Devan Ganendra pergi dari rumah, karena iri dengan saudara kembarnya yang menikah dengan Dara. Karena dia juga menyukai Dara yang cantik.
Ia pergi jauh ke Jogja untuk sekedar menghilangkan penat di rumah budhe Watik.
Namun dalam perjalanan ia kecelakaan dan harus menikahi seorang wanita bernama Ceisya Lafatunnisa atau biasa dipanggil Nisa
Nisa seorang janda tanpa anak. Ia bercerai mati sebelum malam pertama.
Lika-liku kehidupan Devan di uji. Ia harus jadi kuli bangunan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama Nisa.
Bagaimana penyelesaian hubungan keluarga dengan mantan suaminya yang telah meninggal?
Atau bagaimana Devan memperjuangkan Nisa?
Lalu apakah Devan menerima dengan ikhlas kehadiran Dara sebagai iparnya?
ikuti kisah Devan Ganendra
cusss...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meriang, Merindukan Kasih Sayang
"Kamu masuk angin mas?" Ucap Nisa yang baru muncul setelah selesai mengajari keponakannya belajar.
Nisa sudah curiga jika Devan tidak enak badan. Mungkin karena mandi sore tadi.
Memang cuaca lagi ga mendukung. Kalau sudah jam tiga sore, udara begitu dingin. Air juga dingin banget.
Suasana kampung di deket lereng Merapi memang begitu. Apalagi kalau musim kemarau seperti saat ini. Siang panas ngentang-ngentang. Giliran sore hari dinginnya minta ampun.
"Ngga tahu, rasanya menggigil!" Sahut Devan semakin merapatkan selimutnya.
Nisa kemudian menyentuh kening Devan, "Masuk angin ini!, kerokin mau?" Ucap Nisa.
"Hah!, kerokin?" Devan tak paham itu nama apa. Kerokin kayaknya baru denger.
"Iya!, kerokin pakai koin sama balsem!, di jamin ga menggigil lagi!"
"Masa iya begitu?" Sahut Devan sambil menatap Nisa.
"Bener!, sini deh aku kerokin!, kamu bangun dulu!"
"Kayaknya kalau biar ga menggigil kamu tidur sini Nis!" Canda Devan membuat Nisa memelototkan matanya.
"Jadi engga!?, kalau engga aku tidur di sebelah!" Sahut Nisa ketus.
"Iya iya!" Sahut Devan kemudian bangun dari tidurnya.
"Kaosnya lepas!" Perintah Nisa.
"Hah!, kamu ngajakin malam pertama?"
Plaaakkkk...!!
Aduhhh..!!
"Makanya!, ga usah mikir aneh-aneh!"
Devan pun membuka kaosnya membelakangi Nisa. Nisa segera mengambil balsem dan koin untuk melakukan aksinya.
Badan Devan terlihat jelas bersih dan berotot. Perutnya sampai di lirik oleh Nisa. Kotak-kotak katanya, ketika melihatnya melepas kaos milik mas Hasan.
"Aduh!, pelan-pelan Nis!" Teriak Devan yang tidak terbiasa dengan kerokan. Ia kesakitan jadinya.
"Ini pelan lho mas!, manja banget!"
Di kata Devan ini ga pernah kerokan kok. Makanya kaget ada yang bilang mau di kerokin. Dan makanan apa itu? Menurutnya.
Apalagi Devan di kata begitu. Manja banget katanya. Memang ga pernah kerokan kok Devan itu Nis!.
"Nah kan merah sampai hitem begini!" ucap Nisa masih membuat garis garis di punggung Devan.
"Kok merah?, keluar darah ya?" Tanyanya kepada Nisa.
"Ini pertanda masuk angin!, issss mas Evan ga pernah kerokan ya?" Tanya Nisa kepada Devan.
"Engga!, kalau sakit ya ke rumah sakit!" Sahutnya.
"Pemborosan!, masuk angin kok ke rumah sakit!"
"Ya kalau begini, tinggal minum obat!" sahut Devan.
"Mau?, itu ada!"
"Bolehlah!"
Setelah selesai Nisa mengambilkan obat untuk Devan. Obat warung yang terbiasa untuk sakit masuk angin berbentuk sachet.
Kemudian Devan meminumnya dan Nisa memberikan air putih hangat untuk Devan.
Setelah itu Devan pun merebahkan tubuhnya di ranjang milik Nisa. Hingga tak lama kemudian ia tertidur pulas.
Sementara Nisa hanya bisa memandang lelaki tampan itu dengan intens.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun dan sudah disebut janda itu kemudian duduk di sebelah Devan. Meratapi nasibnya saat ini.
Masih banyak tetangga yang ngomong tidak jelas tentang dirinya. Bahkan penduduk kampung sebelah. Masih suka bergosip tentangnya.
Hingga tak lama kemudian, buliran air mata menetes dari sudut matanya. bisa menangisi hidupnya.
Ia di usir oleh ayahnya. Beruntung kakaknya Hasan sangat memahami keadaan Nisa. Hingga kini ia tinggal di rumah mas Hasan.
"Aku tidak kenal dirimu mas Evan!, tapi kini sudah jadi suamiku. Berharap jika kamu segera membawaku pindah dari sini. Agar tidak melihat dan mendengar orang yang selalu menjelekkan ku serta mengolok-olok statusku." Ucap Nisa lirih agar Devan tidak mendengar.
Mungkin suatu kalimat doa serta keinginan Nisa saat ini. Terlebih Devan kini sudah menjadi suaminya.
Meski belum mengenal Devan seutuhnya. Nisa juga belum mencintainya. Namun tetap berharap suaminya ini menjadi terbaik di kemudian hari.
Nisa akhirnya membuka kerudungnya, kemudian tidur di sebelah Devan dengan memunggunginya.
Dalam diam, Nisa akhirnya ikut terlelap terbawa mimpi.
Sementara Devan membuka mata setelah mengetahui Nisa sudah terlelap.
"Tentu aku akan membawamu. Tapi aku ingin membungkam mulut mereka dulu. Ikutin saja permainan mereka!" ucap Devan walau hanya bibirnya yang bergerak tanpa mengeluarkan suara.
Greppp....!!
Devan perlahan memeluk Nisa dari belakang. Mencium wangi rambut Nisa. Baru kali ini, Devan melihat kecantikan Nisa tanpa kerudung yang setiap kali di pakainya.
Pagi harinya Nisa sudah bangun terlebih dahulu. Kemudian melihat Devan masih memeluknya.
Rengkuhan tangan Devan di singkirkannya. Devan masih terlelap disana.
"Mas!" Panggil Nisa kepada Devan yang masih terlelap.
Kemudian ia menyentuh kening Devan. "Sudah mendingan!" ucapnya, kemudian ia turun dari ranjang.
"Mas!, subuhan yuk!" ucap Nisa sambil melipat selimutnya.
"Hemm!"
Devan menggelinjang pelan, kemudian meregangkan otot-ototnya. "Jam berapa sekarang?, masih dingin!" Sahutnya.
"Jam empat mas!, yuk subuhan!"
Devan pun akhirnya bangun, kemudian menuju ke kamar mandi yang ada di luar kamar.
"Subuhan di masjid yuk Van!" Mas Hasan ternyata sudah bangun lebih dahulu. Ia mengajak Devan ke masjid dekat rumahnya.
"Ya mas!"
"Udah mendingan Van!" Ucap Jannah yang ternyata juga sudah ikut bangun pagi ini.
"Sudah mbak!" Sahut Devan.
Wajah Devan sudah mendingan, luka diwajahnya juga sudah tidak begitu terlihat. Sehingga pagi ini Devan terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Apalagi ketika Devan memakai peci hitam milik mas Hasan.
"Asline ganteng!" celetuk Mbak Jannah yang sudah memakai mukena ikut ke masjid.
Kemudian mereka berempat menuju masjid terdekat untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Selesainya dari masjid, mas Hasan mengajak ngobrol Devan di teras samping rumah, sambil menikmati secangkir kopi buatan Nisa.
"pass!" Ucap Devan dalam hati. Kemudian menyeruput kopi hitamnya.
"Van!, bisa minta tolong?" tanya mas Hasan kepada Devan yang sedang menyulut rokok kretek milik mas Hasan.
"Iya mas!, apaan?"
"Kamu bisa bantu jadi kenek engga entar?" Ucap mas Hasan.
"Kenek?"
"Iya!, kenek kuli bangunan!" Sahut mas Hasan.
"Boleh mas!" Sahut Devan dengan percaya diri.
"Emange wes bisa Van?" tanya mbak Jannah yang baru keluar membawa pisang goreng di piring.
"Bisa mbak!, udah ga begitu sakit ini!" sahut Devan. Memang sudah mendingan untuk semua lukanya. Meski kakinya masih ada lecet, tapi engga mau di bilang manja lagi oleh Nisa.
"Yo wes!, tapi hati-hati!" Ucap Jannah yang kemudian masuk ke dalam rumah.
Sementara Nisa kini sudah siap dengan pakaian kerjanya di rumah sakit.
Devan berinisiatif ingin mengantar, namun tidak boleh oleh mbak Jannah, karena Devan akan pergi bersama mas Hasan.
Mbak Jannah sendiri yang mengantar Nisa ke rumah sakit tempatnya bekerja Nisa. Sebab sepeda Nisa rusak akibat di serempet Devan.
Waktu sudah pukul enam pagi, mas Hasan hanya cuci muka kemudian siap berangkat bekerja.
Dia adalah tukang yang di percaya mengerjakan rumah warga kampung sebelah.
Karena salah satu keneknya tidak berangkat, maka Devan di minta untuk menemaninya.
Devan juga hanya mengikuti mas Hasan. Cuci muka, gosok gigi kemudian berangkat bekerja.
Jarak yang di tempuh memang tidak begitu jauh dari rumah mas Hasan. Meski begitu mereka tetap menggunakan motor. Motor matic milik mas Hasan.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
ibu tirinya, Nisa???
lanjut thor ceritanya
lanjutkan
jadi semangat bacanya deh
kog bisa2nya kek gitu
kan mayan ada devan yg jadi jaminan
cwek tuh perlu bukti ucapan juga lhooo
pokoknya yg bilang habiskan semua nya 😅😅😅😅