NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:569
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 - Mati Atau Hidup

Elara duduk di atas balok kayu panjang yang dingin, cukup sempit untuk tubuh mungilnya. Kakinya ia tekuk rapat, seakan memeluk diri sendiri di tengah sunyi ruangan tahanan. Batu-batu lembap di sekelilingnya memantulkan cahaya rembulan yang masuk dari celah kecil dinding, menciptakan bayangan samar yang bergerak seperti ingin menelannya.

Malam ini, matanya tak kunjung bisa terpejam. Bukan karena lantai batu yang keras, bukan pula karena bau karat dari jeruji besi. Tapi karena sikap Zevh Obscura, panglima itu, pria dengan tatapan dingin yang tak bisa ia mengerti.

“Lihatlah aku… terjebak dalam percakapanku sendiri,” gumam Elara, suaranya lirih, hampir seperti tertawa getir pada diri sendiri.

Bayangan wajah Zevh kembali hadir di kepalanya, sikapnya yang begitu angkuh, kata-katanya yang menusuk, serta keheningannya yang justru lebih menyakitkan dari ribuan hinaan.

“Betapa angkuhnya pria itu,” desisnya, menggertak kan gigi, sambil menekan perutnya yang perih karena lapar.

Elara menarik napas kasar. Tubuhnya lemah, namun matanya masih menyala dengan api kebencian yang perlahan tumbuh. Ia memandang bahunya, tempat simbol berbentuk pusaran air terpatri seperti ukiran takdir.

Tiba-tiba, cahaya lembut berwarna biru langit bercampur putih berkilau muncul dari simbol itu, berdenyut pelan, seperti nadi yang bergetar. Elara terkejut, dadanya bergetar seakan ada sesuatu yang memanggilnya jauh dari sini.

“Ibu… Apa kau baik-baik saja di sana?” bisiknya, suara bergetar. “Kenapa getaran ini… membuatku tak nyaman?”

Kilasan cahaya itu menyusup ke jiwanya. Ada rasa hangat sekaligus resah, seolah ibunya sedang menatapnya dari kejauhan, menyampaikan kecemasan yang tak terucap.

Air mata menyesap di pelupuk matanya, namun ia buru-buru menyeka dengan kasar. Ia tidak mau terlihat lemah, bahkan oleh dirinya sendiri.

“Aku akan menjaga semuanya, Ibu… Ayah…” ucapnya tegas, walau suara serak menyertai. “Aku janji. Aku akan pastikan kalian semua tetap baik-baik saja di Desa Osca.”

Tangannya meremas ujung jubah yang menutupi simbol pusaran air itu. Hatinya berdenyut kencang, antara amarah, rindu, dan tekad yang lahir dari luka.

Perlahan, kepalanya bersandar pada tembok batu yang dingin. Nafasnya berat, tapi matanya menatap kosong ke arah kegelapan.

Simbol di bahunya masih berkilau samar di balik jubahnya, seperti pengingat bahwa ia bukan hanya seorang gadis bandit yang terkurung di balik jeruji. Ia membawa sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa mengguncang takdir para pangeran sekalipun.

“Aku benci kau, Zevh…” bisiknya, mata terpejam. “Tapi aku tidak akan kalah olehmu.”

Ia meringkuk, memeluk dirinya sendiri, hingga akhirnya matanya tertutup pelan. Di antara rasa malu, kesal, dan amarah yang mengakar dalam hati, Elara hanya bisa membiarkan malam menutup luka-luka kecilnya sementara waktu.

Di luar sana, bulan masih bersinar. Namun di hati Elara, malam terasa lebih pekat, lebih panjang, dan lebih dingin dari sebelumnya.

Keesokan paginya.

Ramai. Begitulah suasana tanah Timur pagi itu. Dari pasar di luar istana hingga halaman depan Kerajaan Noctis, semua bergerak hidup. Pelayan berlarian dengan baki di tangan, pengawal berpatroli sambil menepuk sepatu bot mereka di atas lantai batu, dan burung-burung berkicau seakan ingin menepis dingin malam yang baru saja pergi.

Namun, di balik riuhnya pagi, ada lorong gelap yang penuh jeruji besi, ruang tahanan kerajaan. Tempat di mana keadilan Noctis ditegakkan, dengan cara yang keras tapi selalu disebut adil.

Teriakan pengawal menggema di lorong itu, membangunkan para tahanan dari tidur singkat mereka.

“Bangun! Hari hukuman dimulai!”

Elara terperanjat. Kelopak matanya berat, tubuhnya masih letih, tapi suara itu memaksanya membuka mata. Ia menoleh, melihat seorang pria berambut panjang yang duduk di sudut sel berseberangan. Wajahnya kusut, tatapannya liar.

“Hah… Sial. Kenapa berisik sekali di sini? Hei, ‘tuan putri’,” ejek pria itu, suaranya serak, “ingatlah… tak ada yang hidup lama di sel tahanan.”

Elara mendongak, sorot matanya tajam menusuk. “Dosamu terlihat lebih besar daripada seorang gadis bandit sepertiku.”

Pria itu terdiam sejenak, terpojok oleh balasan Elara, sebelum akhirnya menunduk. Elara mengalihkan pandangannya. Dari sela jeruji, ia melihat sekelompok tahanan pria diseret ke luar, wajah mereka keras, penuh amarah atau putus asa. Tak lama, beberapa wanita juga melintas, sebagian dengan tangan terikat, sebagian lagi menangis pasrah.

“Mereka akan dibawa ke mana…?” gumam Elara lirih, hampir hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Tiba-tiba, suara langkah tegas mendekat. Seorang ajudan Zevh muncul, membuka pintu selnya.

Elara menegakkan tubuh, suaranya nyaris berharap, “Apa aku… dibebaskan?”

Ajudan itu menatapnya dingin. “Kau akan menjalani hukumanmu hari ini.”

Elara mendecak pelan. “Astaga… dia benar-benar menganggapku bandit.” Ucapannya bukan pada ajudan, tapi jelas ditujukan untuk Zevh yang berada di balik semua ini.

Ia melangkah keluar sel dengan dagu terangkat, meski hatinya bergejolak. Dari kejauhan, suara terompet menggema, panjang dan melengking.

“Apa itu? Ada bahaya?” tanya Elara, sedikit panik.

“Bukan,” jawab ajudan singkat, “itu tanda bahwa hukuman hari ini harus segera dilaksanakan.” ucapnya tenang tapi sikapnya kasar, punggung Elara terdorong ke depan dengan kasar.

Mereka tiba di gerbang utama tahanan. Sinar matahari jatuh ke wajah Elara, menyilaukan matanya. Gaun bangsawan yang ia kenakan sudah kusut, lusuh, bahkan tak lagi tampak seperti milik seorang putri. Itu hanyalah dress pinjaman, pakaian seorang pelayan yang ia curi sebelum melarikan diri dari Osca. Kini, gaun itu hanya membuatnya tampak seperti gadis buangan.

Seorang pengawal memberi perintah. “Lihatlah, tugasmu hari ini. Mengisi kendi besar dengan air, sama seperti para tahanan wanita lainnya.”

Elara melirik ajudan Zevh yang hanya berdiri agak jauh, mengawasi dalam diam.

Ia mendekati sungai, lalu menatap seorang tahanan wanita yang lebih tua. “Biar aku yang mengisi wadahnya. Kau yang membawanya dariku.”

Wanita itu menatap heran. “Kau bersemangat sekali menikmati hukumanmu.”

Elara menahan senyum. “Aku sudah terbiasa hidup susah.” Kebohongan terucap ringan, padahal kebenarannya jauh lebih dalam.

Tangannya meraih kendi, tapi simbol pusaran air di bahunya tiba-tiba bergetar. Cahaya biru keperakan muncul samar di balik jubahnya. Tak ada yang melihat, tapi Elara tahu. Saat ia menyentuhkan kendi ke aliran sungai, air seolah bergerak sendiri, mengisi penuh wadah tanpa harus ia angkat atau cedok.

Kendi itu terasa ringan di tangannya, meski seharusnya berat. Elara tersenyum kecil, lalu menutupinya dengan ringisan, seolah kesusahan mengangkatnya.

“Ini. Ambil,” ucapnya pada wanita tadi.

Wanita itu terkagum. “Kau… kuat juga.”

Elara hanya terkekeh. “Sekedar bertahan hidup.”

Pagi itu, para tahanan menjalani hukuman mereka. Sebagian mencuci lantai batu, sebagian mengangkat beban, sebagian dipaksa berjalan keliling halaman dengan rantai di kaki. Semuanya keras, namun itulah hukum Noctis, tajam, tanpa pandang bulu.

Menjelang tengah hari, para wanita sudah dikembalikan ke dapur tahanan. Elara masih berada di luar, mengusap peluh di pelipisnya.

Dan di sanalah Zevh melihatnya. Dari kejauhan, matanya menangkap sosok gadis itu. Tubuhnya mungil, wajahnya tetap anggun meski kotor dan lelah, dan ada sesuatu di balik tatapan Elara yang membuat bara di dada Zevh semakin menyala.

“Bawa gadis itu. Pindahkan dia ke tahanan istanaku,” perintah Zevh.

“Baik, Tuan,” ajudannya membungkuk. Namun dalam hatinya ia bergumam, Kenapa tuanku begitu repot pada seorang bandit? Apa… karena simbol itu di bahunya?

Zevh berdiri, jemarinya mengepal di balik jubah. Strategi politik yang dirancang bersama Veron dan Zark mulai bergerak. Tapi di balik itu semua, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Simbol di bahu Elara, pusaran air yang tak seharusnya dimiliki sembarang gadis.

“Aku akan segera menemukan takdirmu, gadis bandit…” bisik Zevh pada dirinya sendiri.

“Mati… atau hidup.”

Ia berbalik. Pengawal sudah menunggu dengan seekor kuda perang hitam.

“Tuan, kuda Anda sudah siap. Keberangkatan siang ini menunggu perintah Anda.”

Zevh hanya berdiri tegap. Tatapannya dingin, menusuk, membuat para pengawal spontan menyingkir memberi jalan.

Langkahnya mantap, tapi pikirannya tidak setenang itu. Sebuah benang merah sudah terikat, antara Zevh, Elara, dan takdir yang belum tersingkap.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!