NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 6 - Wicked

Vee

“Siapa namanya?” tanya Chloe dari atas kasurnya. Ia berbaring santai sambil membuka media sosial di ponselnya. Aku duduk di dekat jendela, pura-pura sibuk menatap pemandangan luar.

“Adrian Cole,” jawabku. “Dia bantu kelompok kami ngasih naskah untuk tugas film pendek.”

Chloe bangkit, duduk menghadapku. “Jadi… kapan kencannya?”

“Nanti malam. Katanya dia jemput jam 5,” ujarku datar.

“Kamu nggak terdengar bersemangat. Bukan tipemu, ya?”

“Mungkin…”

“Terus, tipe pria idamanmu seperti apa?” Kali ini nadanya lebih serius.

“Mungkin seseorang yang tenang, dewasa, rapi, tegas, tapi hatinya baik.”

“Jadi Adrian kurang tegas buatmu?” Senyumnya berubah licik, seperti sudah menebak.

Aku mendesah kecil, mulai jenuh membahas Adrian. “Entahlah. Aku cuma… nggak tertarik.”

“Kamu baru kenal, kasih kesempatan dong. Kamu nggak akan tahu hatinya baik atau nggak kalau nggak dicoba,” katanya, lalu berhenti sejenak seperti mengingat sesuatu. “Kenapa semua tipemu terasa familiar, ya? Kayak seseorang yang aku kenal.”

“Sudahlah, Chloe. Baiklah, akan kucoba kasih kesempatan…”

“Tunggu dulu…” Chloe tiba-tiba berdiri. “Professor Hill, kan? Kamu suka dia. Oh my God, Vee! Kamu ada dua kelas bareng dia semester ini, harusnya aku sadar!”

Ternyata aku semudah itu ditebak ya.

“Tapi kamu tahu kan, hubungan dosen dan mahasiswa dilarang di sini?” suaranya merendah dan serius. “Aku dengar, beberapa tahun lalu ada kasus serupa. Profesornya dipecat, mahasiswanya dipaksa drop out.”

Aku terdiam. Benar juga, aku nggak pernah memikirkan sejauh itu.

“Aku cuma bercanda,” kataku memaksa tawa. “Mustahil menembus tembok es itu, rasanya nggak mungkin ada hati yang hangat di sana.”

Chloe menatapku setengah serius, setengah bercanda. “Kalau kita kesampingkan dulu masalah peraturan, sejujurnya aku pikir kalian berdua bakal jadi pasangan yang manis. Dari cerita Liam tentang interaksi kalian di kelas, aku yakin ada benih-benih sesuatu disana.” Ia mengedikkan bahu. “Dan… Professor Hill cuma dosen pengganti. Mungkin kalian bisa benar-benar pacaran kalau Professor Hunt balik ngajar.”

“Barusan kamu sendiri yang nakut-nakutin aku dengan cerita drop out, lho.”

“Yeah, well.” Ia kembali duduk. “Angan-angan doang. Mungkin, suatu hari nanti.”

Aku menatap jam. Pukul empat lewat sedikit. Di kepala, kata “kesempatan” bergema untuk Adrian, untuk diriku, dan untuk membungkam sesuatu yang seharusnya tidak tumbuh. Malam ini Wicked. Mungkin tepatnya: malam ini, aku harus belajar jadi baik pada diriku sendiri, bahkan kalau itu artinya berpura-pura lupa pada sepasang mata dingin yang entah kenapa selalu terasa hangat di pikiranku.

\~\~\~

“Maaf membuatmu menunggu lama,” kata Adrian sambil menghampiriku yang berdiri di depan asrama. Penampilannya rapi, sweater berkerah, rambut tersisir sempurna.

Oke, Vee. Saatnya melupakan wajah dingin yang masih menghantui itu.

Aku tersenyum, mengatakan baru saja turun jadi belum lama menunggu. Adrian berjalan lebih dulu ke arah mobil, aku mengikutinya di belakang.

Dari dekat seperti ini, ia tampak cukup tampan. Rapi, wangi, tidak segugup biasanya. Setelah kupikir-pikir, mungkin jari-jarinya yang mengetuk setir pelan itu tanda gugup juga, tapi tidak terlalu kentara. Mungkin malam ini akan menyenangkan.

Kami tiba di Ashenwood Musical dan sempat membeli beberapa camilan sebelum masuk. Tempat duduk kami di tengah, posisi sempurna untuk melihat seluruh panggung.

“Posisi kita pas banget,” kataku.

Adrian tersenyum bangga. “Aku lumayan sering nonton musical, jadi tahu tempat duduk terbaik.”

Lampu padam, pertunjukan dimulai. Musik mengalun, tirai terbuka, dan panggung berubah jadi dunia yang hidup. Aku terseret oleh ceritanya, warna, suara, cahaya. Sayangnya, di tengah pertunjukan Adrian beberapa kali membisikkan fakta-fakta tambahan yang membuyarkan fokusku.

“Kau tahu, dulu Elphaba tidak punya nama. Hanya disebut penyihir dari Wizard of Oz. Tapi saat naskah diadaptasi jadi musical, dia diberi nama sesuai inisial penulis aslinya, L. Frank Baum. L-F-B, jadi Elphaba.”

Aku hampir ingin menyuruhnya diam, tapi melihat antusiasnya, aku memilih tersenyum.

Selesai pertunjukan, Adrian masih semangat membahas detail cerita. Aku akhirnya memotong pelan. “Aku lapar. Kita makan di mana?”

Ia tampak baru sadar. “Oh ya. Kita makan malam di restoran Italia terbaik di Ashenwood—”

Aku langsung menatapnya curiga. “Jangan bilang… Laura’s Kitchen?”

Matanya berbinar. “Betul sekali! Kamu sudah pernah ke sana? Kukira tempat itu semacam hidden gem. Jadi mahasiswa pindahan sepertimu mungkin belum tahu.”

Tentu saja hidden gem, pikirku. Tempat itu justru berisi kenangan hari-hari pertamaku di Ashenwood bersama laki-laki dingin yang berusaha kulupakan, setidaknya saat ini.

Kami sampai di Laura’s Kitchen. Dari luar tampak hangat seperti biasa. Aku berusaha menepis semua pikiran aneh—tidak mungkin dia ada di sini malam ini. Tidak mungkin.

Tapi begitu Adrian membuka pintu dan aku melangkah masuk, waktu seolah berhenti.

Di meja dekat jendela, duduk seseorang yang tak asing. Rambut diikat rapi. Buku terbuka di depannya.

Tyler Hill.

Ia sedang membaca seperti biasa, tapi begitu menoleh dan melihatku berdiri di ambang pintu, ekspresinya berubah. Tatapannya yang selalu tenang itu kini sedikit terguncang.

Jantungku ikut berdebar.

Oke, ini akan jadi sangat canggung.

\~\~\~

Tyler

Dari sekian banyak restoran di Ashenwood, Vee dan pasangan kencannya memilih makan malam di Laura’s Kitchen. Tempat yang selama ini jadi pelarianku hampir setiap malam.

Ironis. Dunia memang punya selera humor yang aneh.

Aku berusaha terlihat tenang ketika pandangan kami bertemu, tapi ada sesuatu di dadaku yang bergerak pelan, seperti getaran halus yang sulit dikendalikan.

Vee berjalan melewatiku, langkahnya ragu. “Ty—” ia sempat terhenti, lalu memperbaiki ucapannya, “Professor Hill.”

Nada suaranya sopan, tapi matanya menahan sesuatu. Ia melirik ke arah pria di sampingnya, Adrian Cole. Tentu, ia tidak ingin terlihat terlalu akrab memanggilku dengan nama depan. Bagi mahasiswa lain, itu akan terlihat… berbeda.

“Sinclair,” sahutku datar, lalu menoleh sedikit. “Cole.”

Mereka berjalan melewati meja dan duduk tepat di sebelahku. Meja satu-satunya yang kosong di restoran ini. Tentu saja.

Aku membuka kembali bukuku, mencoba fokus pada halaman yang sudah kubaca tiga kali tapi tak ada satu kalimat pun yang benar-benar tertinggal. Suara mereka cukup dekat untuk kudengar, dan seaneh itu rasanya mendengar Vee berbicara dengan orang lain di tempat ini.

Tidak ada chemistry di antara mereka. Itu jelas. Adrian bicara terlalu banyak, seperti seseorang yang berusaha keras terlihat mengesankan. Sementara Vee… ia tersenyum sesekali, tapi senyumnya tidak tulus, bahkan ada beberapa moment aku bisa melihat ia bosan.

Mereka memesan dengan cepat. Sesekali aku bisa mendengar suara sendok, nada rendah percakapan, tawa tipis yang lebih terdengar seperti sopan santun daripada kebahagiaan.

Aku menutup bukuku perlahan.

Aku tahu aku tidak seharusnya memperhatikan. Tapi ada bagian dari diriku yang tak bisa diam. Seperti penonton film yang tahu adegan berikutnya akan menyakitkan, namun tetap menatap layar sampai akhir.

Kupikir, mungkin aku yang bodoh. Mungkin aku yang terlalu jauh masuk ke dalam pikiranku sendiri. Tapi saat Vee menoleh sekilas, pandangannya hanya berhenti sepersekian detik sebelum kembali ke lawan bicaranya. Dan itu cukup.

Cukup untuk mengacaukan seluruh ketenanganku malam itu.

Saat mereka selesai makan, Adrian pamit sebentar ke toilet. Kursinya masih hangat ketika sunyi menggantikan suara percakapan.

Aku berpura-pura membaca lagi, tapi sejak tadi mataku tidak bergerak dari halaman yang sama. Lalu kudengar suara itu. Pelan, tapi cukup untuk memecah udara di antara meja kami.

“Professor Hill…”

Aku menoleh. Vee menatapku dari kursi sebelah, tubuhnya sedikit condong ke arahku. Cahaya hangat dari lampu gantung memantul di matanya, membuat warna hazelnya terlihat lebih lembut.

“Tyler,” ucapku akhirnya. “Di luar kelas, panggil aku Tyler.”

Ia menunduk sebentar, tersenyum samar. “Tyler,” ulangnya. “Kita memang seharusnya tidak sering bertemu, ya? Dunia ini kecil sekali.”

“Bukan dunia yang kecil,” jawabku tenang. “Hanya kebetulan yang tidak tahu tempat.”

Ia terkekeh pelan. “Kebetulan yang cukup buruk, kalau dipikir-pikir.”

Aku menatapnya lebih lama dari seharusnya. “Atau mungkin kebetulan yang… terlalu tepat.”

Hening. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara gelas dan sendok dari meja lain.

“Dia kelihatannya baik,” kataku akhirnya, berusaha menjaga jarak dari nada suaraku sendiri. “Adrian.”

Vee menarik napas pelan, menatap ke arah pintu toilet seolah memastikan Adrian belum kembali. “Dia baik. Ramah. Banyak bicara.” Ia tersenyum kecil. “Tapi rasanya seperti… menonton film dengan naskah yang monoton.”

Aku tidak bisa menahan senyum samar di sudut bibir. “Kritik yang cukup jujur, bahkan untuk seorang mahasiswi film.”

“Profesional deformation,” ujarnya ringan. “Sulit untuk tidak menganalisis.”

Kami terdiam lagi. Tapi keheningan itu tidak canggung kali ini. Ada sesuatu yang nyaman sekaligus berbahaya di dalamnya, seperti berdiri terlalu dekat dengan api.

“Aku tidak tahu kau sering makan di sini,” katanya, suaranya nyaris tenggelam dalam suara musik jazz yang mengalun pelan di restoran.

“Tempat ini tenang,” jawabku. “Dan makanan mereka tidak mengecewakan.”

Vee tersenyum samar, tapi matanya berubah lembut. Ada sesuatu di sana—rasa yang belum sempat diucapkan, tapi sudah terlalu jelas untuk diabaikan.

Sebelum salah satu dari kami bisa menambahkan apa pun, suara langkah mendekat memecah momen itu. Adrian kembali, menyeka tangannya dengan tisu, masih dengan semangat yang sama seperti sebelumnya.

“Aku harap kamu tidak menungguku terlalu lama,” katanya sambil duduk.

Aku kembali ke bukuku. Vee menegakkan punggungnya, tersenyum sopan. Segala sesuatu yang tadi menggantung di udara perlahan menguap, menyisakan sisa-sisa percakapan yang tidak akan pernah benar-benar selesai.

Dan saat mereka berjalan keluar beberapa menit kemudian, aku tidak menoleh. Tapi aku bisa merasakan tatapan terakhirnya sebelum pintu tertutup.

Dan malam itu, Laura’s Kitchen terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!