Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6
Beberapa menit setelah dokter pergi, suasana lorong rumah sakit masih dipenuhi keheningan yang menekan.
Perawat berlalu-lalang, namun dunia Bu Siti seolah hanya berputar pada satu pintu ruang ICU tempat putranya berjuang antara hidup dan koma.
Livia Haura Azalia akhirnya memberanikan diri melangkah mendekat. Dengan tubuh gemetar dan hati yang berat, ia berdiri di hadapan Bu Siti, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya.
"Ibu Siti, izinkan saya berbicara sebentar," ujarnya dengan nada penuh ketulusan.
Bu Siti menoleh perlahan, matanya masih basah, namun ia tetap menjaga sikapnya yang santun. Ia diam. Tidak menolak dan tidak mengangguk.
Livia melanjutkan. "Saya tidak akan lari dari tanggung jawab. Saya akan menanggung semua biaya pengobatan Mas Ganendra di rumah sakit ini atau bahkan jika perlu dirujuk ke rumah sakit terbaik di Jakarta atau luar negeri," tuturnya sungguh-sungguh Ia menatap langsung ke mata Bu Siti, lalu imbuhnya,
"Saya tahu itu tak akan bisa menghapus luka Ibu. Tapi setidaknya, saya ingin melakukan yang terbaik untuk menebus kelalaian saya."
Bu Siti tetap diam. Wajahnya dingin. Namun sorot matanya bukan benci, melainkan perih yang mendalam.
"Selain itu... ini," ucap Livia sambil menyerahkan amplop putih berisi sejumlah santunan.
"Untuk kebutuhan Ibu selama di rumah sakit. Jangan ditolak Ini bukan belas kasihan, ini bentuk tanggung jawab saya sebagai manusia." Ujarnya Livia seorang CEO muda ahli waris satu-satunya kerajaan bisnis Rais Danuarta.
Hening. Suara detik jam terdengar jelas.
Bu Siti akhirnya angkat bicara, perlahan namun tajam.
"Saya terima bantuan ini karena anak saya butuh pengobatan. Tapi bukan karena saya butuh dikasihani." tuturnya Bu Siti.
Livia tak memotong ucapannya Bu Siti ibunya pemuda berusia 22 tahun yang ditabraknya.
"Saya hidup sebagai penjahit. Mungkin kecil di mata Ibu, tapi kami punya harga diri," ucap Bu Siti, nadanya tenang namun dalam.
Livia mengangguk pelan, menerima setiap kata itu tanpa membantah.
"Saya mengerti, Bu. Saya hanya ingin membantu tanpa mengurangi kehormatan siapa pun," ucapnya lembut.
"Kalau benar ingin membantu, jangan hanya dengan uang. Bantu doakan dia. karena yang saya butuhkan sekarang bukan kemewahan, tapi kesembuhan anak saya," ujar Bu Siti lagi, suaranya mulai bergetar.
Livia memejamkan mata, lalu mengangguk mantap. "Saya akan doakan Mas Ganendra setiap hari. Dan saya akan ada di sini sampai dia membuka matanya kembali," ujarnya tulus.
Untuk pertama kalinya, Bu Siti menatap Livia sedikit lebih lama masih dengan luka, tapi ada sedikit ruang di hatinya yang perlahan membuka.
Berselang beberapa menit kemudian, suara roda ranjang berderit perlahan mengiringi Ganendra yang dipindahkan ke ruang ICU. Tubuhnya masih lemah, tertutup selimut putih, dengan alat bantu pernapasan menempel di hidung dan selang infus menggantung di sisi kiri ranjang.
Bu Siti langsung berdiri dan mengikuti di belakang, sementara Livia Haura Azalia tetap berjalan dalam diam. Ia menjaga jarak, namun matanya tak lepas dari wajah Ganendra yang pucat.
Belum sempat suasana mereda, suara derap langkah cepat terdengar dari ujung lorong.
Seorang pria tua, berjas panjang abu-abu dengan tongkat gagah di tangan kanan, datang dengan wajah tegang. Rambutnya memutih rapi, postur tubuhnya masih tegak meski usia sudah menua.
Dialah Tuan H Rais Danuarta, seorang tokoh pengusaha terkemuka di ibu kota dan sekaligus kakek dari Livia.
Begitu melihat cucunya berdiri di depan ruang ICU dengan pakaian berlumur darah, wajah Tuan Rais berubah panik.
"Livia! Apa yang terjadi? Kenapa kamu sampai seperti ini?!" ujarnya lantang, suaranya menggetarkan lorong rumah sakit.
Livia menoleh cepat, menahan isak.
"Kakek... aku menabrak seseorang. Dia sekarang di dalam kondisinya kritis..." tuturnya terbata, matanya memerah.
Tuan Anwar langsung mendekat dan menggenggam bahu cucunya dengan kuat.
"Kamu kenapa bisa menyetir sendiri? Mana sopirmu?! Kamu tahu akibatnya ini bisa fatal?!" ucapnya keras, tapi lebih karena cemas daripada marah.
"Aku buru-buru ke notaris tadi. Tidak ada yang bisa menggantikan. Lalu tiba-tiba dia ada di depanku..." imbuh Livia dengan suara pelan.
Tuan Rais emejamkan mata, menahan emosi. Lalu ia bertanya tegas.
"Siapa orang yang kamu tabrak?"
Livia menarik napas, lalu menunjuk ke arah pintu ICU.
"Namanya Ganendra. Dia baru saja dioperasi. Kata dokter, keadaannya masih kritis."
Tuan Anwar menoleh ke arah perawat.
"Mana keluarganya? Saya ingin bicara langsung," ujarnya.
Perawat menunjuk ke arah Bu Siti yang duduk di kursi tunggu, mengenakan kerudung lusuh dan gamis sederhana. Wajahnya lelah, namun sorot matanya tetap kuat.
Tuan Anwar melangkah mendekat, lalu menyapa dengan hormat.
"Ibu... saya Rais Danuarta Kakek dari Livia. Saya baru diberi kabar. Maafkan cucu saya jika telah menyebabkan musibah ini."
Bu Siti menatap pria itu dengan tenang. Ia berdiri pelan, lalu mengangguk sopan.
"Saya Siti. Ibu dari Ganendra. Anak saya sedang berjuang antara hidup dan mati. Bukan karena perang tapi karena roda nasib yang menabraknya tanpa aba-aba," tuturnya datar.
"Saya bertanggung jawab sepenuhnya. Bukan hanya sebagai keluarga pelaku, tapi sebagai manusia," ucap Tuan Rais mantap.
"Kami tak butuh janji, Pak. Kami hanya ingin anak kami hidup. Kalau memang ada yang bisa dilakukan, doakan dia. Jangan biarkan dia pergi tanpa melihat ibunya lagi," tutur Bu Siti, suaranya mulai parau.
Tuan Anwar mengangguk dalam. Tak ada satu pun dari kata Bu Siti yang bisa ia bantah.
Sementara itu, dari balik kaca ICU, Ganendra masih terbaring diam. Tubuhnya tak bergerak, namun entah mengapa suasana mulai berubah.
Dua dunia yang semula terpisah dunia mewah Livia dan dunia sederhana Ganendra baru saja dipertemukan oleh benturan takdir.
Keesokan harinya.
Langit Jakarta masih kelabu. Embusan AC rumah sakit terasa dingin menusuk tulang, namun tak sedikit pun membuat Livia Haura Azalia beranjak dari kursi tunggu di depan ruang ICU.
Sejak malam kemarin, ia tidak pulang. Gaun rapi yang semula elegan kini terlihat kusut.
Make-up yang sempat luntur sudah dihapus seluruhnya. Rambutnya ia ikat seadanya. Tanpa alas kaki, hanya dengan sandal rumah sakit, Livia mondar-mandir dari nurse station ke ruang dokter. Setiap jam, ia mengecek perkembangan Ganendra.
Fasilitas terbaik disiapkan. Tim dokter saraf didatangkan langsung dari rumah sakit afiliasi luar kota. Ruang ICU diperketat dengan pengawasan penuh. Semua atas nama satu yaitu tanggung jawab.
Yang membuat semua perawat terkejut, Livia tak hanya membayar ia juga menjaga.
Ia tidak duduk manja di ruang VVIP. Ia memilih duduk di kursi plastik di luar ICU. Tertidur sebentar dengan kepala bersandar di dinding putih rumah sakit, dan bangun lagi ketika mendengar suara monitor jantung berdetak lebih cepat dari biasanya.
Di sisi lain lorong, Bu Siti mengintip diam-diam dari balik tirai ruang tunggu.
Tatapannya tak lepas dari sosok Livia.
Perempuan muda yang kemarin ia kira hanya akan datang membawa uang dan permintaan maaf, ternyata tetap tinggal. Bukan hanya satu malam, tapi dari subuh hingga subuh lagi. Tanpa pengawal, asisten pribadi dan pameran.
Bu Siti menghampiri perlahan, membawa segelas air hangat dalam gelas plastik bening.
"Nak Livia..." sapanya pelan.
Livia menoleh, kaget, lalu cepat berdiri.
"Bu Siti... saya masih menunggu dokter jaga. Tadi tensinya sempat turun, tapi sekarang mulai stabil," ucap Livia dengan nada sopan.
Bu Siti menyerahkan air hangat itu dengan tangan gemetar. "Minumlah dulu. Wajahmu sudah pucat. Jangan karena menjaga anak saya, kamu tumbang."
Livia tersenyum lemah, lalu mengangguk pelan.
"Saya ikhlas, Bu. Mungkin ini memang jalan yang Allah pilih untuk saya agar tidak terlalu sombong dengan hidup yang saya anggap sudah sempurna," tuturnya lirih.
Bu Siti terdiam sesaat. Lalu ia berkata dengan nada haru, "Saya tidak menyangka, kamu perempuan muda, karier hebat, hidup berkecukupan, mau duduk di sini... menjaga anak tukang jahit seperti saya."
Livia memandang ke arah jendela ICU, ke arah tubuh Ganendra yang masih terbaring dengan selang infus di lengan dan alat bantu napas di wajah.
"Saya tidak melihat dia sebagai 'anak tukang jahit', Bu. Saya melihat dia sebagai laki-laki yang pantas diberi kesempatan hidup," ucap Livia mantap.
"Dan saya akan tetap di sini sampai dia buka mata dan memanggil nama Ibu untuk pertama kalinya," imbuhnya lirih.
Air mata Bu Siti menetes, tapi kali ini bukan karena kesedihan melainkan haru yang datang dari sudut hati yang mulai luluh.