Melati berubah pendiam saat dia menemukan struk pembelian susu ibu hamil dari saku jas Revan, suaminya.
Saat itu juga dunia Melati seolah berhenti berputar, hatinya hancur tak berbentuk. Akankah Melati sanggup bertahan? Atau mahligai rumah tangganya bersama Revan akan berakhir. Dan fakta apa yang di sembunyikan Revan?
Bagi teman-teman pembaca baru, kalau belum tahu awal kisah cinta Revan Melati bisa ke aplikasi sebelah seru, bikin candu dan bikin gagal move on..🙏🏻🙏🏻
IG : raina.syifa32
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raina Syifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ingin pulang ke Jogja
Sabtu siang, Revan melangkah masuk ke rumahnya dengan langkah cepat, berharap ia bertemu dengan ibu dari anak-anaknya setelah tiga hari yang tak terduga di Bandung. Rencananya hanya satu hari satu malam, tapi rayuan Dewi yang mewek-mewek mengancam akan menggugurkan bayinya, membuatnya terpaku tak berdaya.
Di dalam rumah, keheningan menyambutnya tak seperti biasanya, hanya suara samar wajan yang diaduk terdengar dari dapur.
"Pada kemana mereka, weekend begini istriku pasti bermain di kolam renang bersama anak-anak."
Revan menuju kolam renang yang berada di samping rumah, akan tetapi kolam itu kosong, airnya yang jernih biru tampak tenang.
"Kok sepi?"
Pendengarannya menangkap suara alat masak yang berada di dapur. Senyum lebar otomatis terbentuk di bibir Revan, membayangkan Melati, istrinya, tengah sibuk memasak dan ia akan mendekap dari belakang memberikan sentuhan lembut, dan Melati akan menggeliat manja.
Dengan penuh semangat ia bergegas ke dapur, namun langkahnya terhenti saat matanya bertemu sosok Sri, asisten rumah tangga, yang sibuk di bepqkam kompor. Hatinya tercekat, kekecewaan mencuat, harapannya melepas rindu setelah 3 hari terkekang di Bandung harus sirna.
“Mbak Sri, istriku mana?” tanya Revan.
Sri menoleh. “Eh…mas Revan…mbak Melati ke rumah nyonya Mas, dari kemarin, dijemput nyonya, katanya anak-anak mau nginap di rumah opa sama Omanya.”
Revan mengusap pelipisnya pelan, wajahnya mengernyit bingung. Biasanya, Melati selalu meminta ijin jika ingin pergi ke mana saja, termasuk menginap di rumah mamanya.
“Kenapa kali ini ia seperti mengabaikanku, aneh," gumamnya cemas.
"Istriku tidak bilang apa gitu mbak?"
Sri melihat ekspresinya, lalu menggeleng pelan. “Nggak ada pesan apa-apa, Mas. Kirain Mbak Mel sudah minta ijin sama mas Revan lewat telpon.”
Revan terdiam, napasnya tertahan sebentar sebelum menoleh. “Ya sudah, aku ke kamar dulu.”
Langkahnya cepat menaiki anak tangga, setibanya di kamar, koper yang dibawanya ia letakkan begitu saja di sudut ruangan. Jaket yang tadi dipakai dilepas cepat lalu dilemparkan asal ke keranjang pakaian kotor.
Matanya nanar, kecewa dan resah bercampur menjadi satu. “Kenapa Melati nggak bilang apa-apa? Aku udah berusaha lepas dari Dewi psikopat itu... cuma demi bisa ketemu sama orang yang aku cinta,” pikirnya getir.
Revan mengeluarkan ponsel, tangannya gemetar saat menekan nomor Melati. Telepon ditekan ulang sampai tiga kali—tapi tetap sunyi. Di ujung sana, suara yang ditunggu tak kunjung datang. “Ayo, Sayang, angkat. Suamimu ini sudah sangat rindu...” bisiknya pelan, harap-harap cemas, namun hanya keheningan yang menyambut.
Revan mulai tidak sabar, pria itu bergegas masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhnya, 15 menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Mengganti bajunya dengan cepat dan melesat turun, di ujung tangga Revan berpapasan dengan Sri yang sedang membawa keranjang pakaian kotor dari kamar anak-anaknya.
"Mas Revan mau kemana?"
"Nyusul mereka mbak," jawab Revan.
"Nggak makan siang dulu mas," tawar Sri.
Revan mengibaskan tangannya. "Nggak usah mbak nanti aja di rumah mama."
"Cie ... Cie mas Revan kayaknya udah nggak sabar, nggak bosen ya mas?" Ledek Sri.
Revan hanya tersenyum tipis mendengar ledekan dari asisten rumah tangganya itu, itu hal yang sudah lumrah mengingat Sri dulu pernah bekerja di rumah Melati. Sri merupakan salah satu saksi hidup bagaimana perjuangannya mendapatkan hati Melati kembali.
***
Revan menekan pedal gas lebih dalam, mobilnya melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Untung saja hari ini akhir pekan, jalanan pun relatif lengang. Beberapa warga ibu kota memilih berdiam di rumah bersama keluarga, apalagi cuaca panas seperti ini.
Saat mobilnya berhenti di depan pagar tinggi, pintu besi otomatis membuka perlahan. Revan memutar kemudi, memarkir mobil mewahnya di halaman luas. Langkahnya cepat menyusuri teras, lalu membuka pintu utama dengan suara keras.
"Sayang, Mas datang!" teriaknya, suaranya menggema di ruang tamu yang lega. Dari dapur, seorang perempuan berhijab muncul tergesa-gesa, napasnya masih terengah-engah, apron yang melingkar di tubuhnya tampak kusut.
"Revan, ngapain sih teriak-teriak kayak Tarzan?!" bentaknya dengan nada kesal
. Revan tak peduli, matanya menelusuri ruangan. "Istri dan anak-anakku mana mama?" tanyanya dengan suara tegas.
Sandra memicingkan mata, tatapannya menusuk tepat ke arah putranya. Bibirnya mengerucut, suaranya dingin seperti angin tajam menusuk hati.
“Kamu masih ingat pulang juga, ya?” ucapnya singkat, penuh sindiran. Revan menatap balik, ragu. “Maksud mama apa?”
Sandra mengerutkan dahi. “Tiga hari di Bandung, ke mana aja?”
Revan mengangkat bahu, nada suaranya sedikit melelahkan. “Ya kerja lah, Ma. Emangnya ke mana lagi?” Matanya seperti menyembunyikan sesuatu, menahan beban di dadanya yang semakin berat. “Mama ngapain ngeliatin Revan seperti itu?” tanyanya pelan, mencari celah pembelaan.
Sandra menghela napas panjang, suaranya jadi dingin penuh ancaman. “Yakin kerja, Van? Jangan sampai kamu kehilangan Melati untuk ketiga kalinya. Kesempatan ketiga itu… sudah nggak ada.”
Revan mengerutkan dahi, napasnya keluar dengan kesal seperti ingin mengusir amarah yang menumpuk. "Apaan sih, Ma? curigaan banget sama anak sendiri? Mana mungkin Revan menduakan Melati mama," suaranya sedikit meninggi, mencoba mempertahankan harga diri.
"Yang bilang kamu menduakan Melati siapa?"
Revan seolah terperangkap oleh ucapannya sendiri. "Ya nggak ada ma, tapai tatapan mama itu lho dalem banget, seolah anak mama ini terdakwa saja." Sahut Revan sedikit gugup.
"Kalau kamu gugup berarti ada yang kamu sembunyiin. Awas aja Van kalau kamu macam-macam nggak bakal maafin kamu."
Revan mendengus, "Sebenarnya anak mama itu Revan atau Melati sih? Seharusnya mama tanya kenapa dia menginap di rumah mama tanpa ijin suaminya, bukan malah nyudutin anak mama sendiri begini."
Sandra melepaskan apron dari tubuhnya dengan kasar, lalu dengan gerakan cepat memukulkan kain itu ke punggung Revan. Tubuh Revan sedikit terkejut oleh pukulan itu, tapi wajahnya tetap tegap.
"Meskipun kamu anak mama, kalau salah ya salah. Nggak mungkin mama belain kamu. Dari dulu kamu yang suka cari masalah, Van. Jangan sampai Melati kembali kecewa sama kamu," suara Sandra berat, penuh kecewa tapi juga peringatan.
Revan terdiam, menundukkan kepala sejenak, pikirannya melayang ke luka lama yang ia berikan pada Melati. "Revan nggak mungkin mengulang kesalahan yang sama, mama" ucapnya pelan, bibirnya bergetar menahan kesedihan, "cukup dua kali Melati ninggalin Revan, aku nggak mau itu terulang lagi."
Napas berat keluar dari dadanya, seakan melepaskan beban yang lama disimpan. "Sekarang, di mana Melati, Ma?"
Sandra menatap tajam ke arah Revan, matanya menyipit penuh sindiran. "Anak-anak kamu nggak ditanya, nih? Cuma istri kamu doang ," sarkasnya.
Revan tersenyum tipis, berusaha tenang. "Iya, sama anak-anak juga."
Sandra mengangkat bahu sambil menjelaskan, "Anak-anak renang sama opanya. Melati pamit mau mandi dulu, tadi bantuin mama masak. Takut bau bawang kalau suaminya pulang."
Senyum Revan makin melebar, matanya bersinar. "Tau aja, kalau suaminya pasti nyusul ke sini."
Tiba-tiba, Sandra dengan gerakan cepat memukulkan kain ke tubuh Melati, suara kain bergesekan keras memenuhi ruangan. "Dasar omes!"
Revan tertawa lepas sambil menaiki anak tangga sampai di depan pintu kamar ia berhenti sejenak.
"Sayang mas pulang nih, boleh masuk nggak?"
Tak ada jawaban, Revan memutar knop dan melangkah masuk. Di depan meja rias Melati tampak menyisir rambutnya yang setengah basah terurai.
Revan melingkar kedua tangannya di pinggang sang istri mencium wangi lembutnya. "Sayang mas rindu kamu."
Melati menoleh perlahan. "Aku mau pulang ke Jogja."
revan pulsa jgn sembunyikan lg msalah ini terlalu besar urusannya jika km brbohong terus walau dg dalih g mau nyakitin melati ,justru ini mlh buat melati salah pham yg ahirnya bikin km rugi van
sebgai lelaki kok g punya pendirian heran deh sm tingkahnya kmu van, harusnya tu ngobrol baik" sm melati biar g da salah paham suka sekali trjd slh pham ya.