Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Shen Jian, Yuwen, Zhu Feng, dan Yunpeng telah diantar ke penginapan khusus untuk beristirahat, meninggalkan Lin Hua sendirian di ruang baca pribadi Kaisar. Ruangan itu dipenuhi rak-rak buku tinggi yang berjejer rapi hingga langit-langit, memancarkan aroma kertas tua dan tinta. Sebuah meja kerja besar dari kayu cendana hitam mendominasi ruangan, dihiasi dengan gulungan peta kuno dan kuas kaligrafi. Di tengah ruangan, perapian batu giok memancarkan kehangatan samar, menciptakan suasana yang intim namun tetap penuh wibawa. Kaisar Han Ruo Xun, yang kini duduk di kursi berlengan mewah di seberang Lin Hua, jelas masih ingin berbincang lebih dekat dengan gadis bertopeng rubah itu.
"Dalam dua tahun terakhir, organisasi kalian benar-benar sudah menguasai ibukota," ujar Kaisar Han Ruo Xun, menyesap teh hangat dari cangkir porselennya. Matanya yang tajam menatap Lin Hua dengan sorot penuh penghargaan. "Kalian selalu menjadi perbincangan hangat, dan menjadi dongeng mengerikan untuk para pencerita di kedai-kedai teh."
Lin Hua mengangkat bahu, ekspresinya di balik topeng rubah tetap tenang. "Saya sudah lama tidak menangani kasus besar, bagaimana mungkin itu terlihat mengerikan?" jawabnya, nada suaranya datar, seolah apa yang ia lakukan hanyalah rutinitas biasa.
Kasus terakhir yang Lin Hua tangani, yang ia anggap "tidak besar," adalah korupsi besar-besaran di tubuh militer, yang mengakibatkan banyaknya prajurit tak bersalah gugur di medan perang akibat pasokan senjata dan logistik yang buruk. Sebuah kasus yang mengguncang fondasi kekaisaran, namun bagi Lin Hua, itu hanyalah bagian dari pekerjaannya.
Kaisar Han Ruo Xun tertawa renyah mendengar jawaban Lin Hua, sebuah tawa yang jarang ia tunjukkan di hadapan para menterinya. "Tidak besar menurutmu, Lin Hua, namun begitu besar dampaknya bagi rakyat dan kekaisaran," ujarnya, menggelengkan kepala. "Baiklah, kalau begitu, kau menginginkan hadiah apa atas jasamu ini?"
Topeng rubah yang menutupi setengah wajah Lin Hua sama sekali tidak ia lepas, bahkan saat berhadapan langsung dengan Kaisar sekalipun. Sebuah senyum misterius terbit di balik celah topeng itu, membuat Kaisar Han Ruo Xun sontak curiga dengan permintaan yang akan diucapkan wanita itu.
"Kau bisa meminta apapun, kecuali dekrit kosong," sela Kaisar Han Ruo Xun cepat, bahkan sebelum Lin Hua sempat membuka mulutnya. Ia sudah terlalu mengenal gadis ini.
"Kau curang," ucap Lin Hua, mendelik dari balik topengnya, nadanya terdengar sedikit merajuk.
Kaisar Han Ruo Xun tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Aku sudah menjadi ayah angkatmu selama tiga tahun lebih, Lin Hua. Aku cukup tahu apa yang kau inginkan," jawab Kaisar, tatapannya penuh kehangatan, sebuah kehangatan yang hanya ia tunjukan kepada Lin Hua, putri angkatnya yang unik dan berbahaya.
Lin Hua menghela napas, menyadari bahwa Kaisar benar-benar mengenalnya lebih dari yang ia duga. Pria tua itu memang cerdik, selalu selangkah lebih maju. Dekrit kosong adalah kartu truf yang paling ia inginkan, sebuah kebebasan mutlak untuk bertindak tanpa batasan. Namun, karena itu sudah dilarang, ia harus memutar otak.
Senyum misterius Lin Hua semakin lebar di balik topeng rubah. "Jika Yang Mulia sudah tahu apa yang saya inginkan, mengapa tidak langsung memberikannya saja?" godanya, suaranya terdengar ringan namun penuh perhitungan.
Kaisar Han Ruo Xun tersenyum geli. "Itu tidak akan menyenangkan, bukan? Aku ingin mendengar permintaanmu, Lin Hua. Sebuah permintaan yang menunjukkan kecerdasanmu."
Lin Hua memiringkan kepalanya sedikit. "Baiklah, Yang Mulia. Jika dekrit kosong dilarang, maka saya meminta Yang Mulia memberikan jaminan, bahwa saya tidak akan di paksa untuk menikah dengan siapapun, kapanpun dan dengan alasan apapun, kecuali atas kehendak saya sendiri."
Kaisar Han Ruo Xun terdiam sejenak, matanya menatap Lin Hua dengan tatapan yang sulit diartikan. Permintaan itu cerdas, dan sangat mencerminkan kepribadian Lin Hua. Ia tahu bahwa Lin Hua sangat menghargai kebebasannya, dan tidak ingin terikat oleh pernikahan yang tidak ia inginkan. Dengan permintaan ini, Lin Hua ingin memastikan bahwa ia tidak akan dijadikan alat politik atau pion dalam permainan kekuasaan.
"Sebuah permintaan yang sangat egois," gumam Kaisar, mengelus janggutnya. "Kau ingin memastikan bahwa kau tidak akan pernah terikat oleh siapapun, dan selalu bebas untuk melakukan apa yang kau inginkan."
"Saya hanya ingin memastikan bahwa saya dapat terus melayani Yang Mulia dan kekaisaran dengan sepenuh hati, tanpa terbebani oleh kewajiban atau tekanan yang tidak saya inginkan," jawab Lin Hua diplomatis, tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya.
Kaisar Han Ruo Xun tertawa lagi, kali ini dengan nada yang lebih keras, memenuhi ruang baca dengan gema. "Baiklah, Lin Hua. Permintaanmu dikabulkan!" Ia menepuk meja, "Aku akan segera mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa kau tidak akan dipaksa untuk menikah dengan siapapun, kecuali atas kehendakmu sendiri. Tapi ingat, kebebasanmu ini memiliki konsekuensi. Kau harus menggunakan kebebasanmu ini dengan bijak, dan tidak melakukan apapun yang dapat membahayakan kekaisaran."
Lin Hua membungkuk sedikit. "Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak akan mengecewakanmu."
Kaisar Han Ruo Xun bangkit dari kursinya, berjalan mendekat ke arah Lin Hua. "Sekarang, Lin Hua," katanya, suaranya kembali serius, "tentang pesta bunga besok. Aku tidak hanya ingin kau menjadi kandidat terbaik. Aku ingin kau memenangkan hati putra mahkota. Aku ingin kau menjadi Putri Mahkota."
Lin Hua terkejut. Permintaan ini jauh lebih besar dan lebih rumit dari sekadar menjadi mata-mata. Menjadi Putri Mahkota berarti ia harus melepaskan sebagian besar kebebasannya, dan terjebak dalam sangkar emas istana.
"Yang Mulia..." Lin Hua mencoba memprotes, namun Kaisar mengangkat tangannya, menghentikannya.
"Ini bukan permintaan, Lin Hua. Ini adalah perintah," ucap Kaisar Han Ruo Xun, matanya menatap tajam ke dalam mata Lin Hua dari balik celah topengnya. "Aku percaya kau memiliki kecerdasan dan pesona untuk melakukannya. Dan aku yakin, kau akan menjadi Putri Mahkota yang luar biasa."
Lin Hua mendengus kesal. Bukankah tadi Kaisar baru saja menyetujui permintaannya tentang pembebasan dirinya dari pernikahan paksa? Pria itu benar-benar tidak bisa dipercaya. "Kasim Zhen Fu," panggil Lin Hua dengan nada dingin, memanggil kasim kepercayaan Kaisar.
Tidak lama kemudian, Kasim Zhen Fu, seorang pria tua dengan wajah ramah dan gerak-gerik yang cekatan, datang menghampiri mereka. "Ya, Nona," jawabnya dengan sopan, menundukkan sedikit kepalanya.
"Panggilkan rekan-rekan saya, saya ingin pulang," ucap Lin Hua, nada suaranya terdengar dingin dan tegas, tidak memberikan ruang untuk bantahan.
Kaisar Han Ruo Xun seketika panik melihat reaksi Lin Hua. Ia tidak menyangka bahwa gadis itu akan semarah ini. "Ah, baiklah, baiklah," ujarnya dengan cepat, berusaha menenangkan Lin Hua. "Aku hanya bercanda tadi. Kau besok datang ke pesta bunga putra mahkota untuk membantunya memilih kandidat yang baik, itu saja."
"Saya tidak percaya," jawab Lin Hua, matanya menatap Kaisar dengan tatapan tajam yang menusuk. Ia tidak akan begitu saja percaya pada kata-kata manis Kaisar.
"Baiklah, baiklah," Kaisar menghela napas pasrah. Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan dengan bercanda tentang hal yang sensitif bagi Lin Hua. "Aku akan segera membuatkan dekrit untuk musekarang." Kaisar bergegas kembali ke mejanya, mengambil gulungan dekrit kosong dan kuas kaligrafinya.
"Ah, Lin Hua," panggil Kaisar, sebelum ia mulai menulis dekrit untuk Lin Hua. "Di mana hadiah yang aku minta?" tanyanya dengan nada menggoda, berusaha mencairkan suasana yang tegang. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan Lin Hua untuk membalas kebaikannya.