percakapan dengan Margaret. Ia menggigit bibir, menyesali ucapan spontan yang terucap karena rasa bersalahnya: Ava akan mempertimbangkannya.

Padahal ia tidak ingin mempertimbangkan apa pun.

Dengan gerakan pelan, Ava meraih foto ibunya yang terpajang di atas nakas. Ia menggenggam pigura itu, seolah memegang sesuatu yang masih mampu membuat dunia tidak terasa berat. Lalu ia memutar tubuhnya menjadi menyamping, memeluk foto itu di dekat dadanya.

“Apa yang harus Ava lakukan sekarang, Bu?” suaranya melembut, nyaris patah. “Apa Ibu juga akan menyuruh Ava menerima permintaan Bibi Margaret… demi Martin?”

Hatinya berdesir nyeri ketika nama Martin terucap. Tiga tahun bersama, tiga tahun menjadi bagian dari keluarga Alder yang selalu memperlakukannya dengan hangat—hingga kadang ia lupa bahwa ia hanyalah orang luar. Margaret, Tuan Alder, bahkan adik Martin, Esther… semua menyayanginya.

Dan kini, rasa sayang itu berubah menjadi tali yang menjeratnya.

Ava mengecup kaca pigura itu pelan, mengusapnya dengan ibu jari. “Kalau Martin masih hidup… apa ia akan bahagia melihat aku dinikahkan begitu saja dengan adiknya?” bisiknya, hampir tidak sanggup mendengar suaranya sendiri.

Ia memejamkan mata. Satu per satu kenangan bersama Martin melintas seperti potongan film: tawa lembutnya, tangan hangatnya yang selalu menggenggam tangan Ava, caranya menenangkan setiap kecemasan Ava dengan sangat sabar… lalu wajah Margaret yang selalu menatapnya seperti menatap anak kandung.

Dan Arash…

Ava menghela napas panjang. Ia baru melihat Arash dua kali—dan kesan pertama itu buruk. Pemuda itu tajam, dingin, dan sama sekali tidak sopan padanya. Cara ia memandang Ava siang tadi seolah Ava adalah orang asing yang sedang mengganggu kenyamanannya. Tidak ada keramahan, tidak ada usaha berkenalan.

Bagaimana mungkin ia dipaksa mempertimbangkan pernikahan dengan seseorang yang bahkan tidak menghargainya?

Pikiran Ava berputar-putar, semakin lama semakin kusut, hingga akhirnya rasa lelah menyerangnya perlahan seperti kabut. Kelopak matanya berat. Napasnya mulai dalam dan ritmis. Dalam hitungan menit, ia pun terlelap—masih memeluk foto ibunya, seperti seorang anak yang tidak ingin kehilangan pegangan.

Sementara itu, jauh dari keheningan kamar Ava, malam justru hidup dengan cara yang brutal dan bising.

Deru knalpot motor memecah udara, membelah kegelapan seperti kilatan liar yang tak bisa dijinakkan. Sorak-sorai orang-orang mengisi langit malam saat dua motor melaju berdampingan, berebut posisi, saling menantang dan memanas.

Putaran terakhir. Semua napas tertahan. Semua mata mengikuti dua bayang metalik itu.

Dalam hentakan terakhir, motor sport hitam melesat lebih cepat—menyalip motor hijau dengan jarak tipis yang membuat sebagian penonton berseru ketakutan sekaligus kagum. Dalam sepersekian detik, garis akhir terlewati.

Motor hitam itulah pemenangnya.

Kerumunan langsung berhamburan mendekat, menyambut sang pemenang dengan teriakan dan tepuk tangan. Di tengah sorak-sorai itu, Lian muncul, menyeringai lebar. Ia menepuk bahu Arash ketika pemuda itu membuka helmnya.

Keringat dan angin malam masih menempel di wajah Arash, tapi senyumnya tampak puas—senyum yang langka, yang hanya muncul ketika adrenalin masih mengalir dalam darahnya.

Arash baru saja mengalahkan pria arogan yang menantangnya tadi. Dan sebagai taruhan, motor sport hijau itu kini menjadi miliknya.

“Berikan kuncinya,” kata Lian, nada suaranya riang sekaligus penuh kemenangan.

Dengan wajah masam, pria itu akhirnya menyerahkan kunci motornya.

Lian memutarnya di jari seperti anak kecil yang mendapat mainan baru. Dalam hitungan detik, ia menaiki motor itu dan menyalakannya, lalu menyusul Arash yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan arena.

Tujuan mereka adalah bar milik Arash di pusat kota—sebuah tempat yang hanya diketahui oleh kalangan tertentu.

Begitu tiba, Arash turun dari motor dan melepas helmnya. Rambutnya sedikit berantakan, napasnya masih teratur cepat. Ia menoleh pada Lian.

“Aku sudah bilang, tidak usah membawa motor jelek itu,” ucapnya datar.

Lian terkekeh sambil mengelus body motor Ducati hijau itu. “Kapan lagi kita dapat motor gratis? Lagipula… ini tidak segitu jeleknya.”

Arash mendengus, tak peduli. Ia berjalan masuk ke barnya, disambut lampu-lampu temaram yang berkelip lembut—bukan gemerlap kasar seperti bar kebanyakan. Tidak ada dentuman musik yang mengguncang dada. Tidak ada riuh kerumunan. Hanya suara langkah kaki, denting gelas, dan alunan musik instrument yang menenangkan.

Arash menciptakan bar ini untuk orang-orang yang ingin menyendiri, yang ingin minum dalam keheningan tanpa perlu bersaing dengan kebisingan dunia luar. Semua alkohol yang ia sediakan mahal—kualitas premium. Tempat itu bukan untuk semua orang.

Dan itulah prinsip Arash. Ia tidak mencari pasar. Ia menciptakan pasar. Jika targetnya tepat, orang yang ia inginkan akan datang sendiri.

Arash berjalan pelan menuju kursi favoritnya di pojok, masih dengan napas yang belum sepenuhnya stabil. Namun di balik ketenangan wajahnya, pikirannya sibuk. Wajah seseorang melintas—sekilas saja—wajah yang baru ia lihat dengan jelas siang tadi. Wajah seseorang yang ia buat marah… dan yang mungkin akan segera menjadi masalah.

...----------------...

Suara alarm pecah menembus keheningan kamar. Getarannya memantul di dinding-dinding yang masih diselimuti bayang-bayang tidur. Ava terjaga dengan tubuh yang belum benar-benar pulih dari kelelahan semalam. Ia bangkit perlahan, mematikan alarm di sisi kasur, lalu duduk sejenak sambil mengatur napas.

Hari ini Minggu. Tidak ada kantor, tidak ada desain mendesak, tidak ada omelan Irene. Hari yang seharusnya ia gunakan untuk menyegarkan kepala dan merencanakan koleksi gaun baru—mimpi yang selalu ia pelihara sejak remaja: brand miliknya sendiri.

Ava mengikat rambutnya asal, gerakannya cepat namun berantakan. Ia meraih matras dari sudut ruangan, lalu berjalan menuju jendela dan menarik tirai. Cahaya pagi menyembur masuk, hangat, pelan-pelan mendorong rasa sesak yang sejak kemarin melekat di dadanya.

Ia membuka tablet, memasang earphone, lalu mulai berolahraga mengikuti gerakan di layar.

Suasana kamar dipenuhi suara instruktur, napas Ava yang naik-turun, dan ritme musik yang mengalun lembut. Satu jam berlalu perlahan. Keringat membasahi pelipis dan punggungnya, membuat kausnya menempel pada kulit.

Ava melipat matrasnya kembali, lalu keluar kamar sambil merenggangkan leher dan bahu. Ia menuju dapur dengan langkah ringan, berencana meneguk air dingin. Namun suara seseorang menghentikan langkahnya.

“Ava.”

Ayahnya sudah duduk di meja makan, dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap, serta tumpukan berkas kasus yang memenuhi meja. Mata pria itu tidak lepas dari halaman-halaman yang ia periksa, namun suaranya tegas.

“Iya, Yah?” Ava menyahut sambil menuang air ke gelas.

“Tadi paman Agam menelpon,” ujar Luis. “Katanya… kau setuju menikah dengan Arash.”

Byurr—

Air yang baru saja masuk ke mulut Ava langsung keluar lagi, menyembur ke lantai. Ia terbatuk keras, terkejut, hampir menjatuhkan gelas dari tangannya.

“Apa?!” serunya.

Luis akhirnya menutup berkas yang dari tadi ia fokuskan. Ia menautkan jemari, lalu menatap Ava dengan tatapan yang campuran antara keheranan dan kehati-hatian. “Dan mereka akan datang hari ini.”

Ava mematung. Kepala dan dadanya terasa seperti penuh kabut. “A-Ava masih mempertimbangkannya… belum setuju,” ucapnya tergagap.

Luis menghela napas tenang, nada suaranya berubah lembut. “Ayah tidak akan memaksamu. Kau sudah dewasa, Ava. Kau tahu mana yang terbaik untuk dirimu sendiri.”

Perlahan, Ava mengambil kursi dan duduk di sisi ayahnya. Tatapannya meredup, seolah mencari peneguhan dalam mata ayahnya.

“Bagaimana menurut Ayah?” tanyanya pelan.

Luis membuka kedua telapak tangannya seolah sedang menimbang sesuatu. “Keluarga Alder memang sangat baik padamu. Mereka menyayangimu, mungkin terlalu. Dan Ayah rasa… mereka melakukan ini karena takut kehilanganmu. Takut kau pergi ke keluarga lain, kepada seseorang yang tidak memperlakukanmu sebaik mereka.”

Ia meraih tangan Ava, menggenggamnya hangat. “Tapi, meskipun begitu, keputusan tetap milikmu. Jika kau tidak menginginkannya, Ayah yang akan bicara dengan mereka.”

Ava mengangguk kecil, hatinya terasa sedikit lega. Tapi sebelum ia sempat menata pikirannya lebih jauh— Tiiiinnn

Klakson mobil berbunyi keras dari luar. Mereka berdua menoleh refleks. Ava merasakan darahnya berhenti mengalir. Lalu terdengar suara nyaring, memecah ketenangan rumah.

“Kak Avaaaaa!!”

Esther.

“ASTAGA!” Ava langsung berdiri dan kabur ke kamarnya seperti angin, rambutnya yang terikat asal ikut terayun.

Luis hanya bisa menahan napas sejenak sebelum akhirnya bangkit dari kursi. Ada ketegangan tipis di wajahnya—campuran antara kaget dan pasrah—ketika ia melangkah menuju pintu untuk menyambut tamu yang datang terlalu cepat dari yang ia perkirakan.

Begitu pintu dibuka, udara luar yang sedikit dingin masuk bersama pemandangan keluarga Alder yang berdiri di samping mobil hitam mengilap yang masih mengeluarkan sisa uap mesin.

Agam berdiri tegap seperti biasa, sementara Margaret terlihat anggun dengan dress panjangnya. Namun yang paling mencolok adalah Esther—yang sejak tadi sudah tersenyum bahagia, seolah-olah kedatangan mereka ke rumah Ava ini adalah kabar terbaik sepanjang minggu.

Arash turun paling terakhir dari mobil, dan tidak seperti yang lain, ia tidak tersenyum. Tatapannya langsung tertumbuk pada rumah Ava—sebuah tatapan yang tajam, penuh kekesalan yang bahkan tidak berusaha ia sembunyikan. Rahangnya mengeras. Ada kilatan marah di matanya, semacam protes yang tidak terucap.

Pagi tadi, di meja makan, Margaret mengatakan bahwa Ava telah setuju menikah dengannya. Kalimat itu masih menggema di kepalanya. Dan itu—tanpa ia sembunyikan—membuatnya benar-benar kesal.

Ia tidak menyangka gadis itu bisa langsung mengiyakannya. Padahal ia sudah jelas-jelas mengatakan agar Ava menolak perjodohan itu.

Apa yang dia pikirkan sebenarnya?Batin Arash, nadanya sinis, frustasi, dan sedikit tidak percaya.

Margaret memanggilnya dengan suara riang, seolah tidak menyadari badai kecil yang sedang bergulung dalam kepala putranya.

"Arash! Ayo masuk!"

Arash menoleh sekilas. Ekspresinya malas, hampir seperti seorang anak yang dipaksa mengikuti acara keluarga yang tidak ia inginkan. Namun tanpa protes, ia melangkah masuk melewati pintu rumah Ava.

Langkahnya berat, dan setiap tapak kakinya terdengar jelas di lantai ruang tamu yang tenang—seolah kemarahannya ikut masuk bersama dirinya...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 Jangan lupa tinggalkan jejak cinta kalian yaaa🤗❤️

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!