Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 6
Senja mulai menyapu langit dengan warna jingga keemasan, melukis awan-awan tipis yang menggantung malas di cakrawala. Di dalam butik kecil yang hangat dan penuh sentuhan estetika, Viola merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya menatap jendela kaca besar yang menghadap jalan, membiarkan cahaya lembut menari di permukaan meja kerja yang penuh sketsa dan lembar-lembar kain.
Tubuhnya terasa berat, kelelahan menggantung di setiap persendian. Seharian penuh ia bergulat dengan pesanan pelanggan, menjahit detail yang rumit, dan melayani diskusi panjang soal warna dan potongan busana. Dengan helaan napas panjang, Viola berdiri dari singgasananya. Kakinya menapak pelan di lantai kayu yang hangat, menuju bagian depan butik.
Di sana, Risa tengah sibuk melipat beberapa potong pakaian yang baru saja digantung ulang. Gadis muda itu bekerja cepat, cekatan, dan selalu penuh semangat. Viola tersenyum melihatnya.
"Risa," panggilnya lembut, membuat gadis itu menoleh.
"Iya, Kak?" Risa menghentikan gerakannya, menatap Viola dengan alis sedikit terangkat.
"Ayo berkemas. Kita tutup lebih awal malam ini."
Risa tampak terkejut, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Sekarang, Kak? Tapi biasanya malam malah ramai. Banyak pelanggan datang sepulang kerja…"
Viola mengangguk pelan sambil tetap tersenyum, wajahnya lembut namun tampak jelas gurat kelelahan di sana.
"Aku tahu. Kamu benar. Tapi aku benar-benar sudah tidak kuat hari ini. Dan aku juga tidak bisa membiarkanmu sendirian di sini," katanya pelan, seperti sedang meminta pengertian.
Risa menghela napas kecil, lalu mengangguk dengan ragu. "Baiklah... Kalau begitu, aku rapikan dulu yang di meja kasir."
Viola menepuk bahu Risa ringan. "Terima kasih, Risa. Besok kita mulai lagi dengan tenaga baru, ya?"
Risa tersenyum, kali ini lebih tulus. "Iya, Kak. Istirahat yang cukup malam ini."
Viola melangkah ke pintu, menurunkan tirai, lalu mengunci pintu butik dari dalam. Di luar sana, senja semakin meresap, membalut dunia dengan warna-warna perpisahan hari. Di dalam butik, hanya tinggal suara langkah kaki dan gumaman ringan, menyambut malam yang tenang dan istirahat yang akhirnya datang.
**
**
**
Setelah semua lampu butik dimatikan dan pintu utama terkunci rapat, Risa berpamitan dengan senyum lelah namun tetap ramah. Ia menyalakan motor matic injeksinya yang terparkir rapi di depan butik, lalu melaju pelan menyusuri jalanan yang mulai sepi, meninggalkan jejak suara mesin yang sayup terbawa angin malam.
Viola menyusul beberapa menit kemudian. Ia masuk ke dalam mobilnya—sebuah sedan hitam elegan yang selama ini menjadi saksi perjalanan harinya yang sibuk. Jemarinya menggenggam setir, dan dengan satu gerakan tenang, ia menghidupkan mesin.
Mobil melaju perlahan, membelah senja yang hampir berubah menjadi malam. Lampu-lampu jalan mulai menyala, membentuk barisan cahaya yang menari di kaca depan. Namun, di sebuah pertigaan, bukannya berbelok ke arah perumahan tempat tinggalnya, Viola justru membelokkan mobil ke arah sebaliknya.
Hatinya seperti ditarik oleh sesuatu. Sebuah dorongan yang tak sepenuhnya bisa ia jelaskan.
Entah kenapa, malam ini pikirannya tak bisa lepas dari seseorang. Sosok yang selalu memberinya pelukan saat dunia terasa terlalu berat. Sosok yang selalu bisa membaca air matanya meski tak satu kata pun terucap.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah satu lantai yang cukup besar. Desainnya sederhana, namun terlihat nyaman. Dikelilingi taman kecil yang terawat, rumah itu memancarkan aura kehangatan yang tak pernah berubah sejak dulu. Lampu di teras menyala lembut, seperti menyambut kehadirannya.
Viola duduk diam sejenak di balik kemudi. Ia menatap rumah itu dalam keheningan, lalu menghela napas panjang.
"Ma..." gumamnya nyaris tak terdengar, seperti sebuah panggilan batin.
Ia akhirnya membuka pintu mobil dan melangkah pelan ke arah pagar. Dengan hati-hati, ia menekan bel. Tidak lama, terdengar suara langkah mendekat dari dalam rumah. Pintu terbuka.
Sosok perempuan paruh baya dengan rambut yang disanggul rapi muncul dari balik pintu, mengenakan daster batik dan senyum yang langsung menenangkan hati.
"Viola? Tumben ke sini, Sayang."
Viola hanya tersenyum kecil, matanya hangat. "Aku kangen, Ma..."
Dewi membuka lebar pintu rumahnya, sambil menyambut putrinya dengan pelukan hangat.
"Masuk, Nak. Mama baru bikin teh. Kamu pasti butuh cerita, ya?"
Viola mengangguk, lalu memeluk ibunya lebih erat. Untuk sesaat, semua lelah dan penat hari ini seolah menguap begitu saja, tenggelam dalam hangatnya pelukan seorang ibu.
**
**
**
Di ruang tengah yang hangat dan harum aroma kayu manis dari teh seduhan Dewi, Viola menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan embusan napas panjang. Kepalanya bersandar pada sandaran empuk, seolah seluruh beban hari ini baru benar-benar terasa saat tubuhnya menyentuh kenyamanan itu.
Dewi duduk di sisi lain, menatap putrinya dengan sorot mata penuh perhatian.
“Kenapa Arga nggak ikut sekalian?” tanyanya, suara lembut itu terdengar seperti sekilas angin, tapi langsung membuat Viola mengangkat kepala.
Viola mendecak pelan, matanya memutar malas. “Kenapa sih harus nanyain bocah tengil itu, Ma?”
Nada suaranya terdengar sinis, namun tak berusaha ditutup-tutupi. Ia menyilangkan kaki, lalu meraih bantal sofa dan memeluknya di dada.
“Aku tadi dari butik, langsung aja ke sini. Belum pulang ke rumah,” tambahnya, nada bicara sedikit menurun, tapi masih ada sisa kesal yang tersisa.
Dewi tak menjawab, hanya tersenyum tipis sembari menyodorkan secangkir teh hangat ke tangan Viola.
“Teh hangat, bisa bantu bikin hati yang dingin jadi lebih tenang,” ucapnya, separuh bercanda, separuh menenangkan.
Viola menerima teh itu, menghirup uapnya sebelum menyeruput sedikit. Diam sejenak, lalu menatap ibunya yang kini menatap lurus ke arahnya.
“Pernikahan kalian... baik-baik saja, kan?” tanya Dewi pelan, seperti memilih kata-kata dengan hati-hati.
Viola terdiam beberapa saat. Ia menatap ke arah cangkir di tangannya, memutar-mutar permukaannya perlahan dengan ujung jarinya.
“Aku nggak tahu, Ma...” suaranya nyaris berbisik. “Aku nggak tahu sampai kapan aku akan bertahan.”
Ucapannya menggantung di udara, menggema di antara dinding rumah yang tiba-tiba terasa lebih sunyi dari sebelumnya.
Dewi menatap putrinya dengan mata yang sayu, namun tidak memotong. Ia tahu, kadang luka yang terdalam hanya bisa diceritakan jika diberi ruang yang cukup hening.
Dewi menyandarkan punggungnya di kursi, kedua tangannya bersedekap di pangkuan. Matanya menatap Viola dalam-dalam, seakan sedang menimbang perasaan putrinya lewat setiap tarikan napas yang terdengar berat.
Namun, alih-alih menghakimi atau bertanya lebih jauh, ia justru tersenyum. Senyum itu bukan senyum ceria—melainkan senyum seorang ibu yang penuh pengalaman, sabar, dan tahu bahwa luka hati tak bisa sembuh hanya dengan kata-kata manis.
“Viola...” panggilnya lembut. “Kamu harus banyak bersabar, Nak.”
Viola menoleh perlahan, menatap ibunya dengan mata yang mulai meredup, seperti bara api kecil yang nyaris padam.
“Mama tahu, Arga mungkin tidak sempurna. Tapi dari cara dia memperlakukanmu, Mama bisa lihat... dia itu pria baik. Dan yang paling penting, dia bertanggung jawab.”
Viola menghela napas panjang, menggigit bibir bawahnya sebentar. Ada emosi yang menggumpal di tenggorokannya, namun ia menahannya agar tak pecah menjadi air mata.
“Baik, ya... mungkin. Tapi...dia masih bocah ma. Kami nggak bisa sejalan."
Dewi meraih tangan Viola dan menggenggamnya hangat.
“Setiap pernikahan pasti ada masanya terasa berat. Kamu sama Arga masih muda, masih banyak yang perlu disesuaikan. Tapi selama dia tidak menyakitimu, tidak meninggalkan tanggung jawabnya... cobalah beri ruang. Mungkin, dia juga sedang belajar menjadi suami yang baik. Sama seperti kamu yang juga sedang belajar menjadi istri.”
Viola terdiam. Kata-kata itu menusuk, tapi bukan untuk menyakitinya—melainkan seperti cahaya kecil yang menuntunnya keluar dari kegelapan yang belum sepenuhnya ia mengerti.
Ia menunduk, membiarkan jemarinya saling bertaut dengan jemari ibunya, mencari sedikit rasa tenang di tengah gejolak yang tak ia pahami sendiri.
Bersambung.
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran