"Angelica, seorang wanita tegar berusia 40 tahun, berani dalam menghadapi kesulitan. Namun, ketika dia secara bertahap kehilangan motivasinya untuk berjuang, pertemuan tak terduga dengan seorang pria tampan mengubah nasibnya sepenuhnya.
Axel yang berusia 25 tahun masih muda tetapi sombong dan berkuasa, cintanya yang penuh gairah dan kebaikannya menghidupkan kembali Angelica.
Bisakah dia menyembuhkan bekas lukanya dan percaya pada cinta lagi?
Kisah dua sejoli yang bersemangat dan berjuang ini akan membuktikan bahwa usia tidak pernah menjadi penghalang dalam mengejar kebahagiaan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angie de Suaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 6
Axel tiba di kantornya pada waktu yang sama seperti hari sebelumnya. Dan meskipun ia sudah mencoba menyangkalnya ribuan kali, kenyataannya ia begadang karena diam-diam ingin bertemu dengan petugas kebersihan itu lagi. Hari itu ia mencukur rapi janggutnya, menyemprotkan cologne termahal yang dimilikinya, dan menyisir rambut halusnya dengan sempurna.
Pakaian dalam yang ia kenakan lebih mahal dari sepasang sepatu Ferragamo, bahkan ia memilih yang belum pernah ia pakai sebelumnya.
Dengan hati riang, ia tiba mengendarai Porsche 911 merahnya, memarkirnya di tempat biasa, lalu naik menggunakan lift pribadi. Saat keluar, ia menyanyikan lagu Despacito pelan-pelan:
Ia membuka pintu kantornya—Angelica tidak ada. Gaun itu pun masih tergantung utuh di tempat semula.
Ia membanting pintu, melemparkan tas kerjanya ke atas meja, melepas jas dan melemparkannya ke sofa, lalu menjatuhkan diri ke kursi dengan frustrasi. Wanita misterius yang memikatnya itu tak ada.
—Apa-apaan ini denganku? Aku bahkan tidak ingin bertemu dia lagi, kan? Lagian, bukan berarti aku tidak bisa tidur dengan wanita lain.
Dengan kesal, ia mengambil buku kerja, beberapa pensil warna, dan mulai mencoret-coret sembarangan. Ia sedang diliputi amarah, kekecewaan, kebingungan, konflik batin, hasrat, gairah—semua itu tumpah dalam coretannya, hingga dua jam berlalu tanpa sadar. Ia baru kembali ke kenyataan saat mendengar ketukan di pintu dari Sarah.
—Masuk, —ujar Axel, lalu ia merasa seperti mengalami dejá vu.
Sarah masuk, meletakkan secangkir kopi di sisi kanan Axel dan mulai membacakan agenda hari itu. Sampai matanya melirik ke buku kerja dan ia berseru kaget,
"Ya ampun, Tuan Darko! Desain ini sangat... dramatis! Apa yang terjadi?"
Axel menatapnya dengan marah.
"Apa maksudmu, "apa yang terjadi"? Tidak ada. Tidak terjadi apa-apa. Pertanyaan bodoh."
Axel bangkit dari kursi, berjalan menuju lemari minuman, dan menuangkan segelas whisky. Saat menoleh, Sarah masih berdiri terpaku menatapnya.
"Apa yang kamu tatap? Nggak ada kerjaan lain, ya?"
Sarah terkejut dan segera keluar dari ruangan. Tapi karena dia memang suka bergosip, ia langsung pergi mencari Marisolio.
Ia tiba di ruang desain dan masuk tanpa mengetuk—berbeda dengan ketika ia masuk ke kantor Axel.
"Marisolio! Marisolio!" Sarah datang seperti badai, membuat si desainer kaget setengah mati.
"Gila! Hampir bikin aku jantungan. Apa maumu, sih?" Marisolio tak menyembunyikan kekesalannya pada Sarah.
"Marisolio, Tuan Darko membuat sebuah desain!" Marisolio menatapnya seperti sedang melihat sampah.
"Dan? Memangnya Axel itu tukang roti atau tukang daging? Gila! Kalau kamu belum tahu, sayangku, dia itu SEORANG DESAINER!"
Sarah semakin membuat Marisolio kesal.
"Aku tahu. Tapi desainnya... aneh. Dia menggambar dengan sangat keras, seperti sedang marah. Aku bahkan sempat lihat cara dia mencoret-coret kertasnya. Aku khawatir, makanya aku mencarimu."
Dengan deskripsi seperti itu, Marisolio pun ikut cemas dan memutuskan untuk memeriksanya langsung.
"Ayo, Nona Kurus. Sekarang aku jadi khawatir," Ia menarik tangan Sarah dan nyaris menyeretnya menuju kantor Axel.
"Tapi jangan bilang kalau aku yang cerita, ya?" kata Sarah, khawatir.
"Tenang, serahkan saja padaku. Biar aku yang masuk sendiri." Marisolio meninggalkan Sarah di luar dan masuk tanpa mengetuk. Ia memang tidak pernah mengetuk.
Seperti kucing yang gesit, ia membuka pintu tanpa suara, mengintip sekeliling kantor, dan melihat Axel berdiri menghadap jendela besar yang memperlihatkan sebagian Madrid. Ia memanfaatkan punggung Axel yang membelakanginya dan mengendap-endap ke meja. Di sana, ia melihat desain yang membuatnya terpana.
"Astaga... apa ini? Begitu... eksotis," pikir Marisolio. Itu adalah desain gaun merah, tapi goresannya liar, penuh emosi—seolah Axel sedang melampiaskan frustrasi.
"Mau apa, Marisolio?" Axel sudah tahu ia masuk sejak pintu dibuka. "Sarah sudah menyebarkan gosip soal desain baruku, ya?"
"Iya, si kurus itu mendobrak masuk ke tempatku, panik, katanya kamu menggambar seperti orang kerasukan dan nggak sadar kalau dia sudah masuk." Mudah-mudahan Axel percaya dan pecat dia karena tukang gosip, pikir Marisolio, berharap Axel bereaksi.
Tapi Axel tahu, Marisolio benci Sarah dan tahu juga bahwa separuh dari ceritanya itu bohong.
"Jadi kamu yang "bukan" tukang gosip ini datang untuk memastikan cerita Sarah? Benar, ya?" Axel akhirnya berbalik dan menatap Marisolio tajam. Satu langkah Axel maju, satu langkah Marisolio mundur.
"Jangan nakut-nakutin aku, Axel. Kalau aku sampai ke pojok, bisa-bisa aku nekat nyium kamu. Kalau kamu jatuh cinta, aku nggak tanggung jawab!"
Kalimat itu malah membuat Axel teringat pada wanita yang membangkitkan inspirasinya. Ia butuh wanita itu kembali.
"Marisolio, kamu baru saja memberiku ide bagus. Terima kasih. Sekarang silakan keluar." Axel membuka pintu dan menyuruh Marisolio pergi.
📲 "Sarah, hubungi Ramona Chávez, supervisor layanan umum. Suruh dia datang ke kantor dalam satu jam."
Satu jam kemudian, Ramona duduk di hadapan Axel, yang menatapnya tajam dan penuh selidik.
"Bu Ramona, saya ingin tahu siapa yang membersihkan kantor ini kemarin dini hari?"
Ramona langsung tahu: si bodoh Angelica akhirnya bikin masalah... dan langsung dilakukan ke bos besar.
"Tuan Darko, tenang saja. Saya sudah memberhentikan Angélica Sosa. Tadi malam juga sudah saya beritahu. Gaji terakhirnya akan dibayarkan dalam beberapa hari ke depan."
Axel berdiri dengan gerakan yang membuat kursinya terjungkal ke belakang. Dalam dua langkah, ia sudah berdiri di depan Ramona, yang ketakutan dan menunduk, sambil berdoa dalam hati agar Tuhan meredakan amarah bosnya.
"Apa maksudnya diberhentikan? Dan atas izin siapa?"
"Tuan Axel, saya punya wewenang untuk mempekerjakan atau memberhentikan staf saya. Itu tertulis dalam kontrak saya. Makanya saya memutuskan untuk memberhentikannya. Sudah beberapa kali dia dapat peringatan, dan apa yang terjadi kemarin pagi jadi titik akhirnya."
Axel tidak percaya. Hal pertama yang ia wanti-wantikan—ternyata justru itu yang dilakukan si perempuan itu. Dia... sudah membocorkan apa yang terjadi di antara mereka.