Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Tanda Tanya
Mentari pagi mulai menyinari kandri, membawa kehangatan ke setiap sudut Namun, di desa Kandri yang asri, kediaman keluarga Rahman tampak tenang dan damai. Desa ini terkenal dengan udaranya yang sejuk, pemandangan alam yang indah, serta keramahan penduduknya, jauh dari hiruk pikuk kota. Rumah keluarga Rahman, dengan arsitektur kolonial yang megah, berdiri kokoh di tengah hamparan kebun yang luas. Jalan setapak yang halus dan landai memudahkan akses bagi kursi roda, menunjukkan perhatian keluarga Rahman terhadap kebutuhan khusus. Embun masih membasahi taman di sekeliling rumah, menciptakan suasana pagi yang segar dan menenangkan. Di antara tanaman bougenville yang berwarna-warni, pohon mangga yang rindang, dan kolam ikan koi yang gemericik airnya, Pak Gimin, tukang kebun yang sudah bekerja puluhan tahun, tampak tekun memangkas tanaman hias. Ia bersenandung lirih, melantunkan tembang Jawa yang menenangkan hati, seolah menyatu dengan alam Kandri yang damai. Tak lama kemudian, Mbok Yem, pembantu rumah tangga yang setia, menghampirinya sambil membawa nampan berisi teh poci khas Tegal dan beberapa potong wingko babat yang masih hangat. Aroma wingko babat yang manis menguar, menggugah selera.
"Monggo, Pak Gimin, diunjuk dulu tehnya. Lumayan buat ngangetin badan, udaranya lagi nggak enak ini. Apalagi Kandri kan hawanya lebih dingin daripada kota. Nanti masuk angin lho," sapa Mbok Yem ramah, dengan logat Semarangan yang kental. Kerutan di wajahnya semakin terlihat saat ia tersenyum.
Pak Gimin menghentikan pekerjaannya dan menerima teh dari Mbok Yem. "Matur nuwun sanget, Mbok. Wah, pas banget iki. Badan lagi greges-greges dari kemarin. Mungkin karena kecapekan ngurusin taman ini yang luasnya minta ampun," jawab Pak Gimin sambil menyeruput tehnya perlahan. Matanya menerawang, memandangi taman yang luas dengan tatapan bangga. Ia sudah merawat taman ini sejak Pak Rahman masih muda.
"Sami-sami, Pak. Eh, Pak, njenengan ngerasa aneh nggak sih sama Bapak akhir-akhir ini?" tanya Mbok Yem, matanya celingukan, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Ia menurunkan suaranya menjadi bisikan, seolah takut ada telinga yang menguping.
Pak Gimin mengerutkan kening. "Aneh gimana, Mbok? Bapak kan emang orangnya gitu, kadang ya ramah, kadang ya judes. Bapak kan memang punya watak yang keras. Dulu waktu masih muda malah lebih galak lagi," jawab Pak Gimin, mencoba bersikap netral. Ia tidak ingin terlibat dalam gosip yang tidak jelas.
"Ya itu, Pak. Soal Dinda sama Anton. Dulu kan Bapak nggak setuju banget, lha kok sekarang malah kayak yang dukung banget. Bahkan, kabarnya mau segera dinikahkan. Padahal, Anton itu kan bukan siapa-siapa, cuma orang biasa. Nggak selevel sama keluarga kita. Aneh kan? Kayak bukan Pak Rahman yang kita kenal," bisik Mbok Yem, semakin merendahkan suaranya. Ia mendekatkan diri ke Pak Gimin, seolah ingin berbagi rahasia yang sangat penting.
Pak Gimin mengangguk-angguk setuju. "Iya, Mbok. Saya juga mikir gitu. Kayak ada yang nggak beres. Dulu Bapak itu keras banget soal calon mantu, harus dari keluarga yang sepadan, punya jabatan, punya harta. Lha kok sekarang sama Anton yang cuma orang biasa malah langsung direstui. Aneh bin ajaib," timpal Pak Gimin, menambahkan bumbu pada percakapan mereka. "Apalagi setahu saya, Bapak nggak pernah sekalipun kepikiran buat menjodohkan Mbak Dyah. Malah Bapak selalu bilang, 'Biar Dyah bahagia dengan caranya sendiri'."
Tak lama kemudian, Mbak Marni, perawat Dyah, ikut bergabung. Ia mendorong kursi roda Dyah mendekat. Dyah, seorang gadis berusia sekitar 25 tahun, tersenyum cerah menatap taman yang mulai ramai dengan kupu-kupu. Meskipun duduk di kursi roda sejak kecil akibat penyakit langka yang menyerang sarafnya, semangatnya tak pernah padam. Ia selalu ceria dan penuh rasa ingin tahu, Ia menikmati keindahan dunia dengan caranya sendiri. Ia tidak menyadari percakapan yang sedang berlangsung antara Pak Gimin dan Mbok Yem. Sementara itu, Dinda, sang adik yang kini sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta di Semarang, masih bersiap-siap untuk berangkat kerja. Dinda dikenal sebagai seorang gadis yang cantik dan cerdas, namun sedikit tertutup dan pendiam. Ia lebih fokus pada karirnya dan jarang bergaul dengan teman-temannya.
"Pada ngomongin apa sih, kok kayaknya seru banget? Sampai bisik-bisik gitu," tanya Mbak Marni penasaran, sambil tersenyum. Ia memastikan kursi roda Dyah berada di tempat yang teduh dan nyaman, serta tidak terhalang oleh tanaman.
"Ini lho, Mbak. Kita lagi ngomongin soal perubahan sikapnya Bapak. Bikin bingung. Dulu kan Bapak itu orangnya tegas, sekarang kok jadi kayak plin-plan," jawab Mbok Yem, melirik ke arah Mbak Marni. Ia berharap Mbak Marni memiliki informasi yang lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Mbak Marni mengangguk-angguk. "Saya juga ngerasa gitu, Mbok, Pak. Bapak itu kayak bukan Bapak yang dulu. Dulu kan perhatian banget sama Dyah, sering ngajak jalan-jalan di taman, ngobrol dan bercanda. Sekarang malah kayak yang nggak peduli. Lebih sering ngurung diri di kamar, ngobrol sama telepon. Kadang-kadang saya lihat Bapak itu kayak orang linglung. Matanya kayak kosong gitu," kata Mbak Marni dengan nada khawatir. "Saya jadi takut, jangan-jangan Bapak sakit. Atau mungkin ada masalah di kantor?"
"Lha iya, Mbok. Ibu juga kayaknya sedih banget. Saya sering lihat Ibu nangis diem-diem di kamar. Tapi, kalau ditanya kenapa, Ibu cuma bilang nggak apa-apa, cuma lagi capek. Padahal, biasanya Ibu itu selalu cerita kalau ada masalah," timpal Mbok Yem. "Saya jadi curiga, jangan-jangan ada masalah antara Bapak sama Ibu. Tapi, saya nggak berani tanya.
Pak Gimin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Wah, kalau soal itu saya nggak tahu, Mbok. Tapi, memang aneh banget ini. Saya sudah kerja di sini puluhan tahun, baru kali ini lihat Bapak berubah drastis seperti ini. Dulu, jangankan senyum, ngobrol santai saja jarang. Sekarang, kok malah sering melamun sendiri, seperti ada beban pikiran yang berat," ujarnya dengan nada bingung.
Mbak Marni menghela napas panjang. "Saya jadi khawatir, Mbok, Pak. Apalagi Mbak Dinda juga kelihatan murung akhir-akhir ini. Biasanya kan ceria, semangat kerja. Sekarang, kok sering pulang telat, terus langsung masuk kamar. Saya tanya kenapa, jawabnya cuma capek," ungkap Mbak Marni, menambahkan kekhawatiran mereka.
"Nah, itu dia, Mbak. Saya juga perhatikan Mbak Dinda. Dulu, setiap ada masalah di kantor, pasti cerita sama Ibu. Sekarang, kok malah dipendam sendiri. Jangan-jangan, Mbak Dinda juga tahu sesuatu tentang Bapak, tapi nggak berani cerita," timpal Mbok Yem, semakin memperkeruh suasana.
Tiba-tiba, suara batuk kecil memecah keheningan pagi. Ketiganya tersentak kaget dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, Bu Rahmi, istri Pak Rahman, berdiri di ambang pintu dengan wajah yang pucat dan mata yang sembab. Ia memegangi dadanya, seolah sedang menahan sakit.
"Sedang apa kalian di sini? Kenapa berbisik-bisik seperti itu?" tanya Bu Rahmi dengan suara lirih.
Ketiganya terdiam, tidak berani menjawab pertanyaan Bu Rahmi. Mereka tahu, Bu Rahmi pasti sudah mendengar sebagian dari percakapan mereka.
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Bapak memang sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Mungkin karena masalah di kantor. Kalian tidak perlu khawatir," lanjut Bu Rahmi, mencoba menenangkan mereka. Namun, nada suaranya terdengar tidak meyakinkan.
"Tapi, Bu... kami hanya khawatir sama Bapak dan Mbak Dinda," jawab Mbak Marni dengan hati-hati.
Bu Rahmi tersenyum pahit. " Aku tahu. Terima kasih atas perhatian kalian. Tapi, percayalah, semua akan baik-baik saja. Sekarang, sebaiknya kalian kembali bekerja. Aku mau istirahat dulu," ujarnya sambil berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah.
Ketiganya saling pandang dengan tatapan penuh tanya. Mereka merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bu Rahmi. Namun, mereka tidak berani bertanya lebih lanjut. Mereka hanya bisa berharap, semua akan baik-baik saja seperti yang dikatakan oleh Bu Rahmi.
"Ya sudah, Pak, Mbak, sebaiknya kita kembali bekerja. Nggak enak kalau ketahuan ngobrol di jam kerja," ujar Mbok Yem, memecah keheningan.
"Iya, Mbok. Semoga saja semua baik-baik saja," jawab Pak Gimin dengan nada khawatir.
Mbak Marni mengangguk setuju. Ia mendorong kursi roda Dyah menjauh dari tempat itu, meninggalkan Pak Gimin dan Mbok Yem yang masih bergelut dengan pikiran mereka masing-masing.
***********