Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Saat ketukan kedua terdengar, Jovita mengerjap pelan. Ia menahan napas sesaat sebelum menghembuskannya perlahan.
“Itu pasti Sena,” gumamnya.
Devan langsung menoleh, alisnya bertaut. “Siapa Sena?”
“Teman kerjaku.” Tanpa ragu, Jovita berdiri. Gerakannya santai, seolah apartemen itu sudah jadi wilayah kekuasaannya sejak lama. Ia membuka pintu dengan tenang.
“Hai…” suara Sena terdengar pelan, hampir ragu, ketika pintu terbuka.
“Masuk,” ujar Jovita sambil memberi ruang.
Sena melangkah masuk. Tatapannya berkeliling, mengamati apartemen kecil itu. Lalu pandangannya berhenti pada Devan.
“Bukti aku gak bersalah ada di dia,” kata Jovita sambil mengangguk ke arah Sena. Devan hanya menghela napas, menerima sikap seenak hatinya itu.
Sena tersenyum kikuk ketika akhirnya menatap Devan. “Ini temanku yang kuceritakan,” ucap Jovita lagi, baru teringat ia belum memperkenalkan mereka.
Mereka bertiga akhirnya duduk di ruang tamu, memilih duduk di lantai agar lebih leluasa.
“Jadi, kamu saksi kasus ini?” tanya Devan. Suaranya lebih rendah, lebih serius.
Sena mengangguk, tapi kegelisahannya jelas terlihat. Ia duduk gelisah, kakinya mengetuk-ngetuk lantai tanpa sadar. Sejak perjalanan ke sini tadi, sebenarnya ia sudah ingin ke toilet, tapi terus ditahan.
“Boleh aku numpang toilet dulu?” tanyanya akhirnya, suaranya sedikit menahan urgensi.
Devan terdiam sejenak. Ada rasa aneh yang merayap tanpa alasan jelas. Selama ini, tak ada yang memakai toiletnya selain ibunya ketika berkunjung. Kini, seseorang yang bahkan baru ia temui beberapa detik lalu masuk begitu saja. Tidak ada rahasia yang perlu ia sembunyikan, tapi tetap saja… rasanya janggal.
“Silakan. Ada di sana,” ucap Devan akhirnya, suaranya datar sambil menunjuk ke arah lorong.
Begitu Sena melangkah cepat menuju toilet, Devan menoleh pada Jovita dengan tatapan yang sedikit menusuk.
“Kenapa membawa dia ke sini?” bisiknya rendah, memastikan suaranya tak terdengar sampai ke ujung lorong.
“Dia satu-satunya yang bisa ambil bukti dari komputer Arum. Dan aku cuma bisa ketemu dia setelah jam kerja,” jawab Jovita dengan nada sama pelannya.
Devan hanya menghela napas, pasrah dan setengah kesal.
Ia akhirnya bangkit dan berjalan ke dapur. Bunyi kecil panci dan gelas bersentuhan mengisi suasana, sementara ia menyiapkan minuman untuk tamunya.
“Punyaku jangan terlalu manis,” celetuk Jovita tiba-tiba dari ruang tamu.
Devan menghentikan gerakannya sejenak, menatapnya dengan wajah malas yang jelas tidak ia sembunyikan. Tapi pada akhirnya ia tetap menuruti, mengambil gula lebih sedikit dari biasanya. Karena meski menyebalkan, perempuan itu tetap ia layani tanpa sadar.
Tak lama kemudian Sena keluar dari toilet, langkahnya ringan namun wajahnya masih tampak sedikit canggung. Devan masih di dapur, sibuk mengaduk gelas-gelas jus jeruk. Sena mendekat ke Jovita dan menundukkan suara.
“Kamu udah kenal lama sama dia?” bisiknya penasaran.
“Hm. Dari SMA,” jawab Jovita santai, seolah itu hal biasa.
Sena mengangguk pelan.
Tak lama Devan kembali, membawa tiga gelas jus jeruk dingin. Ia meletakkannya di meja dengan gerakan ringkas. Tiga gelas itu tampak sama persis.
“Punyaku yang mana?” tanya Jovita sambil mengamati ketiga gelas itu.
“Gak ada punyamu. Semuanya sama,” jawab Devan, malas dan jelas tidak berniat meladeni drama kecil itu.
“Kan udah kubilang jangan manis-manis buatku,” sahut Jovita sedikit meninggi, seolah keluhan itu sangat krusial.
Devan menatapnya, mata sedikit membelalak. Sementara di samping mereka, Sena hanya bisa melihat keduanya bergantian, bingung sekaligus terhibur oleh dinamika yang tak pernah ia bayangkan.
Devan akhirnya menarik napas panjang, mencoba menahan nada yang mulai ingin naik. Ia mengambil toples gula di dapur, membawa kembali dan menunjukkannya.
“Itu sebabnya aku bawa ini,” katanya tenang namun tegas. “Masukin sendiri gulanya.”
Jovita mendecih pelan, bibirnya manyun singkat.
Sena hampir menahan tawa. Selama enam tahun bekerja dengan Jovita, ia belum pernah melihat sisi ini. Biasanya Jovita tampil seperti wanita dewasa yang sudah mantap, rapi, tenang, dan selalu menjaga kata-kata, apalagi di depan Adam. Namun bersama Devan, ia terlihat seperti remaja yang lagi adu argumen receh dengan sahabat masa kecilnya.
Untuk mengalihkan suasana, Sena segera mengambil laptop dari tasnya. Gerakannya cepat, seolah ia sudah tidak sabar menunjukkan apa yang dibawanya.
“Kalian butuh lihat aktivitas Arum, kan?” katanya sambil menyalakan laptop tersebut.
“Laptop ini dari perusahaan. Semua pekerjaan harusnya tersimpan di sistem. Kalau masuk pakai ID Arum, kita bisa lihat apa yang dia kerjakan. Termasuk prototipe itu,” jelasnya dengan nada yakin.
Devan mengangguk, mulai memahami alurnya. Namun sebuah pertanyaan muncul di benaknya.
“Terus ID-nya? Kamu tahu?”
Jovita refleks menatap Sena, matanya membesar penuh harap.
Sena hanya tersenyum kecil, lalu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan secarik kertas yang tampak terlipat rapi. Kertas itu berisi ID dan password Arum. Jovita membelalak, lalu tersenyum puas, seolah semua beban di bahunya jatuh di tempat.
“Aku mengamati dia seharian ini. Orang itu gak terlalu perhatian sama sekitarnya,” ujar Sena, ada sedikit nada bangga yang tersembunyi. Jovita langsung mengacungkan jempol, ekspresinya benar-benar bangga seolah Sena dapat penghargaan.
Tanpa menunggu lebih lama, mereka bertiga langsung masuk ke sistem perusahaan menggunakan ID Arum. Data demi data muncul di layar, email masuk dan keluar, jadwal meeting, hingga folder pekerjaannya. Tepat yang mereka cari.
Begitu file prototipe muncul, lengkap dengan tanggal pembuatan dan terakhir kali diedit, fakta itu terpampang jelas. File itu baru diunggah setelah satu bulan sejak Jovita membuatnya.
“Tuh kan,” seru Jovita tiba-tiba, membuat Devan refleks menjauhkan telinganya. “Udah pasti dia plagiat,” lanjutnya dengan wajah memerah karena emosi. Ia kemudian menatap Devan penuh tuntutan. “Dia harus dituntut atas plagiarisme.”
“Oke, oke. Tenang dulu. Kenapa heboh banget?” ucap Devan, mencoba meredakan energi yang tiba-tiba melonjak tinggi itu.
Sementara Sena hanya bisa menonton, bingung antara ingin ikut tegang atau ikut tertawa melihat keduanya.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang terasa padat. Jovita masih berusaha menenangkan napasnya, menunduk sejenak untuk meredam emosi yang baru saja meledak.
“Tapi…” suara Sena akhirnya memecah keheningan. Seketika dua pasang mata langsung menatapnya.
“Kalau dia plagiat milikmu, kenapa produk itu dapet banyak keluhan?”
Pertanyaan itu sederhana tapi tepat sasaran.
“Dia… pakai bahan yang lebih murah,” jawab Jovita pelan, suaranya terdengar getir seolah menyembunyikan rasa kecewa yang sudah lama ia pendam.
“Apa?” Sena tampak benar-benar terkejut. Ia memang tidak tahu. Arum selama ini sangat pandai menutupi jejak, dan para atasan pun membiarkan seluruh masalah tersembunyi di balik meja rapat.
“Itu sebabnya kamu bilang ada praktik korupsi?” tanya Devan, mengingat kembali ucapan Jovita dua hari sebelumnya.
Jovita mengangguk pelan, wajahnya tegang.
“Kalau begitu bukannya Adam juga harus diperiksa? Dia yang nyusun anggarannya,” kata Sena, membuka kemungkinan lain.
“Pasti dia harus diperiksa. Tapi aku gak bisa lakuin ini sendirian,” jawab Devan, nada suaranya mulai berubah lebih tegas dan terarah. Jovita menoleh, sedikit mengernyit, berusaha memahami maksudnya.
“Aku akan memeriksa rekening mereka. Kalau memang benar ada korupsi, pasti akan tercatat di riwayat transaksi mereka,” lanjut Devan.
Setelah merasa cukup membahas kasus malam itu, Sena pamit pulang. Beberapa menit kemudian, Jovita juga menyusul. Begitu pintu tertutup, apartemen Devan terasa jauh lebih luas dan hening.
Devan kembali ke dapur, mencuci gelas-gelas yang tadi mereka gunakan. Suara air mengalir memenuhi ruangan, namun pikirannya tidak berada di sana. Ia terus memutar kejadian malam itu dalam benaknya. Awalnya ia mengira ini hanya plagiarisme sederhana, masalah kantor biasa. Tapi semua yang diungkapkan Sena dan Jovita menunjukkan sesuatu yang jauh lebih gelap.
Helaan napas panjang lolos dari bibirnya. “Kalau pria itu terlibat, berarti Jovita udah bertunangan sama bajingan,” gumamnya pelan. Ada nada getir yang terdengar jelas. Anehnya, ada sedikit kelegaan juga saat mengingat bahwa Jovita sudah memutuskan hubungannya.
Setelah ruang tamu dirapikan kembali, Devan berjalan menuju kamarnya. Begitu pintu tertutup, bayangan tentang Jovita kembali memenuhi kepalanya. Entah karena iba atau sesuatu yang lain yang lebih rumit, ia mendapati dirinya ingin memastikan keadaan perempuan itu malam ini. Sekadar tahu bahwa dia baik-baik saja.
Ia merebahkan tubuhnya di kasur. Tatapannya kosong menembus langit-langit yang polos tanpa hiasan. Hening menguasai ruangan, hanya terdengar suara napasnya sendiri, detik jam yang pelan, dan dari jauh, suara sirine yang melintas.
“Ah, ambulans itu,” gumamnya kesal, alisnya berkerut. Suara itu memotong lamunannya.
Entah kenapa, suara ambulans yang mondar-mandir selalu menanamkan pikiran buruk di benaknya. Sejak kecil, otaknya membentuk asosiasi aneh: setiap kali sirine terdengar, selalu ada gambaran bahwa salah satu keluarganya ada di dalamnya. Bukan karena pernah mengalami kejadian buruk, hanya kebiasaan yang tumbuh menjadi refleks. Sirine berarti musibah. Dan musibah berarti orang yang ia sayangi dalam bahaya.
Meski begitu, ia tetap ingin memastikan, membuktikan bahwa pikirannya hanya berlebihan. Tangannya terulur, meraih ponsel di samping bantal. Aplikasi pesan terbuka. Dan bukannya mencari nama ibunya atau adiknya, yang ia cari pertama kali justru nama Jovita.
Jarinya bergerak cepat, hampir terburu-buru, mengetik pesan pendek:
-udah sampe?-
Layar ponselnya tetap menyala, menampilkan pesan yang tadi ia kirim. Lama ia menatapnya, menunggu tiga titik kecil muncul, tanda bahwa Jovita sedang mengetik. Tapi yang ia dapat hanya hening. Akhirnya ia meletakkan ponsel itu kembali di samping bantal.
Beberapa menit kemudian, getaran pendek muncul. Balasan singkat:
-udah.-
Devan mengembuskan napas pelan, lega tanpa bisa menjelaskan kenapa. Senyum samar terbit di sudut bibirnya, hangat dan kecil, lalu ia kembali meletakkan ponselnya.
Baru saja ia memejamkan mata, ponselnya bergetar lagi. Bertubi-tubi, sampai ia tidak bisa mengabaikannya. Ia mengambilnya dengan kesal dan rasa kesalnya langsung berubah jadi pasrah begitu melihat nama yang muncul: Dania.
Pesan pertama muncul:
-aku nemu ini di kamarmu. Kameranya masih berfungsi-
Pesan itu disertai foto kamera digital tua. Kamera milik Devan waktu sekolah, kamera yang ia kira sudah rusak sejak lama. Ternyata masih bisa hidup.
Devan mendengus kesal. “Kenapa dia masuk-masuk ke kamarku?” gumamnya, suaranya parau.
Pesan lain masuk dengan cepat.
-tapi siapa perempuan ini? Mukanya gak asing-
Dania mengirimkan beberapa foto. Devan mengernyit, memperbesar salah satu gambar. Detik berikutnya matanya membelalak. Ia spontan bangkit duduk, punggungnya tegak, jantungnya terasa berhenti sesaat.
Di layar, wajah seorang perempuan muncul dari bidikan lamanya. Wajah yang sangat ia kenal.
“Sejak kapan aku motret dia sebanyak ini?” pikirnya terpaku, terheran, dan entah kenapa sedikit panik.
Foto berikutnya muncul, lalu pesan:
-masih ada banyak. Kamu suka dia?-
Devan terkekeh kecil, antara tak percaya dan malu. Ia bahkan lupa pernah mengambil foto-foto itu. Ia menatap layar lama, hening. Di dadanya, ada sesuatu yang bergerak, seperti baru terbangun setelah bertahun-tahun tidur.
Pelan, tanpa ia sadari, senyum samar muncul di bibirnya. Jantungnya berdebar, ritmenya kacau tetapi hangat. Matanya kembali menatap foto perempuan itu, lebih lama kali ini.
To be continued