"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SILAHKAN AMBIL SAJA SEMUA NYA
Petir menyambar, Guntur pun saling bersahutan.
Riuh terdengar di atas sana seolah sedang mengiringi gemuruhnya dada yang tak kunjung mereda.
Aku terus tergugu di bangku belakang, setelah sopir baik ini menganggukkan kepala mengijinkan.
Lalu ponsel yang ia letakkan di hadapan dan ia gunakan untuk melihat arah tujuan pun berpendar. Ia meraihnya.
"Iya saya juga sedang berusaha mencari, cuma ada sedikit kendala. Nanti saya ke sana. Naikkan seperempat dari sebelumnya saja," sayup kudengar, ia sedikit bersi tegang dengan seseorang di seberang telepon.
"Jangan main hp, Pak. Saya belum mau mati," ujarku terisak-isak. Meskipun tak begitu jelas karena suara hujan cukup keras, tapi, aku tahu dengan pasti, sopir dengan topi hitam, masker hitam dan kaca mata hitam itu sedang menerima panggilan dari seseorang yang bisa saja petir menyambar kami jika diteruskan.
Ia kemudian meletakkan kembali ponsel di atas dashboard dengan sedikit melempar, setelah mematikan dayanya. Setelah itu, ia kembali fokus mengemudi tanpa sepatah kata.
Tampaknya dia sedang ada masalah, mungkin masalah hutang yang sedang ia usahakan untuk melunasi makanya dengan kondisi hujan selebat ini dan dengan uang yang kuberikan tadi, dia mau mengantar meskipun jarak lumayan jauh.
Kasihan juga, tapi aku lebih kasihan. Masalahku bukan sekedar masalah hutang yang bisa dicari lalu dibayar, namun masalah batin yang bisa saja aku mati bunuh diri kalau iman tak sekuat ini.
Mobil terus melaju, air mataku terus keluar. Lalu tanpa diduga sebelumnya, satu boks tissue beserta air mineral ia berikan padaku.
Perlahan aku mengambilnya. "Makasih." Segera aku meneguknya, entah karena sudah terlalu banyak mengeluarkan cairan berupa air mata atau memang belum sempat minum saat diusir tadi, yang jelas tenggorokan ini rasanya sudah kering keronta.
"Masih lama, nggak, Pak?"
"Hem."
"Bapak nggak pake map nggak nyasar?"
Ia menggelengkan kepala. Aku pun mengangguk percaya.
Perjalanan berlangsung cukup lama, bahkan hingga aku lelah meratapi nasib, perjalanan belum juga sampai. Kabut di depan sana membuat kabur pandangan. Sehingga aku pun sulit untuk mengenali apakah ini sudah masuk daerahku atau belum.
Mata yang sudah beberapa hari tak bisa terpejam pun mulai terasa berat setelah hampir satu jam aku menangis di dalam sini. Namun, aku terus menahan karena rasa takut akan diculik atau dilecehkan oleh sopir saat aku terlelap tentu terselip sebagai seorang wanita normal.
Tepat saat mobil memasuki gapura kampung hujan pun mulai reda dan menyisakan gerimis yang tak seberapa.
Namun, mobil tiba-tiba, melambat dan berhenti sebelum aku sampai di depan rumah. Tepatnya berhenti di depan kantor desa.
"Kok, berhenti?"
"Kehabisan bahan bakar," ujar sopir seraya memeriksa spidometer.
"Ya udah, Pak, saya turun sini aja. Rumah saya sudah deket. Sekitar lima ratus meter dari sini, ada pom mini. Ambil ini, Pak untuk beli bensin. Terimakasih sudah mengantar," kuserahkan satu lembar uang seratus ribuan, lalu aku bergegas keluar setelah mengucap terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam.
Rintik hujan menyambut kedatanganku di kampung rambutan, kampung yang sudah lama aku tinggalkan. Aku melangkah cepat dengan tas yang kuletakkan di atas kepala untuk melindungi kepala agar tidak basah. Aku tipe orang yang gampang sekali terkena flu jika terkena air hujan.
Senyumku akhirnya bisa melengkung saat aku bisa menghirup udara segar yang begitu aku rindukan, aroma tanah terguyur air hujan begitu kuat menyapa indera penciuman.
Setelah berjalan beberapa ratus meter, aku pun akhirnya memasuki gang di mana aku tinggal. Tak ada tetangga atau orang yang terlihat meski hanya di teras rumah. Mungkin karena hujan turun cukup lebat sebelumnya, sehingga mereka memilih untuk berdiam diri di dalam rumah.
Langkah ini semakin ringan ketika aku sudah lebih dekat dengan rumah. Terlihat bangunan kokoh dua lantai dengan cata dan gaya yang aku impikan berdiri di hadapanku. Namun, aku harus tercekat kala melihat apa yang terjadi pada bangunan di sampingnya. Rumah Bude. Kakiku tak bisa lagi bergerak, aku terpaku, menatap pemandangan menakutkan di hadapanku. Lalu aku mencubit lengan ini untuk menegaskan, bahwa apa yang aku lihat hanya mimpi. Tapi, nyatanya cubitan ini terasa sakit olehku.
"Zahra ... Bude...," teriakku berlari ke arah puing-puing bangunan yang sudah menghitam.
"Bude!" Aku terus berlari dengan derai air mata yang membanjiri.
"Neng, Maira." Suara seorang perempuan terdengar begitu kuat memanggil namaku, namun, aku tak menghiraukan. Aku terus berlari menuju puing-puing
bangunan dengan berbagai pertanyaan dan dada yang semakin sesak.
"Neng! Berhenti, Neng. Bahaya." serunya lagi, tapi langkahku semakin cepat berlari. Yang ada dalam benakku saat ini hanya tentang Bude dan Zahra.
"Neng!"
Sebuah tangan mencekal pergelangan tanganku lalu menarik tubuhku dalam dekapannya. Aku terpaksa harus melangkahkan kaki.
"Bude... Zahra!" teriakku dalam rengkuhan Bu Sarah. Ya, yang memanggil dan menghentikan aku adalah Bu Sarah. Istri dari kepala desa di tempat ini.
"Neng, sabar, Neng."
"Apa yang terjadi, Bu? Apa yang terjadi? Di mana Zahra dan Bude Maira?" tanyaku dengan air mata yang terus mengalir deras. Aku bertanya dengan tangan yang terus mencoba untuk lepas dari Bu Sarah.
"Di mana mereka, Bu, jawab Maira?!" desakku karena jawaban tak kunjung keluar dari mulut Bu Sarah.
"Tenang, Maira, tenang. Kalau kamu nggak mau tenang bagaimana bisa ibu menjelaskan, Neng."
"Jelasin sama saya, Bu."
"Duduk, duduk dulu. Mari, Neng. Hujan mau turun lagi, nanti Neng sakit." Ia berujar seraya menuntunku menuju pos kamling yang berada tak jauh dari rumah
kami untuk berteduh. Aku hanya bisa menurut, rasanya tubuhku sudah tidak bisa lagi berdiri dengan tegak. Aku sudah tak bisa lagi menopang tubuhku sendiri. Lemas.
"Maira mau Zahra dan Bude, Bu. Di mana mereka?"
tanyaku dengan suara semakin lemah seraya menatap kosong ke arah bangunan yang sudah tak tersisa itu.
"Zahra sudah di bawa ke rumah sakit. Insyaallah akan baik-baik saja karena sudah ditangani. Tadi, orang yang bawa Zahra baru aja pergi setelah tanya apa ada keluarga yang bisa dihubungi selain Neng, atau mungkin ada keluarga yang pulang karena Zahra terus mencari keluarganya. Kalau Ibu tahu kamu pulang, pasti ibu bawa orang itu ketemu kamu sebelum pergi. Meski terlihat sibuk, tapi orangnya sangat baik, Neng. Jangan khawatirkan Zahra."
Ada rasa hangat dan sedikit lega mendengar semua yang ia katakan tentang Zahra.
"Lalu, Bude saya gimana?"
Seketika ia terdiam, wajahnya berubah pasi. Dadaku pun semakin tak karuan melihat wajah yang berubah dalam waktu sekejap hanya karena mendengar pertanyaan dariku tentang keadaan Bude.
"Bu ...." Lirih aku mencoba untuk kembali bertanya dengan menggoncang pelan pundaknya.
"Bu Ayu ...." Ucapannya terjeda, bahkan sekarang wajahnya tertunduk dalam. Pikiran ini pun terus meraba apa yang sebenarnya terjadi.
"A-apa terjadi sesuatu sama Bude saya?!"
Dengan
terbata aku menguatkan diri untuk bertanya lagi. Meskipun sesak di dada semakin mendera saat berbagai pikiran buruk terus masuk ke dalam kepala.
"Bu Ayu meninggal dalam kebakaran itu, karena kami hanya bisa menyelamatkan Zahra."
Bu Sarah kemudian tergugu, sedangkan aku seolah mati berdiri mendengar penuturan itu. Air mataku tak lagi bisa keluar, aku seolah mati detik ini juga. Jantungku pun seolah berhenti berdetak. Rasa sakit ini tak bisa aku gambarkan, bahkan air mata darah pun tak bisa menggambarkan kesedihanku saat ini.
"Kenapa? Kenapa nggak ngasih tahu saya, dia adalah ibu bagi saya?!" tanyaku pelan. Bahkan, hampir tak terdengar.
"Kenapa nggak kasih tahu saya!"
bentakku pada akhirnya, diikuti derai air mata yang kembali menganak sungai. Aku beringsut di tanah memukul dan meremasnya kuat-kuat sebagai bentuk pelampiasan atas amarah.
"Maira, sudah, Mai."
Bu Sarah ikut beringsut dan memegang kedua pundakku dengan setengah memeluk.
"Ya, Tuhan, kenapa Kau mengambil semua milikku? Masih kurangkah semua Tuhan?! Sehingga Kau tega mengambil satu-satunya orang yang kusayangi lagi? Kurang apa tuhan?! Kenapa tidak Kau ambil sekalian nyawaku? Perintahkan petir itu untuk menyambar Maira yang sudah Kau renggut semua dariku!"
"Maira, jangan seperti ini Maira .." Bu Sarah
Mencoba menenangkan meski air matanya tak bisa ia bendung.
"Biar saja, Bu. Setiap hari aku berdo'a, setiap malam aku mengiba. Semua aku jalankan sesuai perintah-Nya. Lalu seperti ini Dia menjawab semua!"
Aku terus meraung dan berteriak. Tak peduli orang menganggapku kesurupan atau gila. Nyatanya, aku memang telah dibuat gila oleh nasib yang sungguh sangat sialan. Para tetangga mulai berdatangan mendengar teriakanku, ada yang berbisik dan tak jarang pula yang menyeka air mata seolah tergerus hatinya mendengar tangisanku. Jika orang lain saja menangis melihat nasibku, lalu bagaimana denganku? Salahkah jika saat ini aku menyalahkan Tuhan yang selama ini kuletakkan di tempat tertinggi di setiap kehidupanku?!
"Kenapa tidak ada satu pun yang menghubungi saya?!"
Kembali, aku bertanya dengan amarah yang menggebu setelah melampiaskan semua emosiku.
"Nak Maira, sebetulnya kami sudah berkali-kali menghubungi. Tapi ponsel Nak Maira mati. Kami juga sudah menghubungi Nak Pandu sejak tiga hari yang lalu. Bahkan, sampai hari ini kami berusaha menghubungi. Tapi, Nak Pandu tidak mau menerima. Pesan kami pun tidak kunjung dibaca olehnya. Kami bingung harus bagaimana lagi, akhirnya Dokter Sean memutuskan untuk mengebumikan Bu Ayu secepatnya,"
ujar seorang lelaki padaku, jika tidak salah dia adalah salah satu petugas kantor desa di tempat ini.
"Pandu!" teriakku dengan tangan terkepal kuat.
"Kalau Nak Maira nggak percaya, datanglah ke rumah sakit. Di sana temui saja Dokter Sean. Dia yang sejak kemarin mencari keberadaan Nak Maira, karena Zahra terus mencari kamu di sana, Nak."