Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 06
...****************...
“Aresya… Bisakah kamu panggilkan mereka?”
Daria memandang lemah, napasnya berat, namun matanya tetap bersinar—penuh harap yang nyaris memudar.
Aresya mengangguk cepat. “Tentu, Bu.”
Ia berdiri dan membuka pintu pelan.
“Tuan Alexander… Arion, Ibu ingin kalian masuk.”
Keduanya menoleh. Alexander menghela napas malas, Arion hanya angguk kecil dan melangkah lebih dulu masuk. Suasana kamar berubah lebih berat saat mereka berdiri di sisi Daria, seolah duka perlahan menyelubungi ruangan itu.
Daria menarik napas panjang, lalu menatap mereka berdua.
“Aku harus bicara… sebelum semuanya terlambat.”
Alexander hanya menatap istrinya, diam. Arion mengerutkan alis, tubuhnya kaku.
“Aku… tidak punya banyak waktu lagi,”
kata Daria, tangannya menggenggam selimut putih yang menutupi tubuhnya.
“Kanker ini… sudah menyebar ke mana-mana. Dokter bilang... tinggal menunggu waktu.”
Keheningan. Hanya suara alat medis yang mengisi ruangan.
“Aku hanya punya satu permintaan sebelum aku pergi…”
Daria menoleh pada Arion, suaranya nyaris pecah.
“Aku ingin melihat kamu menikah, Arion. Hanya itu…”
Arion mengepalkan rahang. “Mama… jangan bicara seperti itu.”
Daria tersenyum lirih.
“Kau tahu aku tak pernah memaksa. Tapi kali ini… bisakah?”
Alexander menggeleng, tajam.
“Kau bicara seolah-olah dia bisa sembarang menikah. Siapa gadis ini? Dari mana asalnya? Kita bahkan tak tahu keluarganya, tak ada yang bisa diverifikasi—”
“Aku tahu dia gadis baik,” potong Daria tegas.
“Bahkan bila kalian tak tahu masa lalunya… aku tahu hati manusia.”
Alexander tertawa pendek, mencibir.
“Hati bisa menipu. Dunia ini penuh topeng.”
Aresya hanya menunduk. Sangat pandai berakting sebagai korban dari cibiran dan sinisme. Padahal hatinya riang—semua berjalan terlalu sempurna.
Daria menoleh pada suaminya, matanya berkaca-kaca.
“Bisakah… sekali saja dalam hidupku… kamu mengikuti permintaanku?”
Alexander mendesah panjang, seolah kalah dalam perang batin yang menyebalkan.
“Terserah. Kalau dia setuju… lakukan saja.”
Arion menatap ibunya, dingin. Tapi sorot matanya sedikit goyah.
“Mama… ini terlalu mendadak.”
Daria menatap Arion lemah, memohon tanpa kata.
Aresya hanya berdiri diam, dengan ekspresi sempurna antara bingung dan khawatir. Padahal jantungnya berdetak penuh kemenangan.
Arion mendekat ke Aresya, suaranya pelan dan tegas.
“Aresya, ikut aku sebentar.”
Aresya mengangguk lembut. “Tentu.”
Mereka melangkah keluar bersama, meninggalkan Daria yang menutup mata dengan tenang dan Alexander yang hanya menghela napas berat—kalah, namun tetap menjaga wibawa.
Mereka berdiri di lorong rumah sakit yang sunyi, hanya terdengar langkah-langkah perawat yang lewat sesekali dan detak jarum jam di dinding.
Cahaya lampu temaram menyinari wajah mereka berdua. Arion bersandar ringan ke dinding, sementara Aresya berdiri dengan kedua tangan saling menggenggam di depan tubuhnya.
“Aku ingin tahu…”
Suara Arion terdengar datar.
“Kamu sebenarnya siapa?”
Aresya mengangkat wajahnya perlahan, memasang senyum yang begitu lembut, seolah ia tak mengerti maksud pertanyaannya.
“Aku… hanya manusia biasa.”
Arion menatapnya dalam, dingin dan tajam.
“Manusia biasa tak muncul tiba-tiba dalam hidup seseorang… tepat saat ibuku sakit… dan tiba-tiba membuatnya percaya seolah kamu penyelamat.”
Aresya menunduk pelan. Ekspresinya terlihat rapuh, meski hatinya tersenyum sinis dalam diam.
“Aku tidak pernah berniat apa-apa… aku hanya mencoba berbuat baik… mungkin karena itu ibumu merasa nyaman.”
Hening. Arion mengalihkan pandangan ke jendela rumah sakit yang memperlihatkan langit mendung sore itu.
“Aku akan menikahimu.”
Kalimatnya meluncur tanpa emosi, datar seperti batu.
Aresya berpura-pura terkejut, menoleh cepat.
“Apa?”
“Pernikahan kontrak,” lanjut Arion.
“Dua tahun. Setelah itu, kita selesai. Tidak ada ikatan. Tidak ada cinta.”
Aresya menatapnya dengan wajah tercengang palsu. Tapi dalam hatinya, ia menertawakan skenario sempurna ini.
Ini dia… Ini yang aku inginkan sejak awal.
Masuk ke keluargamu… dan perlahan menghancurkanmu dari dalam, Arion Camaro.
“Baiklah,” ucap Aresya akhirnya, dengan suara lembut dan mengalah.
“Kalau itu bisa membuat ibumu bahagia… aku bersedia.”
Arion mengangguk tipis.
“Jangan berharap lebih.”
Aresya tersenyum samar, nyaris seperti luka yang pasrah. Tapi di balik matanya, ada kemenangan yang membara.
Oh, aku tak butuh harapan, Tuan Camaro. Yang kubutuhkan hanya waktumu… dan kehancuranmu.
...****************...
Ruangan rumah sakit itu masih dipenuhi keheningan saat Arion dan Aresya kembali masuk. Daria menoleh lemah dari ranjang, tatapannya penuh harap. Alexander berdiri di sisi lain, dengan raut wajah yang jelas tak menyukai apa yang akan disampaikan.
Arion berjalan mendekat, tangannya diselipkan ke dalam saku celana. Ekspresi wajahnya tetap datar, tak terpengaruh oleh udara emosi yang menggantung.
“Kami… akan melakukannya,” ucap Arion pelan, namun tegas.
Daria menahan napas, lalu air mata haru mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Benarkah? Kalian akan menikah?”
Aresya mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan senyum lembut dan tenang.
“Ya… kami sudah membicarakannya.”
Daria langsung meraih tangan Aresya dan menggenggamnya erat.
“Terima kasih… terima kasih banyak… kamu gadis yang baik… benar-benar baik…”
Alexander hanya mendengus kecil, lalu menatap tajam ke arah Aresya.
“Aku hanya akan percaya setelah melihat sendiri latar belakangmu. Aku tak suka kejutan.”
Aresya membungkuk sopan.
“Saya mengerti, Tuan. Saya akan melakukan yang terbaik untuk tidak membuat Anda kecewa.”
Arion masih diam, hanya berdiri di samping tempat tidur ibunya, tak menunjukkan sedikit pun emosi.
Daria menatap mereka berdua bergantian, lalu tersenyum penuh makna.
“Akhirnya… aku bisa sedikit tenang…”
Aresya menunduk perlahan, tapi dalam hatinya berkata:
Tenanglah sekarang, Bu Daria… karena setelah ini, badai sesungguhnya akan datang.
.
.
.
Next 👉🏻
Makasih tadi udh mampir. jgn lupa keep lanjut teyuz ya...
kita ramein dengan saling bertukar komen...