“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 06
“Kalian yakin kalau dia sudah mati?” Hardi mengisap rokok, netranya menatap tajam ketiga anak buah sang ayah.
“Percaya pada kami, Tuan. Mungkin kini sosoknya sudah menjadi arwah gentayangan, dan daging busuknya jadi rebutan Anjing liar … ha ha ha!” Herman mengisap dalam nikotinnya.
Gelak tawa saling bersahutan, keempat pria itu menertawai sosok wanita lemah, bodoh, lugu, Sawitri.
“Macam mana rasanya? Enak bukan?” Ia tatap jenaka para pemuda tua yang belum menikah di umur 35 tahun.
“Menjepit, seperti setrum bertegangan tinggi, aku jadi ketagihan. Dua kali rasanya kurang.” Senyum Pendi terlihat begitu menjijikan.
“Kalau kau?” tanyanya kepada Gandi.
“Akhirnya aku bisa mewujudkan fantasi bercinta lewat belakang sambil menyiksanya, sedikit menyayat kulit kepala agar ada bau darah,” jawab Gandi sambil menjilati bibir.
Hardi terbahak-bahak. “Memang tak waras kau, tapi dia pantas mendapatkannya! Sebab, rasanya sudah tak lagi sempit. Mana hamil lagi, jadi hilang nafsuku saat membayangkan ingin menggaulinya. Seandainya saja tak bunting, tetap akan ku pertahankan untuk cadangan bila nanti bosan dengan istri sah ku.”
“Untung saja dukun beranak itu cepat memberitahu. Sehingga kita bisa gerak cepat mengeksekusi nya,” timpal Herman.
"Ya, Sawitri bukan tipe wanita gila harta. Takkan mau dia menggugurkan kandungannya. Yang ada malah menghambat serta menghancurkan masa depan ku." Hardi mendengus.
“Sudahkah kalian memberikan imbalan kepada Farida?” kembali Hardi bertanya, netranya menatap hamparan luas perkebunan kopi milik ayahnya.
“Sudah Tuan, malah kami kasih lebih berupa goyangan maut sampai dia terkapar.” Pendi memegang perutnya yang terasa kaku, seminggu yang lalu giliran dia disenangkan oleh Farida, biduan kampung anak kepala desa.
Farida anaknya bu Surti. Dialah yang mengarahkan Sawitri melewati jalan pintas dengan memberi informasi palsu, bahwasannya Hardi ada di perkebunan kopi. Padahal, di ujung jalan sudah ada anak buah Bahri yang menunggu untuk mengeksekusinya.
“Betapa bodohnya wanita-wanita lugu di kampung transmigrasi ini, baru saja diberi sedikit perhatian, kata rayuan, dan janji dinikahi, langsung memberikan keperawanan mereka secara sukarela.” Hardi menggelengkan kepala, tersenyum culas.
"Hanya Sawitri yang ku nikahi secara siri. Lainnya cuma dipakai cuma-cuma. Putrinya bu Mina begitu menjaga kehormatannya, membuatku semakin tertantang untuk merasai nya. Sayangnya dia tak bisa diajak bersenang-senang saja, menginginkan membangun rumah tangga harmonis. Cui!" Hardi meludah.
"Gadis tak berpendidikan, dari kaum rakyat jelata berharap bahagia dengan bersuamikan pria kasta tertinggi. Mimpinya terlalu tinggi sehingga sudah sepatutnya dilenyapkan agar tak menyusahkan!" Sorot mata menajam, nada suaranya terdengar muak.
“Bila dihitung-hitung, anaknya mendiang Kasman korban yang keberapa, Tuan?” Herman membuang puntung rokoknya.
“Lima, sembilan, atau dua belas ya? Entahlah, aku lupa. Hanya ingat rasanya serta sensasi membobol gua sempit menjepit!” Hardi kembali terpingkal-pingkal, wajahnya menunjukkan rasa puas dan kemenangan.
"Tak anak, tak pula bapaknya. Sama-sama dungu! Yang satu mati dikarenakan keluguan menganggap semua orang berhati malaikat. Satunya lagi tewas dikarenakan sok jagoan … ha ha ha.” Gandi memilin kumisnya.
***
Dada Sawitri kembang kempis, wajah merah padam, rasanya dadanya mau meledak, amarahnya menggelegak menuntut pembalasan.
Argghh!
“Badjingan! Biadab kau Hardi!”
Akhh!
Wanita dalam keadaan memprihatinkan itu mengantukkan kepala pada dinding tepas, menangis histeris sambil memukul dadanya.
“Bapak! Mamak! Maafkan Witri_” seketika raungannya terhenti, dia mengingat sepenggal kalimat. ‘Satunya lagi tewas dikarenakan sok jagoan’.
Melihat Sawitri yang bungkam dengan mimik wajah penasaran, Ni Dasah kembali membaca mantra lalu meniup permukaan air di dalam bokor. Munculnya adegan dimana pencarian Sawitri dilakukan.
“Saya akan menelusuri pinggiran sungai, siapa tahu ada jejak Sawitri.” Pak Kasman mengeluarkan parang dari dalam sarung.
“Terserah kau! Bila kesulitan jangan menyusahkan kami!” Pendi menatap sinis ayahnya Sawitri.
Pria tua itu berjalan seorang diri, tangan dan kakinya menyibak semak belukar, mencari jejak sang putri. Sampai dimana mata berwarna kelabu itu melihat baju terusan yang sangat ia kenali, teronggok di semak-semak tumbuhan menjalar.
Bukan cuma satu helai, tapi ada juga celana dalam dan juga bra. Pak Kasman membungkuk, memungut nya.
“Ini pakaian Witri.” Ia bentangkan baju kotor bercampur tanah yang terdapat bercak darah yang sudah tak layak pakai.
Jantungnya berdegup keras, hatinya langsung cemas, dia bukan orang lugu yang tidak bisa menebak apa yang telah terjadi dengan melihat bentuk pakaian sang putri.
“Nak, kau di mana? Kasih tahu Bapak, Witri! Siapa Badjingan itu! Bila kau malu sehingga tak berani pulang … berikan Bapak petunjuk Nak! Tak ada yang boleh menyakiti mu selagi raga tua ini masih bernyawa.” Langkahnya tergesa-gesa, ingin segera melaporkan.
“Nak, jangan malu. Kau bukan aib, tapi anugerah terindah dari Tuhan. Ayo, Witri tunjukkan keberadaan mu. Bapak jemput Nak!”
Sampai di mana pada semak-semak tumbuhan rimbun setinggi orang dewasa, pak Kasman mendengar percakapan yang berhasil mematik amarahnya.
“Tak usah sok-sokan ikut melangkah macam orang gila! Sejauh apapun berjalan, berteriak, dia takkan ditemukan. Sosoknya pasti sudah mati diterkam binatang buas. Apalagi kondisinya mengenaskan setelah kita perkosa dan siksa habis-habisan.” Pendi meluruskan kakinya, dia dan Gandi berteduh di bawah pepohonan pendek yang tertutup oleh tanaman merambat.
Siang ini matahari begitu menyengat kulit, sehingga mereka menyuruh para warga mencari ke lain arah, agar dua manusia biadab itu bisa berleha-leha sejenak.
Slash.
Pak Kasman membacok pepohonan sebesar jempol tangan orang dewasa.
“KEPARAT! MATI KALIAN!!”
Seandainya tidak ditolong oleh Gandi, Pendi pasti terluka parah, dikarenakan parang pak Kasman nyaris membacok lengannya.
Slash.
Lagi-lagi pak Kasman menyerang secara membabi buta, matanya yang menderita rabun dekat tapi belum terlalu parah, ditambah cahaya sinar matahari, membuatnya kesulitan melihat jelas. Apalagi dalam kondisi emosi.
Gandi dengan mudah membekuk sosok tua itu.
Bugh!
Belum sempat pak Kasman berteriak, mulutnya sudah dibekap Pendi. Sementara Gandi menduduki perut pak Kasman.
Hem … heum.
Sekuat tenaga dia berusaha memberontak, menghentakkan kaki sampai tumit sepatu boot-nya mengais-ngais tanah.
Seperti yang dilakukan terhadap Sawitri, Gandi pun mencekik pria tua itu sampai kehilangan kesadaran, tak lagi bergerak.
‘Nak, bila kau masih hidup. Balas mereka! Nyawa harus dibayar nyawa! Hilangkan sifat naifmu. Matikan hati nurani, jadilah iblis kematian bagi manusia biadab ini!’ setetes air mata mengalir dari sudut mata pak Kasman, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Setelah memastikan pak Kasman sudah tak lagi bernyawa, baru Gandi turun dari atas tubuhnya.
“Kau awasi keadaan sekitar!” titahnya tenang, ekspresi wajah datar, sedikitpun tak ada raut bersalah apalagi penyesalan.
Pendi berdiri, membenahi pohon-pohon tumbang yang tadi dibacok oleh pak Kasman, agar terlihat seperti semula. Dia memimpin jalan sampai pada bagian sungai terdalam.
Gandi memanggul tubuh kurus itu, lalu melemparkannya ke dalam sungai yang airnya mengalir deras.
Kemudian dua orang pemuda berhati iblis itu berjalan santai mencari keberadaan rombongan warga.
***
Prang!
Sawitri melempar bokor, menghantam tiang penyanggah atap.
“Katakan padaku! Macam mana caranya membunuh mereka! Ayo katakan!!”
Hilang sudah rasa takutnya, yang ada amarah, dendam. Sawitri turun dari amben, berlari kencang mendekati sosok mengerikan, mengguncang kuat kedua lengan berdaging berbau busuk.
“Kau pasti tahu caranya bukan?! Beritahu apa yang harus kulakukan! CEPAT!!”
Kunti membelai wajah bersimbah air mata, menatap nyala amarah di mata memerah. “Kau yakin ingin membalas mereka …?”
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....