Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 – Tatap yang Tersirat
“Sudahlah, Jagatpati.”
Suara lembut Ibunda Ratu memecah keheningan yang baru saja timbul.
“Obrolan seperti itu… nanti saja setelah makan. Sekarang, nikmatilah hidangan yang sudah disiapkan.”
Raja Wretikandayun mengangguk.
“Benar. Lihatlah ponakanmu itu,” katanya sambil menoleh ke arah anak-anaknya.
“Wajahnya sudah lekat menatap ayam panggang.”
Beberapa pelayan yang berdiri di pinggir ruangan menunduk menahan senyum.
Sempakwaja dan Wirabuana cepat-cepat menundukkan,
Surughana menatap kedua adiknya, “Kita memang harus makan dua piring.”
Santap siang itu pun berlanjut.
Suara alunan tabuhan yang mengalun.
Ketiga pangeran makan dengan lahap, keringat dan debu dari latihan pagi seakan terbayar dengan aroma nasi panas dan ayam panggang yang disajikan.
Di seberang meja, Kencana tampak sesekali membetulkan letak selendangnya yang melorot di bahu.
Gerakannya kecil, tapi cukup membuat mata beberapa emban saling melirik.
Jagatpati menatapnya sekilas, matanya sulit ditebak.
Sementara itu, di sisi kanan meja, Puspa duduk tenang.
Sesekali ia mengangkat pandangan, hanya untuk menemukan tatapan Wira yang sudah lebih dulu menatapnya.
Keduanya buru-buru menunduk lagi.
Sekilas, ujung bibir Puspa terangkat, sangat halus, nyaris tak terlihat.
Suasana makan tampak tenang, namun ada arus halus di bawah permukaan, antara tatapan yang tertukar, kata yang ditahan, dan rasa yang bersembunyi di balik adat istana.
Hingga akhirnya, ketika santapan hampir selesai, Ibunda Ratu menoleh lembut ke arah Puspa.
“Puspa,”
Nada suaranya tenang.
“Aku belum sempat mengenalkanmu lebih dekat pada Jagatpati. Beliau adik dari Ayahanda Raja.”
Suapan nasi di tangan Wira terhenti di udara.
Ia menatap ke depan tanpa benar-benar melihat, berusaha menangkap setiap kata yang akan diucapkan selanjutnya.
Sempakwaja melirik sekilas ke arahnya, pandangannya cepat namun penuh makna, lalu kembali pura-pura sibuk dengan makanannya.
Sementara Surughana menegakkan tubuh, menatap piring di depannya seolah sedang menimbang sesuatu.
Puspa menunduk dalam, memberi hormat anggun.
“Senang bertemu, Paman Jagatpati,” ucapnya pelan namun jelas.
Jagatpati menatapnya cukup lama, seolah sedang menilai bukan hanya wajah, tapi seluruh kehadirannya.
“Aku baru mendengar dari emban pagi tadi,” suaranya tenang tapi berlapis sesuatu yang tak mudah ditebak.
“Itu sebabnya aku ingin memastikan sendiri… Namamu, Puspa, bukan?”
“Iya, Paman,” jawab Puspa sopan, menundukkan kepala sedikit.
Jagatpati tersenyum tipis.
“Waaah… hebat, kau sudah paham tata cara berbicara dengan baik” katanya.
“Aku tidak menyangka kau berasal dari desa.”
Ruangan tiba-tiba hening.
Namun Puspa tidak kehilangan ketenangannya. Ia menangkup tangan di pangkuan, menjawab dengan lembut,
“Saya hanya berusaha menghormati tempat di mana saya berpijak, Paman. Di mana pun itu, kesopanan tetap sama adanya.”
Jagatpati terkekeh pelan, menegakkan tubuh.
“Benar, benar… tapi tentu berbeda jika sejak kecil sudah dididik dalam tata wicara istana.”
Matanya berpindah ke arah Raja Wretikandayun sebelum kembali pada Puspa.
“Kakang dan aku adalah anak dari Raja Kandiawan, cucu dari Raja Putra Suraliman, dan keturunan langsung dari Raja Maha Guru Manikmaya. Sejak kecil kami sudah diajarkan etika, cara berbicara, bahkan cara menundukkan kepala pun ada aturannya.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Puspa lagi dengan senyum samar.
“Tapi kau… baru sampai kemarin, dan sudah bisa bersikap sehalus ini. Hebat sekali, Puspa.”
Puspa tersenyum kecil, menunduk sopan, tanpa membalas satu kata pun.
Raja Wretikandayun akhirnya berdeham pelan, memecah ketegangan.
“Sudahlah, Jagatpati. Puspa masih baru mengenal lingkungan istana. Jangan buat ia gugup di meja makan.”
Jagatpati menunduk sopan, “Ampun, Kakang. Aku hanya kagum, tidak lebih.”
Tapi sorot matanya masih mengamati Puspa.
Wira menatap nasi di depannya tanpa bersuara, tapi di hatinya, amarah dan cemas saling berebut tempat.
Raja Wretikandayun baru saja hendak menaruh minumnya ketika suara Jagatpati kembali terdengar.
“Kalau begitu,” ujarnya sambil menatap ke arah Raja dan Ratu,
“Agar Puspa lebih cepat mengenal kehidupan istana, sebaiknya tidak hanya para guru dan emban yang mengajarinya, Kakang.”
Ia tersenyum kecil, menautkan jari-jarinya di depan dada.
“Bagaimana kalau Kencana saja yang lebih sering berada di sini, ikut menemani dan membimbingnya?”
Kencana yang sejak tadi menunduk langsung menoleh, wajahnya berubah.
“Ayah…” suaranya nyaris seperti bisikan, penuh keberatan yang tertahan.
Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Jagatpati sudah memotong, nadanya lembut namun tegas.
“Kalau sesama wanita tentu lebih nyaman. Puspa juga akan punya teman sebaya untuk berbagi dan belajar cara membawa diri di lingkungan istana.”
Suasana meja mendadak terasa lebih dingin.
Wira akhirnya angkat bicara.
“Terima kasih atas kebaikan Paman,” katanya, memberi hormat ringan.
“Tapi kurasa... akan lebih baik jika para guru dan emban saja yang mengajari Puspa. Aku khawatir justru akan merepotkan Kencana.”
Jagatpati terkekeh pelan, tapi matanya tidak tertawa.
“Ayolah, Wira…” ucapnya, kali ini terasa menekan.
“Pamanmu ini hanya ingin membantu calon istri ponakannya. Salahkah kalau ingin membantu? Kita itu keluarga”
Kalimat itu meluncur halus.
Ratu menatap Puspa.
“Jagatpati… barangkali pembicaraan ini lebih baik dilanjutkan nanti saja,” ucapnya lembut.
Namun Jagatpati belum berhenti.
“Aku hanya mengusulkan demi kebaikan keluarga.”
Jagatpati menatap Puspa sekali lagi.
“Bagaimana, Nak Puspa? Maukah kau berteman dan belajar dengan Kencana?” tanyanya dengan nada lembut namun penuh tekanan halus.
Puspa tersenyum manis, menundukkan kepala sedikit.
“Terima kasih atas kebaikan Paman. Jika bersama Kencana, mungkin memang dapat lebih cepat belajar…”
Kencana tersenyum, suaranya terdengar ringan tapi mengandung kebanggaan yang nyaris menyengat.
“Aku pandai dalam segala hal, Puspa. Kau bisa bertanya apa saja padaku,”
Sempakwaja mencondongkan tubuh sedikit, berbisik pelan pada Suraghana, suaranya nyaris tak terdengar.
“Banyak hal… tapi yang paling menarik justru baju yang dia kenakan, seperti—”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Suraghana langsung menyikut perut adiknya cepat-cepat.
“Diam, nanti kau bikin masalah lagi!”
Sempakwaja meringis, berusaha menahan tawa.
Raja Wretikandayun menatap sekeliling meja. Suaranya tegas namun tenang, menjadi penutup bagi jamuan siang itu.
“Baiklah, jika begitu niat baikmu, Jagatpati. Kalian bisa belajar bersama di kedaton,” ujarnya sambil menatap Ratu sejenak.
“Benar… tidak perlu menuju Kadewaguruan. Di kedaton saja,” katanya pelan, namun nadanya menyiratkan kekhawatiran.
Jagatpati tersenyum tipis, seolah tak menyadari kegelisahan sang Ratu.
“Dimanapun sama saja. Yang penting, Kencana akan mendampingi Puspa belajar. Aku percaya, mereka berdua akan saling melengkapi.”
Raja Wretikandayun menghela nafas.
“Aku harus menemui para pejabat istana. Masalah perbatasan tak bisa dibiarkan berlarut,” ujarnya, lalu mengisyaratkan memanggil dua abdi kepercayaannya.
Raja Wretikandayun baru saja hendak berdiri ketika Jagatpati berdehem pelan, menunduk hormat.
“Maafkan aku, Kakang Raja,” ucapnya dengan nada sopan. “Aku tidak bisa ikut denganmu siang ini. Istriku sedang jatuh sakit... Aku harus segera kembali ke Kadipaten.”
Raja mengangguk perlahan. “Begitukah? Sampaikan salamku padanya.”
Namun Ratu justru mencondongkan tubuh sedikit ke depan, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus.
“Bawalah tabib istana, Jagatpati,” ujarnya lembut. “Aku yakin tabib istana mampu menemukan sebab penyakitnya. Jangan biarkan sakit itu berlarut.”
Jagatpati tampak sedikit tersentak, hanya sekejap, tapi ia segera menundukkan kepala, tersenyum tipis.
“Tidak perlu, Ratu. Tabib Kadipaten sudah cukup baik. Ia sedang menyiapkan ramuan yang lebih cocok untuk istriku.”
“Semoga istrimu lekas pulih,” sahut Raja singkat.
Jagatpati menunduk dalam.
“Terima kasih, Kakang. Kalau begitu, perkenankan aku kembali ke Kadipaten Sekaran. Kencana akan ikut bersamaku hari ini. Besok kami datang lagi.”
“Baiklah,” jawab Raja Wretikandayun sebelum benar-benar melangkah pergi.
Kencana ikut berdiri memberi salam.
Setelah itu, ia melangkah anggun mengikuti ayahnya keluar dari Sri Manganti.
Sempakwaja berdiri sambil menguap kecil.
“Aku ke kandang kuda dulu, ingin memastikan pelana yang baru,” katanya asal, meski Suraghana tahu adiknya hanya mencari alasan agar bisa kabur beristirahat.
Suraghana menepuk bahunya.
“Jangan bikin masalah di sana,” ujarnya, lalu dia sendiri melangkah ke arah barak prajurit, untuk mencari udara segar.
Hanya tinggal Wira dan Puspa.
Ruangan terasa jauh lebih lapang,
Wira menatap Puspa, bibirnya sedikit menegang sebelum akhirnya tersenyum.
“Ibunda Ratu bilang taman istana sedang banyak bunga bermekaran,” katanya lembut. “Jika kau belum lelah, maukah kau menemaniku berjalan ke sana, Puspa?”
Puspa terdiam sejenak, lalu menunduk pelan.
“Akan menjadi kehormatan bagiku.”
Mereka berjalan beriringan menuju taman istana.
“Puspa,” kata Wira sambil menoleh separuh badan. “Ayolah, tidak perlu sesopan itu."
Puspa tersenyum kecil. “Aku sedang berusaha menghafalkan tata krama yang tadi diajarkan."
Senyum nakal muncul di ujung bibirnya. “Tapi kalau kita sedang berdua begini, jangan terlalu kaku. Aku tak terbiasa.”
Puspa tertawa pelan.
Sepanjang jalan, Wira terus menggoda, sesekali menyentuh ujung jarik Puspa dengan ranting kecil, membuat gadis itu berkali-kali menepis tangannya sambil tertawa malu.
Saat tiba di taman istana, Wira memberi isyarat kepada dua emban yang mengikuti mereka.
“Kalian boleh kembali. Aku akan mengantar Puspa kembali sendiri nanti.”
Kedua emban itu saling pandang, lalu menunduk dan mundur perlahan.
Tinggallah mereka berdua di taman yang teduh, di bawah pohon tanjung yang mulai menggugurkan bunga.
Beberapa saat hanya terdengar desir angin dan gemericik air pancuran.
Puspa duduk di bangku batu, menatap kolam kecil di depannya. “Tenang sekali di sini…” ucapnya pelan.
Wira duduk di sebelahnya, agak dekat. “Ya. Tapi jangan tertipu ketenangan, Puspa.”
Puspa menoleh, sedikit heran. “Maksudmu?”
Wira menatap lurus ke kolam, suaranya merendah.
“Kau harus hati-hati dengan Paman Jagatpati... dan Kencana.”
Puspa menatapnya, bingung. “Tapi mereka baik padaku, Wira. Ramah, bahkan mau membantuku belajar.”
“Jangan percaya pada permukaan,” kata Wira, lirih tapi tegas.
Puspa hendak menjawab, tapi angin berembus kencang, menggoyangkan bunga-bunga tanjung yang jatuh di pangkuannya.
Ia menatap bunga itu sesaat, lalu tersenyum tipis.
“Sudahlah, Wira. Jika kita tetap baik, maka orang lain juga akan baik kepada kita.”
Wira menatap wajahnya, lama, seolah ingin mempercayai kata-kata itu.