"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 06 - Si Paling Misterius
Perlahan, Mutiara mulai merasa ragu.
Mungkinkah hari ini Reyesh justru tidak datang ke perpustakaan? Tidak seperti gosip yang dibincangkan Zeeva dan Allyna.
Atau mungkin, si jenius itu sudah pulang lebih awal sebelum aku datang ke tempat ini? Gumam Mutiara dalam hati.
Tak ingin menyerah begitu saja, Mutiara kembali ke bagian tengah perpustakaan.
Kali ini, ia nekat dan memutuskan untuk bertanya kepada siapapun, termasuk beberapa mahasiswa maupun mahasiswi yang sedang sibuk dengan tugas mereka.
Namun, jawaban mereka semua hampir sama, yaitu tidak ada yang benar-benar mengenal Reyesh secara langsung. Bahkan saat Mutiara menunjukkan sebuah foto.
Beberapa mengatakan, bahwa mereka hanya pernah mendengar namanya, tapi tidak tahu persis orangnya yang mana. Pengunjung perpustakaan pun beraneka ragam dan tidak menentu.
Semakin lama, rasa kecewa mulai merayapi hati Mutiara. Ia datang dengan penuh semangat, tapi sejauh ini, hasilnya nihil. Hatinya kecewa.
Akankah Mutiara berhasil menemukan Reyesh sang jenius dan misterius?
Waktu berputar, terus berlalu, berdetak dan berdetik cepat sekali. Pengunjung perpustakaan berangsur sepi. Mahasiswa mulai beranjak pulang satu per satu, meninggalkan meja-meja kosong yang sebelumnya penuh dengan buku dan laptop masing-masing.
Mutiara melirik jam tangannya dan menyadari bahwa perpustakaan sebentar lagi akan tutup. Ini sudah jam tujuh malam. Hampir dua belas jam ia rela menunggu sosok Reyesh.
Mutiara masih berharap Reyesh tiba-tiba muncul entah dari mana, tapi harapan itu semakin menipis. Dengan berat hati, ia memilih untuk duduk di salah satu kursi kosong depan pintu masuk dan keluar, sehingga ia bisa melihat siapapun yang berlalu lalang.
Mutiara menunggu hingga orang terakhir keluar. Mungkin, hanya dengan cara tersebut, ia bisa memastikan bahwa Reyesh pasti akan muncul... atau, benar-benar tidak berkunjung ke perpustakaan hari ini.
Beberapa menit berlalu, tanpa sadar, ia terlelap. Mengabaikan pengawasannya. Jika mau bersabar, ia seharusnya bisa melihat seluruh mahasiswa yang keluar hingga pengunjung terakhir. Padahal, saat itu hanya tersisa beberapa mahasiswa di dalam perpustakaan.
Mereka tampak terburu-buru membereskan barang-barang sebelum petugas meminta keluar. Mutiara semakin terlelap. Kemauan kerasnya yang menolak untuk pergi sebelum benar-benar yakin, bahwa Reyesh akan muncul entah dari mana.
Namun, hingga lampu-lampu mulai dimatikan satu per satu, ia tetap tidak menemukan sosok jenius yang dicari.
Saat area perpustakaan hampir sepenuhnya kosong, seorang petugas mendekati Mutiara dan membangunkannya dari tidur lelap itu,
"Maaf, Nak, perpustakaan akan segera tutup." katanya dengan lembut sambil menepak bahu Mutiara berkali-kali.
Sontak, Mutiara langsung terbangun dan panik. Ia lalu menghela napas panjang dan mengangguk pelan, "Baik, Pak. Terima kasih," ujarnya, lalu segera bangkit dari kursinya.
Mutiara sangat kesal, mengapa ia tak kuasa menahan kantuk disaat terakhir. Padahal, sisa 30 menit saja, bisa jadi ia menemukan sosok Reyesh.
Mutiara berjalan perlahan menuju pintu keluar, masih dengan rasa kecewa yang menyelimuti hatinya. Semua usahanya hari ini terasa sia-sia. Sebelas jam terbuang tanpa ada hasil.
Begitu keluar dari kawasan perpustakaan, Mutiara menengadahkan kepala, menatap langit malam yang mulai gelap sempurna. Angin malam berhembus pelan, menyapu setiap helai rambutnya yang sedikit berantakan.
Ia merasa sangat frustrasi, karena tidak berhasil menemukan Reyesh, tapi ia juga tidak ingin menyerah begitu saja. Besok, Mutiara berjanji pada dirinya sendiri, akan kembali ke sini lebih awal dan mencoba lagi.
Tidak mungkin seorang mahasiswa yang selalu berada di perpustakaan bisa begitu sulit ditemukan, bukan? Gumamnya, sekaligus mempertebal rasa percaya diri.
Namun, saat ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh. Seorang pria tinggi dengan mengenakan hoodie hitam, terlihat sedang berdiri tak jauh dari pintu perpustakaan.
Pria asing itu bersandar di dinding, dan menatap ke arahnya dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya sebagian tertutup bayangan, tapi matanya terlihat tajam dan penuh pengamatan melihat dirinya. Tanpa bergeming. Mutiara menelan ludah, merasa jantungnya berdebar kencang dan sangat aneh.
Apakah itu… Reyesh? Ataukah hanya seorang mahasiswa biasa yang kebetulan berada di sana? gumamnya penuh rasa khawatir dan penasaran.
Mutiara masih berdiri pada posisinya dan diam, ragu apakah ia harus menghampiri pria itu atau tidak. Namun, sebelum dirinya sempat mengambil keputusan, pria itu berbalik dan melangkah pergi, menghilang ke dalam gelapnya malam.
Mutiara menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi rasa penasaran yang semakin membara. Jika pria itu memang Reyesh, mengapa ia tidak berada di perpustakaan seperti biasanya? Atau… apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi?
Mutiara segera menepis perasaan dan prasangka aneh dari pikirannya.
Mutiara akhirnya memberanikan diri untuk melangkah perlahan, melewati koridor kampus yang sunyi. Suasana malam yang sepi, membuatnya tambah merinding. Lampu-lampu redup di sepanjang lorong, belumlah cukup untuk menghilangkan kesan suram tempat itu.
Setelah gagal menemukan Reyesh di perpustakaan, ia memutuskan untuk pulang, tapi kini ia menyesali keputusannya, yaitu nekat berjalan sendirian.
Langkah kakinya menggema di antara dinding, menambah kesan mencekam yang semakin membuatnya gelisah. Rasa takut itu, memaksa langkah kakinya semakin cepat.
Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada siapa pun yang mengikutinya. Namun, entah mengapa, perasaan aneh mulai merayapi dirinya, seolah ada beberapa pasang mata yang mengawasi dari dalam kegelapan. Mutiara menelan ludah, kembali mempercepat langkah dari sebelumnya, berharap segera keluar dari area ini.
Saat hampir mencapai ujung koridor, suara tawa pelan terdengar dari sudut gelap di depan sana. Jantung Mutiara berdegup kencang saat melihat tiga orang pria tiba-tiba muncul dari bayangan, menghadangnya dengan senyum buas yang membuatnya tidak nyaman.
Mereka tampak seperti mahasiswa senior, pikirnya, dengan wajah garang yang menunjukkan ekspresi penuh kesenangan. Seolah, mereka semua telah menemukan hiburan dan mangsa baru. Salah satu dari mereka, yang paling tinggi, bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada, tatapannya menelusuri tubuh indah dan ideal Mutiara.
"Sendirian aja nih, cantik? Kenapa nggak minta ditemani?" ucapnya dengan nada merayu dan mengejek. Dua temannya tertawa kecil, menambah rasa takut yang mulai menjalar di sekujur tubuh Mutiara.
Mutiara melangkah mundur, berharap bisa menghindari mereka bertiga, tapi jalan kaburnya kini sudah terhalang.
"Kalian semua, minggir! Gue nggak butuh teman." jawab Mutiara dengan tegas dan ketus, meski suaranya bergetar.
Salah satu dari mereka, pria dengan jaket hitam, melangkah mendekati Mutiara. Ia menatapi dengan seksama bidadari kampus itu, dengan tatapan penuh arti.
"Jangan gitu dong, sayang. Kita cuma mau ngobrol sebentar aja. Ya? Boleh dong!" katanya, suaranya dibuat selembut mungkin, tapi justru terasa ancaman yang sangat mengerikan untuk Mutiara.
Mutiara paham, jika dirinya kini berada dalam bahaya. Ia sudah memikirkan kemungkinan terburuk, jika disergap oleh ketiga mahasiswa senior itu.
Mutiara mundur selangkah lagi, merapat ke dinding, berusaha mencari cara untuk kabur. Namun, pria yang bersandar di dinding tadi segera bergerak, menutup celah sempit yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri.
"Hush... ckckck! Mau ke mana? Malam ini sepi kok, sayang. Tenang aja. Nggak akan ada yang bakal lihat atau dengar apa pun dari teriakanmu!" bisik pria ketiga yang berdiri di belakang. Mutiara mencengkeram tali tasnya erat-erat, pikirannya berputar mencari cara untuk keluar dari situasi ini.
Mutiara sudah pasrah, butir keringatnya berjatuhan satu persatu, cepat sekali.
Bersambung......