Bias Masa Lalu

Gita merasa tak nyaman, beberapa kali dia memperbaiki cara duduknya.

Semua itu gara-gara laki-laki di depannya yang dari tadi tak melepaskan pandangan ke arahnya.

"Jadi apa perusahaan no... ahh maaf nyonya Gita setuju mulai menyiapkan semua armada itu bulan ini?" tanya Saka kembali

Tadi Gita protes saat dia dipanggil nona. Dia adalah wanita yang sudah menikah walaupun sekarang sudah berstatus janda. Jadi merasa tak pantas saja dipanggil nona.

"Kami baru bisa menyiapkan sebagian saja di akhir bulan ini. Karena sesuai permintaan Ivanovic Palace, kami harus mendesain armada tersebut dengan pesanan pihak hotel." kata Gita dengan percaya diri.

Tak lupa Gita tersenyum hingga menunjukkan dua buah lesung pipi yang membuatnya semakin cantik.

Jiwanya kembali, setidaknya dia sempat goyah saat di awal pertemuan tadi.

Tapi setelah berjalannya rapat ini, ditambah Saka yang begitu pas diajak diskusi membuat Gita menjadi nyaman.

Namun, tidak dengan lelaki di depannya. Direktur Ivanovic Palace itu terlihat tak menyukainya.

Hei Gita... Sejak kapan lelaki bernama Arga itu menyukaimu. Ingatlah dia bahkan membuat hidupmu menderita.

"Baiklah kalau begitu. Mungkin tinggal menunggu keputusan dari tuan Arga dan menandatangani kontrak ini, maka kita akan resmi bekerja sama." kata Saka sambil menyodorkan kontrak kerjasama itu ke arah Arga untuk segera ditandatangani.

"Baiklah... silahkan..." Gita mengangguk sebagai tanda mempersilahkan.

"Tuan..." Saka menyadarkan Arga yang masih menatap Gita.

Saka menyadarkan ketertarikan atasannya pada sosok janda muda di depan mereka ini.

Pantas saja kemarin siang, Arga langsung meminta Saka langsung menghubungi Sagara Corp

Padahal minggu lalu Arga masih meninjau kembali proposal pengadaan armada khusus hotel yang akan digunakan oleh para tamu VIP dan VVIP.

Dan tiba-tiba saja Arga menelponnya dan meminta Saka segera menyiapkan proposal kerjasama dan harus selesai kemarin sore.

Saka mengakui jika Gita wanita yang sangat cantik dan menarik. Bahkan Saka sempat terpesona pada wanita itu saat pertama kali melihatnya di lift.

Jika saja saingannya bukan Arga tentu saja Saka tak akan mundur.

Tapi belum tentu wanita itu juga tertarik pada bosnya. Saka melihat jika Gita terlalu acuh dan mengabaikan Arga. Justru wanita itu lebih fokus pada isi kontrak dan kesepakatan bisnis ini.

"Tuan... Silahkan anda cek kembali dan tanda tangan." kata Saka menyadarkan Arga agar fokus pada lembaran kertas kontrak di depannya.

"Ooh... Saya tak bisa konsentrasi memahami isi kontrak ini. Saya tadi belum sempat sarapan dan saya tak bisa berpikir kalau lapar. Apa anda mau menemaniku sarapan, nona Gita?" tanya Arga

Saka menatap Arga dan Gita bergantian. Menurutnya, saat ini ada sesuatu yang menghubungkan dua orang ini. Suatu hal yang begitu kuat dan tak bisa terlepas begitu saja.

'Dasar monyet, mana ada orang sarapan jam setengah sepuluh.' kata Gita dalam hatinya.

"Jika anda tak mau tak masalah. Mungkin anda ada kesibukan lain. Jadi kita akan membicarakan kontrak ini lain kali saja." kata Arga.

Kesannya seperti memahami tapi sebenarnya lelaki itu sengaja membuatnya terpojok.

"Baiklah, saya akan menemani anda sarapan. Karena saya juga khawatir otak anda tak akan berfungsi dengan baik jika kelaparan."

Saka membelalakkan matanya saat mendengar kata-kata sarkas yang keluar dari bibir Gita. Yang benar saja, dia mengatakan hal itu pada Arga.

Namun, yang membuatnya semakin heran bahkan tanpa sadar dia menganga lebar adalah Arga tertawa keras.

Arga sepertinya merasa senang karena bisa membuat wanita di depannya itu merasa kesal.

Saka merasa jika bosnya sedang tak baik-baik saja. Bosnya mungkin sedang sakit atau stress karena pekerjaan yang menumpuk. Mungkin karena itulah hari ini Arga menjadi orang gila.