Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KISAH RAKA
Hujan deras membasahi atap seng rumah dinas. Di dalam rumah, dr. Raka Ardiansyah duduk sendiri di meja kayu, lampu pijar kuning menyala redup di atas kepala nya.
Di depannya, buku laporan bulanan Puskesmas terbuka, tapi tak satu pun kalimat pada buku itu terbaca. Matanya tertuju pada bingkai foto kecil yang selalu ia bawa ke mana pun—istri dan anaknya, tersenyum di bawah sinar matahari.
Kini keduanya hanya kenangan. Dan kenangan itu... tak pernah berhenti menyiksa.
Tiga tahun lalu, hidup Raka disorot media. Bukan karena prestasi nya sebagai seorang dokter. Bukan juga karena jabatan yang diemban nya. Namun karena sebuah tragedi.
Istrinya, Ayla, dan putra mereka yang baru berusia dua tahun dibunuh dalam aksi perampokan sadis di rumah mereka sendiri.
Raka sedang bertugas malam itu—ada operasi darurat di rumah sakit tempatnya bekerja. Ia bahkan sempat bercanda dengan Ayla lewat pesan singkat satu jam sebelum kejadian:
Raka:
[Jangan lupa kunci pagar, nanti aku pulang bawa martabak!]
Ayla:
[Baiklah! Kami tunggu kedatangan martabak nya!]
Raka:
[Nungguin martabaknya aja?]
[Bukan yang bawa]
Ayla;
[Hehe] {emot ketawa}
[Tentu sama orangnya, dong!]
Raka:
[Seeep! See you muuuuuahh!]
{emot love 3x}
Tapi martabak itu tak pernah sampai.
Dan saat ia pulang... rumahnya penuh garis polisi.
Tubuh Ayla ditemukan di dapur, memeluk anaknya yang juga sudah tak bernyawa. Luka tusuk, pecahan kaca, bercak darah... semuanya seperti potongan mimpi buruk yang menolak hilang dari ingatan Raka. Bahkan sampai hari ini.
Beritanya menyebar cepat. Headline di mana-mana:
“Istri dan Anak Dokter Terkenal Tewas Dirampok Brutal”
“Dokter Raka: ‘Saya Terlambat 15 Menit… dan Mereka Sudah Pergi’”
Media mengejar Raka untuk mendapatkan berita. Wartawan berkumpul di depan rumah sakit. Polisi, keluarga, teman sejawat—semua menatapnya dengan kasihan atau bisik-bisik dalam diam: Kenapa kau tak di rumah malam itu?
Tapi yang paling menyakitkan datang dari keluarganya sendiri.
Ayahnya, seorang pengusaha farmasi kaya, menudingnya tak mampu melindungi keluarga.
Ibunya menangis berhari-hari, tapi bukan karena duka… karena malu disorot media.
“Kami sudah bilang jangan tinggal di rumah biasa!”
“Kalau kamu tinggal di apartemen yang kami sediakan, hal ini takkan terjadi!”
“Ayla bukan dari keluarga selevel kita… ini akibatmu memilih cinta di atas akal sehat!”
Ucapan-ucapan itu mematahkan Raka lebih dari kematian itu sendiri. Ia bukan hanya kehilangan istri dan anak—ia kehilangan semua rasa ingin hidup.
Setelah pemakaman, ia berhenti dari rumah sakit. Melepas semua tawaran, mundur dari dunia medis Rumah Sakit, dan memilih tempat yang jauh, sunyi, dan tak dikenal. Talago Kapur—desa di balik bukit, tempat tak ada wartawan, tak ada papan nama, tak ada kenangan yang mengejarnya.
Di sinilah ia membangun dinding.
Dingin.
Tegas.
Dan tak ada yang boleh masuk.
Sampai Kirana datang.
Kirana Azzahra. Gadis dari kota, dengan mata penuh keyakinan, kata-kata tegas, dan hati yang tak lelah memberi. Raka melihat sekilas dirinya yang dulu di balik semangat Kirana: idealisme mentah, keberanian yang kadang bodoh, dan ketulusan yang sulit dijelaskan.
Tapi ia takut.
Takut jika dinding itu retak. Takut jika ada yang masuk dan ia tak bisa melindungi lagi.
Takut jika suatu saat, seseorang seperti Kirana juga akan menjadi nama di berita duka—dan ia kembali tak bisa berbuat apa-apa.
Malam itu, suara anak-anak dari halaman membuat Raka keluar sejenak ke beranda. Di bawah lampu temaram, ia melihat Kirana dikelilingi bocah-bocah desa. Tertawa, bernyanyi, mengobati luka kecil dengan cerita-cerita lucu.
Satu anak menoleh padanya dan berseru,
“Dokter Raka, Kak Kirana bilang... luka hati juga bisa disembuhkan!”
Raka nyaris tersenyum. Tapi wajah Ayla muncul sekejap dalam bayangannya—dan ia menelan senyum itu kembali.
Ia kembali ke dalam rumah, duduk di ranjang sempit, dan membuka sesuatu yang selama ini ia simpan rapi:
Surat terakhir dari Ayla, yang ia temukan di laci meja setelah pemakaman. Surat yang ditulis iseng oleh Ayla seminggu sebelum kejadian—untuk ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga.
“Kalau kamu baca ini, mungkin aku lagi tidur terlalu lama atau lagi jauh di sana. Tapi ingat ya, Raka… kamu bukan penyelamat semua orang. Bahkan Tuhan pun tak menuntut kamu jadi itu. Kamu cuma harus jadi manusia: jatuh, bangun, dan… mulai lagi.”
Air mata menetes tanpa suara.
Dan malam itu, Raka menatap langit gelap Talago Kapur — untuk pertama kalinya, bukan untuk mencari pengampunan,
tapi untuk bertanya:
“Kalau aku membuka sedikit pintu… akankah dunia memberiku satu kesempatan lagi?”