Lihat, dia kayak hantu!"
"ia dia sangat jelek. Aku yakin sampai besar pun dia akan sejelek ini dan tidak ada yang mau mengadopsinya."
"Pasti ibunya ninggalin dia karena dia kutukan."
"Coba lihat matanya, kayak orang kesurupan!"
"iya ibunya membuangnya Karena pembawa sial." berbagai macam cacian dan olokan dari teman-temannya,yang harusnya mereka saling mengerti betapa sakitnya di buang tetapi entah mengapa mereka malah membenci Ayla.
Mereka menyembunyikan sendalnya, menyiramkan air sabun ke tempat tidurnya, menyobek bukunya, bahkan pernah mengurungnya di kamar mandi hingga tengah malam. Tapi Ayla hanya diam,menahan,menyimpan dan menelan semua dengan pahit yang lama-lama menjadi biasa.
Yang paling menyakitkan adalah bahwa tidak ada satu pun orang dewasa di panti yang benar-benar peduli. Mereka hanya melihat Ayla sebagai anak yang terlalu pasrah. Kalau ia dibully, itu pasti karena ia sendiri yang terlalu lemah.
Di sekolah, semuanya lebih buruk lagi..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widya saputri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Dunia, Satu Luka
Hidup tidak langsung berubah indah hanya karena satu orang baik datang.
Tapi kadang, satu tangan yang mengangkat mu dari jalanan bisa menjadi awal dari semuanya.
Dan bagi Ayla, tangan itu adalah milik Bu Marni.
Ayla terbangun di sebuah kamar sederhana berbau sabun cuci dan bunga melati kering. Jendela terbuka, suara ayam terdengar dari kejauhan. Di kursi dekat pintu, seorang perempuan berkerudung sederhana duduk sambil merajut.
“Pagi, Nak. Tidur nyenyak?” tanya Bu Marni sambil tersenyum.
Ayla hanya mengangguk.Kasur itu empuk. Tidak ada teriakan. Tidak ada suara kunci yang berderit seperti di panti.
Untuk pertama kalinya, ia merasa aman.
Bu Marni bukan orang kaya. Rumahnya kecil, berdinding kayu setengah lapuk, beratap seng berisik kalau hujan datang. Ia tinggal di pinggiran kota,jauh dari kata ramai. Tapi di rumah itu, Ayla tidur di kasur sungguhan untuk pertama kalinya, dengan selimut hangat, dan suara lembut yang berkata:
“Nak, kalau kamu lapar bilang.Kalau kamu takut bilang.Kamu nggak harus diam terus.”
Kata-kata itu lebih menyembuhkan daripada obat apa pun.
Namun, di balik semua itu, Ayla tidak tahu bahwa di kejauhan, ada mata-mata yang mulai mencari keberadaannya.
Pak Joko dan Bu Ratna tidak akan membiarkannya begitu saja. Pasti mereka berdua akan berusaha mendapatkannya kembali.
Dan kalau mereka menemukannya, Ayla tahu hidupnya bisa kembali menjadi neraka.
Hari-hari pertama Ayla masih pendiam. Ia tak banyak bicara, hanya menulis di buku catatannya. Tapi Bu Marni sabar,ia memberi makan, membelikan sabun, menyisir rambut Ayla yang kusut, bahkan menyelipkan uang untuk membeli pensil baru.
Perlahan Ayla mulai bicara.
"Nak kamu bisa ceritakan pada ibu,apa yang terjadi sama kamu." Kata Bu Marni perlahan
Awalnya Ayla takut tapi dengan bujukan Bu Marni akhirnya dia menceritakan semua kisahnya dan kejadian yang ia alami di panti. Tentang bagaimana dia di sakiti,disiksa,di fitnah,bahkan hampir dilecehkan.
"Astaghfirullah! Tega sekali mereka memperlakukan kamu seperti itu nak. Kamu tenang ya,sekarang kamu aman kok dan ibu akan melindungi mu." Kata Bu Marni lalu memeluk Ayla
"Kamu tidak sekolah?"
"Aku sekolah Bu tapi di panti dan di sekolah sama saja,tidak ada yang sayang sama aku. Semuanya selalu menyakitiku. Makanya aku memutuskan untuk tidak sekolah dan ingin mencari kerjaan saja." Ayla sangat memprihatinkan,dia bercerita sambil meneteskan air mata
"Kamu sekolah saja ya."
"Tapi kalau aku sekolah pasti aku akan bertemu dengan mereka lagi Bu dan pasti mereka akan menyakitiku."
"Kamu sekolah di tempat lain saja,nanti ibu yang akan mengurusnya."
"tapi aku tidak punya biaya bu." Ayla menunduk tampak sedih.
"Ibu yang akan membiayaimu."
"serius Bu!" seru Ayla senang
"Iya ibu akan menanggung semuanya sampai kamu selesai."
"Ayla mau Bu." Ayla langsung memeluk Bu Marni
Bu Marni tinggal sebatang kara,dia tidak mempunyai suami apalagi anak. Keluarganya juga sangat jauh dan tidak ada yang perduli dengannya sejak dulu.
Dua minggu kemudian, Ayla mulai sekolah. Sekolah negeri kecil di pinggiran kota. Seragamnya di kasih oleh tetangga. Sepatunya kebesaran. Tapi Ayla tersenyum di hari pertamanya.
Dan itu senyum pertamanya setelah sekian tahun,bahkan selama dia hidup.
Sekolah baru bukan tanpa tantangan. Beberapa anak mencibir karena Ayla murid “titipan”,tapi ia tak gentar. Ia tak lagi takut Karena di kelas barunya, ia bertemu seorang anak perempuan bernama Nina.
Nina pendek, cerewet, dan suka gambar bunga di bukunya.
"Kamu suka nulis? Aku suka gambar! Kita cocok!” katanya ceria.
"Iya kamu benar tapi apa kamu tidak maku berteman dengan aku?"
"Kenapa harus malu?"
Mereka cepat menjadi teman. Bukan karena Ayla butuh teman, tapi karena Nina tak pernah memperlakukannya seperti anak kasihan. Mereka duduk sebangku, makan bersama, dan bahkan punya misi kecil menerbitkan buku bergambar mereka sendiri.
Kehidupan Ayla perlahan berubah menjadi Ayla yang ceria dan penuh semangat.
Setiap malam, Ayla menulis. Ia mulai merapikan cerpen-cerpennya, menyalin ulang puisinya, bahkan menulis kisah fiksi yang terinspirasi dari kehidupannya di panti. Bu Marni memberinya sebuah kotak sepatu kosong.
“Taruh semua tulisanmu di sini. Siapa tahu suatu hari, kotak ini jadi harta karun.” Kata Bu Marni memberikan kotak kosong itu.
Ayla menamai kotak itu:
“Mimpi yang Disimpan”
Dan ia mengisi kotak itu setiap malam sebelum tidur.
Sementara itu, di sudut lain kota,
Rani menjalani hidup yang tampak sempurna.
Sekolahnya elit,seragamnya disetrika rapi setiap pagi,rumahnya besar, penuh rak buku dan poster motivasi. Ia punya laptop sendiri, HP terbaru, dan jadwal kursus yang padat.
Tapi hatinya kosong. Setiap kali ia menulis jurnal malamnya, Ayla selalu muncul di pikirannya.
“Aku mimpiin Ayla lagi.”
“Aku nggak tahu dia ada di mana. Apa dia sudah makan atau belum."
“Kenapa aku bisa bahagia, sementara dia harus menderita? Aku sudah salah karena terlalu egois meninggalkannya.
Ia mencoba menghubungi panti, tapi nomor pengurusnya sudah tidak aktif.
Ia bertanya ke lembaga sosial, tapi tidak ada informasi anak hilang bernama Ayla.
“Mungkin dia ponsel pengurus panti rusak. Besok aku akan kesana." gumam Rani di kamarnya.
Ia menangis malam itu, diam-diam. Karena meski dunia mengajarinya banyak hal, tidak ada pelajaran yang mengajarkan cara menyembuhkan rasa bersalah.
Kembali ke Ayla...
Suatu hari, Nina menemukan coretan cerpen Ayla dan membacakannya keras-keras di kelas. Semua anak terdiam bahkan guru mereka, Bu Siska, datang menghampiri dan bertanya:
“Siapa yang menulis ini?”
Ayla ragu. Tapi mengangkat tangan.
“Saya, Bu...”
Guru itu tersenyum.
“Tolong teruskan. Dunia butuh lebih banyak kata-kata seperti ini.” Hari itu, Ayla merasa seperti baru lahir.
Dan malamnya, ia menulis surat baru. Bukan untuk dunia. Tapi untuk dirinya sendiri.
Surat Ayla “Untuk Aku yang Akan Menang”
Hei, Ayla.
Lihat, kamu masih hidup. Masih bernapas. Masih menulis.
Kamu bukan korban. Kamu bukan sampah. Kamu adalah manusia.
Aku tahu kamu masih takut. Tapi lihat sekeliling. Kamu punya tempat tidur. Kamu punya sahabat. Kamu punya Bu Marni.
Dan yang paling penting, kamu punya kata-kata.
Jangan berhenti ya. Karena suatu hari nanti, kamu akan baca surat ini.
dan tersenyum karena kamu tahu kamu sudah sampai sejauh ini.
**
Dua anak perempuan yang terpisahkan.
Satu hidup di rumah besar, tapi merasa kehilangan.
Satunya hidup di rumah sederhana, tapi mulai menemukan dirinya.
Dan entah kapan, mereka akan bertemu lagi.
Bukan sebagai anak-anak yang terpisah,
Tapi sebagai dua jiwa yang akhirnya saling memahami.
Bersambung...