Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14
Kedua pasangan suami istri itu membersihkan tubuh mereka yang lengket dan penuh keringat setelah aktivitas ranjang yang melelahkan sekaligus membahagiakan.
Selesai berwudhu, mereka buru-buru melaksanakan shalat maghrib berjamaah di kamar sederhana yang disewa di pinggir pantai Tanjung Bira.
“Mas, agak miring sedikit sajadahnya. Biar pas ke arah kiblat, ke barat,” pinta Nisa lembut dari balik mukena putihnya.
Azhar mengangguk. “Iya, Sayang.”
Keduanya larut dalam shalat. Tidak ada percakapan, hanya bisikan doa yang melangit bersama takbir dan tasbih. Setelah salam terakhir, Azhar mengangkat kedua tangannya, suaranya bergetar penuh harap:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Nisa menundukkan wajah, air matanya jatuh membasahi sajadah. Dalam hening ia menyambung doa:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan suamiku, kebaikan dari apa yang ada padanya. Lindungilah kami dari keburukan yang tampak maupun tersembunyi. Berkahilah rumah tangga kami.”
Azhar kembali berdoa, kali ini lebih lirih seakan hanya Tuhan dan Nisa yang mendengar:
“Ya Allah, berkahilah pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, istri dan anak keturunan kami. Terimalah taubat kami, ampunilah segala khilaf kami. Engkaulah Yang Maha Menerima taubat.”
“Aamiin ya Rabbal ‘alamin,” balas Nisa dengan suara serak, matanya sembab.
Azhar menoleh pada istrinya, lalu perlahan mengusap perut Nisa yang masih rata. “Ya Tuhanku, karuniakanlah kepada kami anak yang baik. Engkau Maha Mendengar doa.”
Nisa tersenyum malu. “Aamiin. Semoga saja, Mas. Aku pengen cepat ‘launching’ anak kita. Kalau kembar, pasti ganteng dan baik hati seperti papanya.”
Azhar tertawa pelan, mencium pipi chubby istrinya. “Mau kembar atau tidak, cowok atau cewek, Mas akan selalu bahagia. Mas akan tunggu kedatangan mereka dengan sabar.”
Mereka bangkit dari sajadah, tapi tiba-tiba perut Nisa berbunyi keras. Azhar menoleh, lalu tertawa terbahak.
“Hahaha, astaghfirullah! Sayangku, maafin Mas. Gara-gara aku, kamu sampai kelaparan.”
Nisa menutup wajah dengan tangan, pipinya memerah. “Ih, malu banget….”
“Ya udah, ayo ganti baju. Kita cari makan di luar.”
Nisa menggeleng cepat. “Mas, kita makan di warung pinggir jalan aja, ya. Gak usah restoran. Masih tanggal tua, kan. Hemat dulu.”
Azhar menatapnya tak percaya, lalu tersenyum lembut. “Insya Allah, rezeki kita cukup. Sekali-sekali makan enak, gak apa-apa. Anggap hadiah kecil untuk kita.”
Nisa mencubit lengannya manja. “Tapi aku beneran lebih suka makan di warung. Rasanya lebih ‘ngena’, Mas. Gak kalah sama restoran bintang lima.”
Azhar menatapnya lama, hatinya bergetar. Kenapa dia bisa sesederhana ini? Kenapa dia bisa begitu mengerti? Pikirannya melayang membandingkan Nisa dengan Dian, istri pertamanya. Perbedaan keduanya bagaikan langit dan bumi.
Dian selalu menuntut lebih. Tak pernah merasa cukup. Tapi Nisa hanya dengan lima juta sebulan dia sudah tertawa bahagia. Dia selalu membuatku merasa cukup, meski aku sebenarnya bisa memberi lebih.
Azhar termenung, hingga tak sadar Nisa sudah berdandan rapi. Nisa berjalan mendekat, menatap suaminya dengan mata beningnya. “Mas kenapa diam saja? Aku gak cocok ya pakai baju ini?”
Azhar masih terpesona, tak sempat menjawab. Nisa merengut, menghentakkan kaki kecilnya. “Pasti Mas gak suka. Ya udah, aku ganti aja!”
Dengan kesal ia membuka lemari, hendak mengganti pakaian. Azhar sigap menarik tangannya, membuat tubuh Nisa terhimpit ke dadanya yang bidang.
“Sayangku…” bisiknya. “Kamu salah paham. Mas terdiam karena terlalu takjub melihatmu. Kamu terlihat seperti bidadari yang jatuh dari langit.”
Nisa memalingkan wajah, pipinya memanas. “Gombal.”
Azhar tersenyum, lalu berlutut di hadapannya. “Demi Allah, kamu adalah wanita tercantik yang pernah Mas temui. Dan kalau nanti kita punya anak perempuan, kecantikannya pasti akan mengalahkanmu.”
Air mata Nisa hampir jatuh, tapi ia cepat-cepat menahan dengan senyum.
“Aku gak bisa bersaing sama darah dagingku sendiri, Mas.”
Azhar mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya. Ketika dibuka, tampak kalung berlian, cincin, gelang, dan anting cantik bertuliskan inisial nama mereka yaitu Niaz.
“Untukmu, Sayang. Maaf, waktu kita menikah dulu Mas belum sempat kasih hadiah yang layak. Hari ini genap enam bulan kita menikah. Semoga Allah berkahi cinta kita sampai kakek nenek.”
Nisa menutup mulut, air matanya menetes membasahi pipinya saking terharunya.
“Mas… ini terlalu indah. Aku gak pernah mimpi punya perhiasan semahal ini.”
Azhar menatap istrinya lekat-lekat, jemarinya mengusap air mata di pipi Nisa.
“Sayangku, buat Mas, kamu jauh lebih mahal daripada semua berlian di dunia. Kalung ini cuma aksesoris kecil… supaya bidadari Mas gak kalah kinclong sama lampu jalan.”
Ia tersenyum tipis, suaranya bergetar tapi tetap menyelipkan gurauan. “Kalau kamu nangis terus, Mas takut perhiasannya kalah gemerlap sama beningnya air matamu.”
Azhar mengenakan kalung dan cincin itu di tubuhnya. Nisa hanya bisa menangis bahagia.
“Makasih, Mas. Aku beruntung banget punya kamu.”
Azhar menggandeng tangan istrinya sambil bercanda, “Sayang, kamu tau gak? Kalau kamu bintang, Mas rela jadi satelit yang muter terus di sekelilingmu. Soalnya kalau jauh dikit aja, Mas udah sesak napas.”
Nisa menoleh, wajahnya memerah. “Ih, Mas… gombalnya level dewa.”
Azhar terkekeh. “Ya maklum, namanya juga mayor. Kalau perang bisa serius, kalau sama istri harus bikin hatinya meleleh. Itu strategi bertahan hidup, Sayang.”
Nisa mendengus manja. “Dasar!”
Aku masih gemetar ketika Azhar membuka kotak kecil itu. Cahaya berlian di dalamnya membuat mataku berkunang, seolah aku sedang bermimpi. Aku menutup mulutku, air mataku jatuh begitu saja.
“Mas… ini terlalu indah. Aku gak pernah mimpi punya perhiasan semahal ini,” suaraku bergetar, hampir tercekat.
Tapi Azhar menatapku begitu serius, matanya teduh dan dalam. Tangannya hangat mengusap pipiku, menghapus air mata yang mengalir.
“Sayangku, buat Mas, kamu jauh lebih mahal daripada semua berlian di dunia. Kalung ini cuma aksesoris kecil supaya bidadari Mas gak kalah kinclong sama lampu jalan.”
Aku terdiam. Hatiku berdebar keras, antara mau tertawa karena gombalnya atau menangis karena tulusnya.
Ia tersenyum tipis, masih menatapku tanpa berkedip. “Kalau kamu nangis terus, Mas takut perhiasannya kalah gemerlap sama beningnya air matamu.”
Ya Allah… kenapa hatiku terasa seperti mau meledak? Antara bahagia, malu, dan terharu. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku di dadanya yang bidang.
Mayor gombal satu ini kenapa selalu tahu cara bikin aku jatuh cinta lagi dan lagi?
Aku menatap Nisa lama sekali. Mukena putihnya masih melekat, wajahnya polos tanpa sentuhan makeup apa pun. Pipinya merona alami, matanya jernih seolah memantulkan keikhlasan yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
Dalam hati, aku kembali teringat pada Dianti, mantan istriku. Dia memang cantik yang selalu penuh riasan, cantik yang harus disorot lampu, cantik yang sering kali lebih untuk dipamerkan daripada dijaga.
Tetapi bersama kecantikannya, selalu ada bayangan keras kepala yang melelahkan. Setiap kali aku berkata A, dia harus berkata B. Setiap langkahku terasa seperti medan perang melawan egonya.
Sementara Nisa… ah, Nisa adalah definisi kebalikan dari itu semua. Ia tidak pernah menuntut berlebihan. Dengan uang belanja sederhana pun ia bisa tertawa seakan dunia ini miliknya.
Kecantikannya lahir dari ketulusan, bukan dari palet makeup. Dan ketika aku bicara, dia mendengarkan bukan karena takut, tapi karena hatinya memilih untuk percaya.
Aku mengusap air mata di pipinya, lalu tersenyum kecil. Ya Allah, betapa aku bersyukur Engkau mempertemukan aku dengan wanita ini. Wanita yang membuatku merasa cukup, bahkan lebih dari cukup.
Aku menunduk mendekatkan bibir ke telinganya, berbisik, “Sayang… kamu tahu gak? Kalau Dianti dulu, cantiknya karena makeup. Tapi kamu, tanpa apa-apa aja udah bikin Mas lupa caranya berpaling.”
Nisa menatapku terkejut, lalu tersipu malu. Dan aku sadar, aku tidak pernah lagi ingin menoleh ke belakang.
Malam itu mereka berniat keluar mencari makan. Tapi saat Nisa melangkah ke lobby resort, sebuah suara memanggilnya.
“Assalamualaikum, Mbak Nisa.”
Langkahnya terhenti. Ia menoleh, dan darahnya seakan berhenti mengalir. Wajahnya pucat, tangannya gemetar hebat.
“Ya Allah…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Orang yang memanggilnya berdiri tegak di depan lobby, senyum samar tersungging di bibirnya.
Nisa panik, napasnya memburu. Dadanya berdegup keras. Kenapa dia ada di sini? Bagaimana bisa?
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor