Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIVIA JATUH SAKIT, MATEO TIDAK PERDULI
Seharian ini, Livia tak bisa fokus mengerjakan pekerjaan rumah. Tangannya bergerak, tetapi pikirannya terus melayang pada Ratna, satu-satunya orang yang ia anggap keluarga. Wajah tua dan senyuman hangat ibu angkatnya itu terus terbayang di benaknya, membebani hatinya dengan rasa bersalah dan ketakutan.
Bagaimana caranya ia mendapatkan uang untuk biaya pengobatan? Di mata orang luar, ia adalah istri dari seorang CEO muda terkaya. Tapi kenyataannya, di rumah ini ia tak ubahnya seorang pembantu yang bekerja tanpa upah, tanpa dihargai, bahkan tanpa kasih sayang.
Livia mondar-mandir di kamarnya, mencari cara, menggali kemungkinan yang rasanya mustahil. Sampai akhirnya, hanya satu nama yang tersisa di benaknya… Mateo. Pria itu bagaikan batu karang yang dingin dan tak tersentuh, tapi di tengah keputusasaannya, harapan sekecil apa pun terasa berharga.
Dengan napas tertahan dan langkah yang berat, Livia berdiri di depan pintu besar ruang kerja Mateo. Jantungnya berdetak kencang. Tangannya sempat terangkat untuk mengetuk, namun kembali turun. Keraguannya semakin menumpuk, membentuk ketakutan yang tak terucap.
"Aku harus mencoba…" bisiknya pelan, menelan ludah dengan susah payah.
Ia berdiri kaku, menatap pintu itu seakan menatap takdir yang bisa menghancurkannya kapan saja.
Dengan napas yang tertahan, Livia akhirnya mengetuk pintu ruang kerja itu, pelan dan ragu.
Tok… tok…
Tak lama kemudian, terdengar suara dingin dari dalam.
"Masuk."
Pintu berderit saat Livia mendorongnya perlahan. Ia melangkah masuk dengan kepala tertunduk, tangannya menggenggam ujung bajunya erat untuk menahan gemetar.
Mateo duduk di balik meja besar dengan laptop terbuka di depannya. Tatapannya sekilas mengarah pada Livia, lalu kembali ke layar.
"Apa kau pikir aku sedang libur? Cepat katakan jika penting," ucapnya tajam tanpa menoleh.
Livia menarik napas dalam. "Saya… ingin bicara mengenai ibu saya, Pak."
Mateo menghentikan ketikannya dan menatap Livia dengan alis terangkat. "Ibu siapa?"
"Ibu Ratna… wanita yang membesarkan saya. Saat ini beliau sedang sakit dan membutuhkan biaya pengobatan." Suaranya bergetar, hampir tak terdengar. "Saya tahu saya tidak berhak meminta apa pun… tapi bisakah Anda membantu saya… hanya untuk kali ini?"
Mateo menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya dingin, nyaris mengejek.
"Jadi sekarang kau datang padaku untuk mengemis, ya?" katanya pelan namun penuh sindiran. "Kau pikir dengan suara lirih dan wajah sedih itu aku akan luluh?"
"Saya hanya ingin menolong satu-satunya keluarga yang saya miliki," jawab Livia, menahan isak.
Mateo berdiri perlahan dari kursinya, lalu berjalan mendekat. Livia menunduk semakin dalam, tubuhnya gemetar saat pria itu berdiri tepat di hadapannya.
"Aku akan bantu," ucap Mateo akhirnya.
Livia mengangkat wajahnya cepat, nyaris tak percaya. "A-apa maksud Anda?"
"Aku bilang aku akan bantu," ulang Mateo dengan nada pelan namun tajam. "Tapi ada satu syarat."
"Syarat?" gumam Livia, suaranya nyaris hilang.
Mateo tersenyum miring lalu menunduk sedikit, menatapnya tajam.
"Bersujudlah padaku sekarang juga, Livia. Tunjukkan kalau kau pantas meminta belas kasihanku."
Livia menatap pria itu dengan mata yang membesar karena terkejut. "Saya…"
"Jika kau ingin aku menyelamatkan ibumu," potong Mateo dingin, "turunkan harga dirimu dan sujud di hadapanku. Sekarang."
Livia berdiri terpaku di tempat. Hatinya menjerit, tapi bayangan wajah Ratna yang lemah di tempat tidur membuatnya perlahan-lahan menekuk lutut. Tangannya gemetar saat menyentuh lantai, tubuhnya bersimpuh dengan mata berkaca-kaca.
Mateo menatapnya dari atas, senyum sinis terukir jelas di wajahnya.
"Bagus. Sekarang kau terlihat seperti yang seharusnya seorang wanita biasa yang tahu tempatnya."
Air mata Livia jatuh, tapi ia tetap diam. Demi Ratna. Demi satu-satunya orang yang menyayanginya.
Mateo berjalan kembali ke kursinya sambil terkekeh pelan, menikmati pemandangan menyakitkan itu seolah melihat lukisan yang sesuai dengan egonya. Ia duduk dengan angkuh, menyilangkan kaki dan menatap Livia yang masih tersungkur di lantai.
"Bangun," ucapnya ringan, tapi tidak terdengar sebagai perintah, lebih seperti ejekan.
Livia perlahan bangkit, wajahnya tetap tertunduk. Pipinya masih basah oleh air mata, tapi ia mencoba menghapusnya sebelum benar-benar berdiri.
"Aku akan transfer uangnya ke rekening rumah sakit. Jangan pikir kau bisa menyentuh uang itu sendiri. Aku tidak ingin kau kabur, atau malah memberikannya untuk hal lain," ucap Mateo tanpa rasa empati sedikit pun. “Kau tahu akibatnya kalau berani macam-macam.”
"Terima kasih, Tuan," lirih Livia, suaranya hampir tak terdengar.
Mateo menyipitkan mata lalu bangkit dari kursinya dan mendekat sekali lagi. Tangannya mengangkat dagu Livia dengan kasar hingga wajah gadis itu terangkat.
"Tapi ingat, Livia," bisiknya dingin, "aku bukan orang baik. Aku bukan pahlawan di kisah hidupmu. Kau mungkin bersyukur hari ini… tapi jangan pernah berharap aku akan berubah."
Setelah mengatakan itu, Mateo melepaskan dagu Livia dan kembali ke meja kerjanya.
"Keluar dari ruanganku. Aku muak melihat wajahmu."
Livia membungkuk sedikit dan melangkah keluar dengan langkah pelan. Pintu ruang kerja tertutup kembali di belakangnya dengan bunyi klik, seakan menegaskan bahwa ruang itu dan hati pria di dalamnya adalah tempat yang tertutup rapat bagi cinta dan rasa iba.
Di luar, Livia berdiri sejenak di balik pintu. Napasnya berat, dadanya sesak, tapi ia mencoba menenangkan diri. Ia berhasil… untuk sekarang. Setidaknya, ibunya akan mendapat pengobatan. Dan itu satu-satunya hal yang membuat rasa sakit di hatinya sedikit tertutupi.
Namun di sudut hatinya yang paling dalam, ia bertanya berapa lama lagi ia bisa bertahan di dalam neraka yang bernama rumah tangga ini?
Dua hari setelah kejadian itu, Livia akhirnya mendapat izin dari Mateo untuk mengunjungi ibunya. Dengan syarat ketat: ia dijemput dan diantar oleh sopir keluarga Velasco, dan tidak boleh lebih dari dua jam berada di rumah sakit.
Mobil hitam berhenti di depan sebuah rumah sakit sederhana. Livia turun perlahan, mengenakan jaket panjang untuk menutupi bekas lebam di lengannya. Ia membawa sebungkus buah dan bunga yang dibelinya dengan sisa uang tabungannya yang semakin menipis.
Langkahnya cepat menuju ruang perawatan. Ketika membuka pintu, ia langsung menemukan sosok Ratna, ibu angkatnya, terbaring lemah namun dengan senyum hangat yang tak pernah berubah.
"Livia… anak ibu," ucap Ratna, matanya berbinar begitu melihat gadis itu.
Livia langsung mendekat dan memeluk sang ibu hati-hati. "Ibu… aku kangen sekali," ucapnya sambil menahan air mata yang hendak tumpah. Tapi ia tersenyum, tetap berpura-pura bahagia, seperti biasa.
"Aduh, lihat kamu sekarang. Tambah cantik, makin kelihatan makmur. Ibu senang lihat kamu bahagia dengan suamimu."
Livia hanya tertawa kecil. "Iya, Bu… aku bahagia kok," katanya sambil membelai tangan ibunya. "Mateo baik, cuma ya… sibuk banget orangnya. Jarang di rumah."
Ratna tersenyum lebar. "Ibu sudah duga, dia laki-laki sukses, pasti sibuk urus kerjaan. Tapi yang penting, kamu dijaga, ya. Jangan buat dia kesal."
Livia mengangguk pelan. "Iya, Bu… aku selalu berusaha jadi istri yang baik."
Padahal di dalam hatinya, ada luka yang begitu dalam. Ia ingin bercerita, ingin memeluk ibunya dan menangis sepuasnya, tapi tidak bisa. Livia tahu jika ia berkata jujur, ibunya akan tambah stres dan kondisinya bisa memburuk. Jadi, ia memilih diam. Berpura-pura kuat. Berpura-pura bahagia.
"Bu, cepat sembuh ya. Nanti kalau ibu udah pulih, kita jalan-jalan bareng. Kita ke taman, atau makan bakso kesukaan ibu."
"Hahaha, ibu suka sekali ide itu," jawab Ratna sambil mencubit pipi Livia gemas. "Tapi kamu jangan repot-repot datang terus ke sini. Ibu nggak apa-apa, yang penting kamu jaga rumah tanggamu, ya?"
"Iya, Bu… aku pasti jaga."
Waktu berjalan cepat, dan dua jam seperti hanya sekejap mata. Sopir keluarga sudah menunggu di luar. Livia pun pamit, memeluk ibunya dengan erat dan senyum yang ia paksa.
"Aku datang lagi nanti ya, Bu," ucapnya pelan.
"Iya, hati-hati di jalan ya, Sayang."
Saat berjalan keluar dari kamar, Livia menunduk dalam. Air mata mengalir tanpa suara. Ia melangkah dengan hati remuk, kembali ke tempat yang disebut rumah, tetapi lebih mirip penjara.
Di perjalanan pulang, Livia mulai merasakan pusing yang tak tertahankan. Mual di perutnya semakin menjadi-jadi, tapi ia berusaha menahan semua gejala itu. Ia tak ingin orang lain tahu, apalagi Mateo. Baginya, semua yang terjadi harus tetap terlihat baik-baik saja di luar, meski hatinya terluka. Setiap kali rasa sakit itu datang, ia menahannya, mengubur segala perasaan dan keluhannya dalam-dalam.
Saat mobil berhenti di depan kediaman Velasco, Livia merasa kepalanya semakin berat. Begitu keluar dari mobil, rasa pusing itu semakin menyiksa, dan sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, tubuhnya terjatuh ke tanah. Muntah memenuhi jalanan, dan dalam sekejap, Livia pingsan.
Sopir yang melihat kejadian itu segera panik dan meminta bantuan. Nano, salah satu staf rumah tangga yang ada di dekat situ, segera berlari menghampiri dan membantu mengangkat tubuh Livia yang lemas ke dalam rumah. Mereka membawa Livia ke kamarnya, dengan langkah terburu-buru.
Nano segera menghubungi Mateo yang sedang berada di kantor, meskipun ia tahu bahwa panggilan tersebut akan membuat Mateo kesal.
"Tuan, nona Livia jatuh pingsan. Sekarang ia sudah kami bawa ke kamarnya," ucap Nano dengan nada cemas.
Di seberang telepon, terdengar suara Mateo yang terdengar frustrasi. "Kenapa lagi dia pingsan? Coba kau siramkan air di wajahnya, Nano. Kalau tidak juga bangun, baru hubungi dokter Desmond. Aku sedang sibuk dan tidak ada waktu mengurusinya."
Nada suara Mateo yang tidak peduli begitu jelas terdengar. Setelah beberapa detik, ia menambahkan, "Jangan ganggu aku dengan masalah kecil seperti itu."
Nano menatap tubuh Livia yang terkulai lemas di ranjang, wajahnya tampak pucat. Hati Nano tak bisa menghindari rasa kasihan, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengikuti perintah Mateo.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/