NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:406
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Badai Yang Mendekat

Fajar yang pecah di atas Jakarta terasa seperti sebuah penghakiman. Sinarnya yang keemasan menembus jendela-jendela The Alchemist's Table yang hancur, menyoroti kekacauan di dalamnya seolah sedang melakukan otopsi pada sebuah TKP. Di tengah puing-puing itu, di mana aroma anggur mahal yang tumpah bercampur dengan debu bangunan, berdiri Leo dan Isabella. Deklarasi perang Leo, sebuah janji untuk menyajikan kepala Viktor Rostova di atas piring perak, masih bergetar di udara, menjadi fondasi baru bagi hubungan mereka yang berbahaya.

Isabella menatap Leo, dan untuk pertama kalinya, ia melihat bayangannya sendiri di mata seorang pria. Bukan bayangan ketakutan atau hasrat buta yang biasa ia lihat, melainkan bayangan dari resolusi yang sama dinginnya, tujuan yang sama mematikannya. Ia telah menghabiskan hidupnya dikelilingi oleh pion, ksatria, dan benteng. Kini, ia telah menemukan Rajanya. Perasaan yang menjalari dirinya bukanlah rasa takut akan persaingan, melainkan gelombang kegembiraan yang liar dan posesif. Ia tidak ingin menghancurkan pria ini. Ia ingin berkuasa bersamanya.

"Piring perak," ulang Isabella, suaranya serak. Senyum yang terukir di bibirnya adalah senyum seorang pemenang lotere yang hadiahnya adalah sebuah senjata nuklir. "Aku suka presentasi itu. Tapi hidangan utama yang hebat butuh serangkaian hidangan pembuka yang tak kalah mengesankan untuk membangun selera." Ia mengulurkan tangannya. "Ayo pulang, Alkemis. Dapur barumu sudah menunggu."

Saat mereka kembali ke Empress Tower, pergeseran itu terasa nyata. Leo melangkah masuk ke ruang perang bukan lagi sebagai konsultan atau tawanan yang berharga, tetapi sebagai arsitek dari masa depan mereka. Bianca dan Marco, yang telah diberitahu untuk siaga, langsung berdiri tegak. Tatapan mereka pada Leo kini berbeda. Marco, yang sebelumnya melihat Leo sebagai gangguan, kini melihatnya sebagai komandan lapangan yang telah membuktikan keberaniannya. Bianca, yang sebelumnya melihatnya sebagai teka-teki intelektual, kini melihatnya sebagai rekan konspirator.

"Selamat pagi, Chef," sapa Bianca, sedikit formalitas yang ironis dalam suaranya. "Atau haruskah aku memanggilmu Komandan?"

"Panggil aku Leo," jawabnya tenang, namun ada resonansi baru dalam suaranya. Ia meletakkan telapak tangannya di atas meja holografik yang dingin, seolah mengklaimnya. "Mulai hari ini, filosofi kita berubah. Kita berhenti bereaksi terhadap langkah Viktor. Kita berhenti memadamkan api yang ia nyalakan. Mulai sekarang, kita yang akan menyalakan apinya. Kita berhenti bertahan. Kita mulai berburu."

Leo menjelaskan visinya dengan presisi seorang chef yang merancang menu menarik dengan dua puluh hidangan. Setiap langkah direncanakan, setiap "rasa" dipertimbangkan.

"Viktor mengharapkan kita bersembunyi seperti tikus di menara ini. Itu memberinya kontrol narasi. Jadi, kita lakukan yang sebaliknya," kata Leo. "Kita perkuat posisi kita secara terbuka. Bianca, aku ingin menara ini menjadi neraka digital. Tiga lapis verifikasi biometrik di setiap akses, sensor panas di ventilasi, lapisan anti-peluru di setiap jendela. Dan yang terpenting, luncurkan program 'hantu' di seluruh jaringan internet. Aku ingin tahu jika ada yang mencari informasi tentangku, restoranku, atau..." ia berhenti sejenak, "...seorang pemilik warung tua di pinggir kota bernama Tirtayasa."

Nama itu membuat Isabella menatapnya dalam, sebuah pengakuan diam bahwa ia mengerti Leo sedang melindungi masa lalunya.

"Marco," lanjut Leo. "Gandakan penjaga di lobi, tapi samarkan mereka. Aku ingin mata di mana-mana. Dan tim penembak jitu di tiga gedung sekitar, 24/7."

Marco mengangguk. "Dan restoran itu, Chef? Tempat itu adalah liabilitas taktis. Sebaiknya kita tinggalkan saja."

"Tidak," sanggah Leo tegas. "Justru itu adalah benteng psikologis kita. Viktor berpikir ia telah membakar jiwaku. Kita akan membangunnya kembali, lebih megah dari sebelumnya, dan kita akan mengadakan 'Grand Re-opening' dalam waktu satu minggu. Kita akan mengundang media. Kita akan menunjukkan padanya bahwa kita tidak hanya selamat dari serangannya, kita justru berkembang karenanya. Itu pesan yang tidak bisa ia lawan dengan peluru."

Rencana itu begitu berani, begitu sombong, hingga membuat Marco terdiam sebelum akhirnya menyeringai. "Gila," gumamnya. "Tapi aku suka."

Saat Leo terus merinci rencananya, memasang dinding yang diperkuat, kaca anti-peluru, dan pintu darurat rahasia di restorannya, Isabella hanya duduk dan mengamatinya. Pria di hadapannya adalah sebuah badai yang sempurna. Lengan kemejanya digulung, memperlihatkan lengannya yang ramping namun kuat. Rambutnya sedikit acak-acakan. Matanya berkilat dengan kecerdasan yang tajam saat ia berdebat tentang spesifikasi teknis dengan Bianca. Ia adalah perpaduan yang memabukkan antara seniman yang penuh gairah dan ahli taktik yang dingin.

"Lihat dia," bisik Isabella pada Bianca, senyum miring di wajahnya. "Siapa sangka? Sexy chef kita ternyata seorang jenderal."

Julukan itu terasa pas. Leo si Sexy Chef. Bukan karena penampilan fisiknya semata, tetapi karena keseksian dari pikirannya yang berbahaya, dari otoritasnya yang tak terduga, dari dualitasnya yang memikat.

Hari berikutnya, Leo memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berisiko, namun perlu. Ia harus menemui Pak Tirtayasa. Ia butuh nasihatnya, tetapi lebih dari itu, ia butuh melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa mentornya aman. Ia juga butuh merasakan kembali dunianya yang lama, bahkan jika hanya untuk sesaat, sebelum ia meninggalkannya selamanya.

Ia tiba di warung tenda sederhana itu di sore hari. Aroma kaldu ayam dan teh melati yang familier langsung menyambutnya, sebuah balsam bagi jiwanya yang tegang. Pak Tirta sedang duduk di depan, membaca koran, tampak persis seperti di dalam foto mengerikan yang dikirim Viktor. Hati Leo mencelos.

"Leo! Tumben sekali kau datang kemari, Nak," sapa Pak Tirta, senyum tulus merekah di wajahnya yang berkerut. "Duduk, duduk. Bapak buatkan teh."

Leo duduk di kursi plastik yang reyot, merasa seperti seorang penipu. "Hanya kebetulan lewat, Pak. Ada urusan di dekat sini."

"Urusan?" Pak Tirta meletakkan teh panas di depan Leo. Matanya yang tua namun tajam menatap Leo lekat-lekat. "Kau tampak lelah. Dan ada sesuatu yang berbeda di matamu. Lebih... keras."

Leo mencoba tersenyum. "Hanya sibuk, Pak. Restoran sedang direnovasi besar-besaran."

"Bapak dengar ada perkelahian geng di sana," kata Pak Tirta santai, seolah sedang membahas cuaca. "Kau baik-baik saja?"

"Saya baik-baik saja," jawab Leo, menghindari tatapan mentornya. "Itulah kenapa saya kemari. Saya ingin minta saran Bapak. Untuk membuat tempat itu lebih aman."

Leo mulai menjelaskan rencananya untuk memperkuat restoran, tentu saja dengan menghapus konteks perang mafia. Ia membingkainya sebagai tindakan pencegahan terhadap perampokan. Pak Tirta mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menginterupsi. Ia hanya mengangguk-angguk.

Setelah Leo selesai, Pak Tirta menyesap tehnya. "Kaca anti-peluru, dinding diperkuat, jalur evakuasi rahasia..." gumamnya. "Ini bukan renovasi untuk mencegah perampok, Leo. Ini adalah persiapan benteng untuk menghadapi kepungan."

Leo terdiam. Ia tidak bisa membohongi pria ini.

"Kau tidak perlu cerita jika belum siap," lanjut Pak Tirta lembut. "Bapak hanya akan bilang ini, benteng terkuat sekalipun tidak ada gunanya jika musuh sudah berada di dalam hatimu. Kau terlibat dalam sesuatu yang besar, bukan?"

Leo hanya bisa mengangguk pelan.

"Bapak selalu tahu hari ini akan datang," kata Pak Tirta, menatap ke kejauhan. "Bapak melatihmu untuk bertahan hidup, bukan untuk memasak sup. Bakatmu itu... adalah sebuah anugerah sekaligus kutukan. Kau bisa melihat dunia dengan cara yang tidak bisa dilakukan orang lain. Kau bisa menciptakan harmoni dari kekacauan. Tapi jangan lupa, Nak,", ia menatap Leo lagi, matanya penuh peringatan dan kasih sayang, "saat kau menatap ke dalam jurang terlalu lama, jurang itu akan balas menatapmu. Pastikan kau tahu siapa dirimu saat itu terjadi."

Nasihat itu menghantam Leo lebih keras daripada pukulan manapun. Ia meninggalkan warung itu dengan perasaan yang campur aduk antara kelegaan dan firasat buruk. Ia telah memastikan mentornya aman untuk saat ini, tetapi ia juga telah diingatkan akan bahaya terbesar: kehilangan dirinya sendiri dalam perang yang akan datang.

Empat hari berikutnya adalah parade kerja keras yang gila. The Alchemist's Table yang hancur, di tangan kru konstruksi Marco, bangkit dari abunya seperti seekor phoenix. Di balik arsitekturnya yang elegan, kini tersembunyi kerangka baja dan teknologi keamanan canggih. Sementara itu, Empress Tower menjadi sebuah labirin digital yang siap menjerat siapa pun yang mencoba masuk tanpa izin.

Di tengah semua itu, ikatan Leo dan Isabella semakin dalam. Mereka adalah pusat dari badai, dua pilar yang saling menopang. Mereka bekerja bersama, makan bersama, dan jatuh ke tempat tidur karena kelelahan bersama. Kepura-puraan telah lama lenyap. Mereka telah melihat sisi tergelap dan terkuat dari satu sama lain.

Pada malam kelima, semua persiapan selesai. Restoran itu siap dibuka kembali dalam dua hari. Menara itu sekokoh mungkin. Ada keheningan yang aneh, ketenangan sebelum badai. Mereka berdiri di ruang tamu penthouse, kelelahan membayangi wajah mereka. Yang tersisa hanyalah menunggu langkah Viktor selanjutnya.

"Dia tahu kita sedang bersiap," kata Isabella pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia membiarkan kita membangun benteng kita. Dia menikmati ini. Dia sedang bermain-main dengan kita."

"Aku tahu," jawab Leo. Ia berbalik menghadap Isabella, mengambil kedua tangannya. Tangan wanita itu terasa dingin. "Mungkin ini malam terakhir kita yang tenang."

"Setiap malam bersamamu terasa seperti malam terakhir," balas Isabella, ada jejak kerentanan dalam suaranya yang biasanya keras.

Malam itu, gairah mereka tidak terucap lewat kata-kata, tetapi lewat sentuhan yang putus asa dan penuh makna. Isabella menuntunnya ke depan jendela raksasa, tempat di mana begitu banyak momen penting mereka terjadi. Dengan latar belakang permadani cahaya kota, mereka saling menelanjangi, bukan dengan ketergesaan, melainkan dengan kekhidmatan. Setiap helai pakaian yang jatuh adalah lapisan pertahanan yang mereka lepaskan, hingga hanya tersisa dua jiwa yang rapuh di hadapan satu sama lain.

Cinta mereka adalah sebuah badai sunyi. Itu lebih dari sekadar seks, itu adalah sebuah upaya mati-matian untuk menanamkan diri mereka pada satu sama lain, untuk meninggalkan jejak permanen jika fajar tidak pernah datang lagi untuk mereka berdua. Leo memuja tubuh Isabella dengan kelembutan yang kontras dengan kekerasan yang mampu ia lakukan, mencium setiap bekas luka kecil, setiap lekuk tubuhnya. Isabella, sebagai balasannya, menyerahkan kontrol yang biasanya ia genggam erat. Ia membiarkan Leo memimpin, membiarkan dirinya rentan dalam cara yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya.

Saat mereka bersatu, itu adalah sebuah pengakuan. Pengakuan akan ketakutan mereka, hasrat mereka, dan takdir mereka yang kini terjalin tak terpisahkan. Gerakan mereka adalah dialog, napas mereka adalah puisi. Itu panas, intens, dan sangat emosional. Kenikmatan yang mereka raih terasa seperti sebuah kemenangan kecil melawan alam semesta, sebuah momen puncak kehidupan di tengah bayang-bayang kematian. Itu adalah cara mereka mengatakan 'aku di sini, bersamamu, apa pun yang terjadi'.

Setelahnya, mereka terbaring di atas karpet, terjalin dalam kelelahan yang memuaskan. Kedamaian yang langka menyelimuti mereka.

Dan di saat itulah, badai itu datang.

Bukan dengan suara ledakan atau sirine, melainkan dengan getaran pelan dari sebuah ponsel baru yang diberikan Isabella pada Leo, sebuah ponsel terenkripsi yang seharusnya tidak bisa dilacak.

Sebuah pesan masuk. Satu-satunya pesan yang pernah diterima ponsel itu.

Dengan perasaan ngeri yang tiba-tiba, Leo meraihnya. Ia membukanya, Isabella melihat dari balik bahunya.

Layar itu menyala, menampilkan sebuah gambar yang diambil dari seberang jalan dengan lensa tele. Gambar itu begitu jernih hingga setiap detailnya terasa menyakitkan. Sebuah warung tenda sederhana. Seorang pria tua sedang duduk di kursi plastik, mengelap meja dengan kain, senyumnya ramah pada seorang pelanggan. Di seberang jalan, bersandar di dua mobil sedan hitam yang familier, berdiri beberapa pria berwajah dingin. Mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya berdiri di sana. Menonton. Kehadiran mereka adalah sebuah bom waktu yang berdetak.

Di bawah gambar itu, ada satu baris teks, seperti sebuah ejekan yang elegan.

Hidangan pembuka sudah selesai. Saatnya bertemu dengan chef yang mengajari sang alkemis.

Darah serasa surut dari wajah Leo. Isabella mengumpat dengan kasar. Viktor tidak menyerang benteng mereka. Ia menemukan satu retakan dalam baju zirah Leo, satu-satunya titik lemah yang tidak bisa ia perkuat dengan baja atau kode, hatinya.

Sebelum mereka sempat bereaksi, ponsel itu bergetar lagi. Pesan kedua.

Pilihanmu.

Dua kata. Sebuah mahakarya kekejaman psikologis. Pilihan itu jelas dan mustahil. Tetap di sini, di bentengnya, bersama Ratu-nya, dan membiarkan mentornya, pria yang seperti ayahnya sendiri, menjadi korban. Atau meninggalkan semuanya, bentengnya, Ratu-nya, perang yang baru ia mulai, dan berjalan sendirian ke dalam jebakan yang jelas-jelas telah disiapkan Viktor untuknya.

Leo menatap foto Pak Tirtayasa, pria yang memberinya kehidupan kedua. Lalu ia menatap Isabella, wanita yang telah memberinya kehidupan ketiga, kehidupan yang penuh dengan bahaya dan gairah yang tak terbayangkan.

Ia terjebak di antara masa lalunya dan masa depannya. Dan ia tahu, pilihan apa pun yang ia buat, seseorang yang ia cintai akan terbakar.

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!