NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Creep– Radiohead

Pagi berikutnya, Pratama terbangun sebelum alarm berbunyi. Cahaya matahari pagi yang lembut sudah menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi ruangan. Dia melirik Caroline di sampingnya. Wanita itu masih terlelap, napasnya teratur, dan wajahnya tampak damai, jauh dari kengerian yang mencekiknya semalam.

Lampu tidur yang menyala semalaman masih setia memancarkan cahaya redup.

Pratama mengangkat lengannya yang agak mati rasa, lengan yang digunakan untuk menepuk punggung Caroline dan terhimpit oleh tubuh itu. Dia meregangkan lengannya beberapa saat, memeriksa agar wanitanya tidak terbangun oleh alarm, memastikan suhu kamar tetap hangat dan nyaman.

Dia bangkit dari ranjang dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Caroline. Setelah mengenakan jubah mandi, Pratama melangkah keluar dari kamar, menuju dapur. Dia tahu Caroline butuh asupan nutrisi yang baik untuk pemulihannya, dan bubur ayam seperti semalam adalah pilihan terbaik.

“Pagi, Pak.”

Pram mengangguk pada Frans, asisten rumah terpercayanya. Khusus makanan Caroline ia yang siapkan, namun untuk santapan adik dan dirinya dipercayakan pada pelayan yang di bawah arahan Frans.

Pram teringat adiknya dan buka mulut, “Oh ya, tolong nanti sampaikan pada Tasya agar segera meletakkan berkas yang kupinjamkan untuk tugas penelitiannya di meja kerjaku.”

“Akan Saya sampaikan.”

Frans melihat sekilas panci yang diambil majikannya sebelum mundur. Beberapa menu memang sudah tersaji di atas meja, menu sederhana seperti omelet dan lainnya. Biasanya dimakan Natasya saja, Pram terkadang memakannya atau tidak. Tergantung kesibukan dan suasana hatinya. Tidak banyak berbicara, Frans sudah masuk ke area lain, memerintahkan beberapa orang menjalankan apa yang ia perintahkan dan bergabung dengan mereka.

Di dapur, aroma bubur ayam yang gurih dengan telur putih rebus memenuhi dapur. Pratama menuangkan bubur ke dalam mangkuk, menambah sedikit irisan daun bawang dan taburan bawang goreng. Dia juga menyiapkan segelas air hangat dan obat-obatan yang diresepkan dokter.

Dengan nampan di tangan, Pratama kembali ke kamar tidur. Caroline baru saja bangun dan tengah mengucek matanya pelan.

Orang yang semalam diliputi kepanikan kini sudah lebih tenang. Dia melihat lampu tidur yang masih menyala, aroma bubur yang samar, dan nampan berisi obat di meja samping. Ini adalah pagi hari di kamar yang sama, dengan Pratama yang sama. Namun Caroline rasa, ia tidak sepanik sebelumnya.

"Pram?" suaranya serak karena baru bangun tidur. Dia mengangkat tangannya, menyentuh lehernya lagi, refleks yang sudah menjadi kebiasaan sejak ia terbangun. Tidak ada bekas luka, hanya kulit halus.

Pratama tersenyum tipis. "Bagaimana tidurmu? Masih mimpi buruk?"

Caroline menggeleng pelan. "Tidak seburuk semalam," bisiknya, jujur. Mimpi itu memang masih menghantuinya, tetapi tidak lagi terasa sehidup yang sebelumnya. Mungkin karena lampu yang menyala, mungkin karena kehadiran Pratama.

Dia duduk bersandar pada bantal. Pandangannya menjelajahi ruangan, mengamati setiap detail. Tirai yang menjuntai rapi, pigura di dinding, lemari pakaian modern yang berkilau. Semua terasa asing, namun tidak lagi menakutkan seperti sebelumnya. Rasa aman yang ditawarkan Pratama semalam tampaknya telah ia rasakan.

Dan perutnya keroncongan.

Pram menyembunyikan kedutan di sudut bibirnya, "Aku membuatkan bubur ayam kesukaanmu." Tetapi dia mengarahkan matanya ke kamar mandi. Memberi kode agar wanita itu menyikat gigi dahulu.

Caroline memahami apa yang ada di pikiran Pram dan masuk ke kamar mandi. Tidak berapa lama keluar dengan wajah yang lebih segar dan duduk di atas ranjang. Kini tangannya dijejali semangkuk bubur, aroma gurihnya langsung menggelitik indranya. Perutnya bergemuruh pelan. Reaksi fisik tubuhnya terhadap makanan terasa begitu nyata.

Pratama mengambil sendok. Caroline menerimanya dan mulai makan, namun kali ini gerakannya lebih hati-hati, tidak lagi seperti orang kelaparan yang berebut makanan. Dia menyuap perlahan, merasakan kehangatan dan kelembutan bubur di lidahnya. Rasanya sama seperti kemarin, dengan tambahan telur.

Saat Caroline makan, Pratama hanya duduk di sampingnya, mengawasinya dalam diam. Dia tidak memaksakan percakapan, hanya duduk tenang.

Setelah menghabiskan setengah mangkuk bubur, Caroline meletakkan sendoknya. Dia menatap Pratama. "Pram," panggilnya, "Aku sudah kenyang, terima kasih."

Senyum Pratama merekah, “Tidak ingin menambah lagi?” tawarnya.

Caroline berpikir sejenak lalu mata bulatnya kembali ke Pratama. “Boleh,” sahutnya riang. Seketika kamar itu menjadi lebih ceria. Begitu pula dengan Pram. Dia keluar dari kamar dan memberikan mangkuk bubur.

“Ini yang terakhir, aku janji.”

Pada akhirnya itu menjadi mangkuk kedua terakhirnya karena Caroline agak ketagihan dengan rasanya dan meminta menambah lagi.

Melihat Caroline makan dengan lahap, senyum kecil terus tersungging di bibirnya. Dia senang melihat istrinya menikmati makanan, terlebih tanpa pujian pun dia sudah tahu bahwa masakannya memuaskan.

Setelah akhirnya Caroline merasa benar-benar kenyang, mangkuk terakhir pun dikosongkan. Pratama mengambilnya, bersama dengan gelas dan obat-obatan yang sudah diminum Caroline.

“Apakah ada gula? Airnya lebih manis.”

"Ya, aku menambahkan madu," ujar lelaki itu sebelum telepon menyela pembicaraan mereka berdua. Diam-diam Caroline mengamati lelaki itu dari atas ke bawah sebelum terpusat ke benda yang bersuara itu. Agak penasaran.

Pram menoleh ke perempuan yang masih duduk di atas ranjang. "Aku harus ke kantor sekarang. Kau bisa beristirahat di sini, atau jika bosan, kau bisa berkeliling rumah. Jangan khawatir, Frans akan ada di sekitar jika kau butuh sesuatu."

Dia lalu keluar setelah berbicara bahwa ia akan pergi ke kantor. Tempat yang belum pernah didengarnya. Apakah sama seperti ruang belajar atau ruang diskusi? Ia tidak tahu.

Tiba tiba pintu terbuka lagi, “Aku lupa. Frans itu kepala asisten di rumah ini. Lalu ada adikku juga, Natasya. Biasanya dia akan duduk di depan televisi atau bermain di kolam ikan.” Lalu lelaki itu benar-benar pamit.

Setelah kepergian Pratama, keheningan yang menyelimuti terasa berbeda dari keheningan mencekam semalam. Kalau kemarin dia takut, hari ini dia lebih ingin tahu. Misalnya, apa lagi yang ada di dalam rumah ini?

Dia turun dari ranjang, kakinya menyentuh lantai yang dingin namun bersih. Perutnya sudah kenyang, minus mandi saja. Caroline masuk lagi ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Tapi.. dia diam.

"Baju, oke. Handuk, oke. Shower, oke. Pemanas, oke.”

Tetapi.. dia lupa yang mana sabun dan shampoo. Caroline melihat belasan botol di sudut kaca dan mengambil salah satu. Caroline agak terkejut saat salah satu botol justru mengeluarkan krim putih. Dia mengembalikannya ke tempat lalu berpikir sejenak. Lalu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan.

“Harus dibaca satu-satu.”

Caroline mengangguk spontan sambil mengambil masing-masing botol. Sambil berusaha mengingat warnanya, dia membaca teks yang agak besar di kemasan botol yang bahkan hampir robek karena terkena air.

Maka dia pun menghabiskan hampir sepuluh menit untuk menemukan yang mana shampoo dan sabun di dalam kamar mandi.

Setelah urusan mandi selesai, barulah dia memutuskan untuk menjelajahi.

Caroline melangkah perlahan ke ambang pintu kamar. Dia melihat koridor yang memanjang, dengan beberapa pintu tertutup di sisi kanan dan kiri. Dia memilih arah kiri, melangkah hati-hati, seperti seorang penjelajah yang memasuki wilayah tak dikenal.

Pintu pertama yang ditemuinya terbuka sedikit. Dia melongok masuk. Itu adalah sebuah ruangan yang lebih kecil, dengan meja besar dipenuhi buku tebal, kaca hitam berbentuk persegi panjang, dan rak penuh kertas. Di sudut ruangan, ada sofa nyaman dan sebuah mesin yang mengeluarkan uap. Ruangan itu terasa serius namun nyaman. "Ruang kerja?" gumamnya, teringat kata 'kantor' dari Pratama. Mungkin ini versi kecilnya.

Dia keluar dari ruangan itu dan melanjutkan langkahnya. Pintu berikutnya adalah sebuah kamar mandi lain, lebih kecil dari yang di kamarnya, namun tetap modern. Caroline hanya melihat sekilas, lalu berlanjut.

Lalu Caroline melihat tangga dan menuruninya, akhirnya sampai ke sebuah area yang jauh lebih luas. Sebuah ruangan besar dengan jendela tinggi yang membiarkan cahaya matahari masuk dengan leluasa. Ada sofa empuk dan sebuah kotak besar yang memancarkan gambar bergerak. Ini pasti ruang keluarga, tempat di mana orang-orang berkumpul.

Dari sana, dia bisa melihat segala arah seolah ini adalah pusatnya. Ada beberapa orang berpakaian rapi sedang sibuk di sana, dia tidak tahu siapa yang bernama Frans di antara mereka. Awalnya dia mau mendekat, tetapi melihat mereka yang sibuk menyiapkan sesuatu membuatnya sedikit canggung untuk mendekat, jadi dia hanya mengamati dari kejauhan.

Dia lalu menemukan sebuah pintu kaca besar di ujung ruang keluarga. Rasa penasaran mendorongnya untuk mendekat. Dia mendorong pintu itu dan melangkah keluar. Sebuah aroma segar langsung menyambutnya.

Dia berada di sebuah taman kecil. Ada rerumputan hijau yang terawat rapi, beberapa pot bunga dengan warna-warni cerah, dan sebuah area duduk dengan kursi dan meja taman. Di salah satu sudut, dia melihat deretan tanaman yang tertata rapi dalam pot-pot kecil, beberapa di antaranya tampak seperti herbal atau tumbuhan obat.

Caroline berlutut, mengamati salah satu tanaman dengan seksama. Jarinya menyentuh daunnya yang bertekstur, menghirup aromanya yang khas. Sebuah sensasi aneh menjalar di benaknya, rasa familiar yang samar-samar, seolah dia pernah melakukan ini sebelumnya. Ini bukan memori yang jelas, tetapi lebih seperti gema dari minat lama.

Dia menghabiskan waktu cukup lama di taman, menyentuh dedaunan, mengamati bunga-bunga, dan mencoba mengingat. Meskipun tidak ada kilasan ingatan yang kuat muncul, ada rasa damai yang memenuhi dirinya. Di tengah semua kebingungan, sentuhan alam ini memberinya semacam ketenangan yang aneh.

Rasanya ini.. rumah keduaku?

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!