Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan Kencan
Sebelum Britania tertidur di parkiran, ia sudah memutuskan untuk mem-booking hotel terdekat. Pukul empat pagi memesan hotel, untuk orang yang julid pasti bakal menganggapnya wanita malam atau sejenisnya. Britania mendengus pelan, bahkan dalam keadaan selelah ini, ia masih memikirkan pandangan orang.
Yang jelas, ia tidak mungkin mengemudi dalam kondisi nyaris pingsan.
Matanya terlalu berat, tubuhnya terlalu lelah, dan mengendarai mobil sendirian dalam kondisi seperti itu adalah ide bunuh diri.
"Bu Briii... lagi di mana? Gue ke apartemen, udah gue gedor-gedor pintunya, nggak jawab?" Olivia berteriak di ponselnya. Itu sudah panggilan kesekian kalinya, tapi baru diangkat oleh Britania saat jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Kenceng amat," gumam Britania, suaranya serak. "Aku baru melek, masih di bandara. Ngantuk berat tadi pagi. Kamu sih, tinggalin aku sendirian. Mana berani nyetir dalam keadaan ngantuk gitu."
keluh Britania, suaranya serak. Ia memaksakan diri bangkit dari ranjang empuk, merasakan otot-ototnya kaku dan pegal.
Segera Britania mematikan telepon untuk mandi dan bersiap menuju kantor. Sepertinya ini kali pertama ia masuk kerja telat, ditambah kemarin juga. Gara-gara harus turun langsung ke lapangan, ia harus seribet ini setiap mengurus ekspor barang.
Biasanya, ia hanya duduk manis di dalam ruangan, menerima laporan dan mengurus komplain, itu pun masih tetap stay di dalam ruangan. Ada bagian yang bertindak khusus, tapi semenjak CEO tengil itu datang, hidupnya berantakan seperti ini. Segala rutinitasnya terusik. Ia benci perubahan yang tidak bisa ia kontrol.
Menjelang makan siang, Britania akhirnya sampai di halaman parkir kantor. Ia mematikan mesin mobilnya, merasakan berat tubuhnya. Belum sempat ia membuka pintu, sebuah suara familier sudah menyambutnya.
"Predikat karyawan teladan bulan ini kayaknya akan beralih ke gue, nih," cibir Brianda, mendekat menghampiri mobil Britania. Ada senyum usil di wajahnya.
Britania mendengus. "Ini juga gara-gara bos-mu, Nda, kasih aku kerjaan tambahan enggak kira-kira. Pagi tadi aku pulang dari bandara jam empat pagi makanya aku kesiangan sekarang. Kena omel pasti nanti, hufh..." Britania menghela napas lelah, membayangkan wajah datar Nathan dan tatapan tajamnya.
Brianda mengedikkan bahunya, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Ia memberi isyarat agar Britania masuk ke ruangan bosnya. "Bri, gue tinggal, ya, lo masuk sendiri. Gue juga butuh asupan gizi sebelum mendapat tugas semena-mena dari Nathan." Tanpa meminta persetujuan Britania, Brianda sudah ngacir menuju lift, meninggalkan Britania berdiri sendirian di depan pintu ruangan Pak Nathan. Sialan, Brianda.
Tok... tok... tok...
Britania mengetuk pintu, merasakan jantungnya berdebar tidak nyaman. Ia menarik napas dalam, memaksakan senyum tipis di bibirnya. "Permisi, Pak..."
Nathan melihat Britania sekilas, matanya yang tajam sempat menelisik Britania dari ujung kaki hingga kepala. Kemudian, ia kembali fokus pada layar datar di depannya, jemarinya lincah menari di atas keyboard. Ruangan ini terasa dingin, dan keheningan yang menyelimuti semakin mencekam.
"Kenapa telat?" tanyanya dingin, tanpa mengangkat pandangan. Suaranya menusuk, membuat Britania merasa seperti seorang murid yang tertangkap basah melanggar aturan.
"Mmm, maaf, Pak. Tadi saya kesiangan, saya pulang dari bandara jam empat pagi lalu tidak berani nyetir sendiri jadi saya menginap di hotel terdekat..." jawab Britania, terus menunduk, tidak berani menatapnya.
Ia merasa malu, pakaiannya pasti tidak serapi biasanya dan citra profesional yang melekat pada Brii pasti sudah hancur di mata Nathan sekarang.
Namun, jemari Nathan berhenti mengetikkan sesuatu. Ia beralih menatap Britania dari balik mejanya, tatapannya kini lebih intens. Britania bisa merasakan sorot mata dingin yang mengintimidasinya.
"Sudah makan?"
Sontak, mata Britania membulat kaget. Pertanyaan itu begitu di luar dugaannya. Ia menggeleng pelan, tidak bermaksud apa pun, karena saat ini pikirannya hanya dipenuhi kemungkinan sanksi yang akan ia terima karena datang ke kantor sudah sesiang ini.
“Mau makan bareng?” ucapnya lagi, kali ini nadanya sedikit lebih lunak, hampir seperti sebuah tawaran bukan perintah.
Brii menoleh, mendengar tawaran mengejutkan itu.
Makan bareng Nathan?? Di ruangannya?
“Mm... Nggak usah pak, terima kasih. Saya ke kantin aja nanti. Mm... Bapak mau kasih saya hukuman kan? Karena telat, apa pak hukumannya?” jawabnya gugup. Brii lebih memilih dihukum tentu saja, daripada harus makan siang bersama Nathan.
Pasti akan canggung sekali suasananya, apalagi setelah kejadian tidur dalam satu kamar malam itu.
Raut wajahnya Nathan berubah seketika, dari yang awalnya datar menjadi... Geli. “Minta banget dihukum? Hmm? Kalau gitu saya hukum kamu, kamu turun ke bawah ambil makanan yang saya pesan. Ada di resepsionis,”
Sejujurnya Brii masih tidak paham dengan perintahnya, tapi ia menurut saja. Mungkin Nathan sedang mengujinya, apa dia memang multitalenta seperti yang banyak orang bicarakan.
Daripada terlalu lama di ruangan Nathan, hanya akan membuat suasana makin awkward, Brii bergegas keluar menuju resepsionis.
Sesuai dengan perintah Nathan, seorang wanita cantik yang bertugas di bagian resepsionis segera memberikan paperbag berisi beberapa pack makanan, ketika Brii datang kesana.
Kakinya melangkah lebar, kembali menuju ruangan Nathan.
Tidak berlama-lama di dalam sana, setelah meletakkannya di meja, Britania pun segera berpamitan. “Kalau gitu saya permisi pak, pak Nathan silahkan makan,” ucap Brii sedikit mengangguk sebelum berbalik badan. Ia sudah membayangkan kembali ke ruangannya, mengurus pekerjaannya dan melupakan semua kejadian aneh siang itu.
“Siapa yang mengijinkan kamu keluar? Hukuman kamu belum selesai Britania.” sergaah Nathan. Britania berhenti melangkah, kembali berbalik dengan kebingungan.
‘Ini orang kenapa sii, kenapa membuat aku seperti sebuah mainan yang menyenangkan untuknya?’ gerutu Brii dalam hatinya.
“Temani saya makan. Kamu makan juga. Saya tau kamu belum makan kan?”
“Oh.. Mm, baik pak.”
Kenyataannya, Brii memang belum sarapan apalagi makan siang. Ingin menolak juga rasanya tidak mungkin, Nathan tidak menawarinya tapi lebih ke memaksanya untuk makan bersama.
Britania mulai sibuk mengeluarkan makanan yang tadi ia ambil, menyiapkannya untuk Nathan dan dirinya sendiri.
Ada dua porsi gimbap dan salad ayam wrap.
Cukup mengagetkan juga, Brii pikir makanan yang boss-nya pesan adalah menu-menu high class di resto bintang lima langganan para CEO.
Namun selera Nathan sama sepertinya, kalau saja tidak sedang di hadapan Nathan pasti Brii sudah melahap dengan rakus makanan itu. Demi gengsi dan pencitraan, Brii menahan dirinya kuat-kuat. Membiarkan Nathan memakannya lebih dulu.
“Silahkan pak.”
“Saya nggak tahu kamu sukanya makan apa, jadi beli itu saja tadi.”
Whatt? Jadi, pak Boss sengaja membelikannya makan siang? Bukan kebetulan karena ia sendiri ingin makan siang?
Brii tersenyum tipis, “Terima kasih pak,”
Nathan mengangguk, lalu mulai memasukan potongan-potongan gimbap itu ke dalam mulutnya. Ia makan dengan elegan, tenang, namun Brii bisa melihat Nathan sangat menikmatinya.
“Pak Nathan suka makanan Korea?” Britania memberanikan diri bertanya, melihat Nathan dengan begitu lahap. Pertanyaan basa-basi yang jarang sekali Brii lontarkan pada siapapun.
Nathan mengangguk cepat, senyum tipis terbit di bibirnya. Nathan lanjut menjelaskan kenapa ia bisa menyukai makanan tersebut, sampai menyebutkan beberapa resto Korea yang ada di Jepang dulu. Wajahnya berubah lebih ramah, dan obrolan mereka berlanjut lebih mudah, tidak secanggung diawal.
“Kamu sendiri suka?”
“Suka pak,”
Nathan tersenyum lebar, sudut bibirnya terangkat sempurna. Baru kali ini Britania melihat senyumnya selebar itu. Sejauh ini, dia memang sering tersenyum menyapa karyawannya, namun tidak sehangat dan selebar kali ini, hingga membuat Britania terpaku untuk beberapa detik.
Senyum itu mampu meluruhkan dinding-dinding yang Britania bangun kokoh di sekeliling hatinya.
Inget, Dia atasan kamu, oke? Nggak lebih.
Britania segera memalingkan pandangan, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berpacu kencang.
Usai menghabiskan makan, Britania kembali pamit untuk ke ruangannya.
“Kalau gitu saya permisi, Pak.” Bisa tidak aman jantungnya kalau lama-lama berada di dekat Nathan. Ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan, yang terlalu kuat, mengancam kestabilan emosionalnya.
Olivia pasti sudah mencak-mencak karena menunggu Brii menandatangani banyak berkas mendesak untuknya.
“Lo pacaran dulu sama Pak Nathan, Bri? Lama banget...” gerutu Olivia melihat Britania kembali masuk ruangan.
“Mulutnya yang sopan itu, Liv... Mana sini yang perlu aku tanda tangani...?” Britania berusaha terdengar tegas, namun ada sedikit kegugupan yang tidak ia sadari. Tangannya membuka satu per satu berkas yang diberikan Olivia, namun matanya tidak konsentrasi pada berkas itu.
Pikirannya masih dipenuhi senyum lebar Nathan. “Liv, Pak Nathan minta aku untuk nemenin dia besok ke acara nikahan temannya, menurut kamu gimana?”
Sontak Olivia menutup mulutnya yang terbuka lebar. Matanya membukat sempurna. “Astagaaaa! Bu Bri, Mbak Britania atasan gue yang cantik jelita, super baik hati dan tidak sombong, diam-diam lo udah jadian sama Pak Nathan??”
“Heh, enggak! Apaan sih? Tadi tiba-tiba aja minta gitu, aku belum jawab sih. Males banget aku ke acara nikahan kayak gitu!” sentak Britania, namun ia tak lagi ingin membahasnya.
Sejauh ini, datang ke acara resepsi pernikahan adalah hal yang paling tidak mungkin ia lakukan. Ingatan akan masa lalu yang menyakitkan itu selalu menghantuinya, membuatnya membenci acara-acara bahagia dan sakral seperti pernikahan. Lebih baik ia tidur seharian daripada harus hadir di acara resepsi pernikahan, siapapun itu.
Meskipun ada teman kantor yang menikah, ia hanya akan mengirimkan kado saja.
“Tapi Bu Bri, terima aja ajakannya. Kapan lagi, ye kan, jalan sama Bapak CEO yang populer itu. Banyak kali yang pengin jalan sama dia...” bujuk Olivia, tidak menyerah. Assistennya lebih peka menanggapi apk CEO yang jelas-jelas menunjukkan ketertarikan pada Brii.
Britania diam, tak merespon apapun. Tatapan Britania mengedar ke seluruh ruangannya yang tidak cukup luas ini. Ia mengantuk dan ingin tidur sekarang. Hanya itu.
Pekerjaan seharian ini cukup membuatnya lelah, ditambah ia memang kurang tidur sejak pagi. Matanya terasa berat, pikirannya kacau.
Olivia pamit, membiarkan atasannya istirahat dengan baik. Ia paling tahu secapek apa Bri belakangan ini.
Namun, baru sekitar setengah jam Britania terlelap dengan kepala bersandar pada sandaran kursi, Olivia tiba-tiba menerobos masuk ke ruangannya. Nathan mencarinya,
Britania bahkan tidak mendengar suara Olivia masuk. Gadis itu sudah hampir membalikkan badannya untuk memberitahu Nathan, namun Nathan lebih dulu membuka pintu dan masuk.
“Mmm, maaf, Pak. Bu Britania sepertinya kecapekan tadi pulang dari bandara jam empat pagi sama saya. Sekarang Bu Britania ketiduran. Saya bangunkan sebentar, ya, Pak?” niat Olivia dicegah oleh Nathan.
Nathan mengedikkan kepala, menyuruh Olivia keluar tanpa bersuara. Olivia menurut, meninggalkan ruangan dengan terheran-heran.
Nathan melangkah pelan mengamati ruangan Britania. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, berubah mengembang lebar saat menatap banyak penghargaan terpajang di salah satu dinding dekat dengan meja kerja Britania.
Penghargaan karyawan teladan, Best Manager of the Year, dan berbagai penghargaan lain yang didapat Britania selama bekerja di sana. Matanya tak berhenti menatap kagum, wajar kalau ayahnya begitu menyayangi Britania. Gadis itu sangat penting untuk perusahaannya.
Pandangan Nathan beralih fokus pada Britania yang terlelap bersandar pada kursi. Wajah lelah itu, rambut yang sedikit berantakan menutupi wajahnya, dan bibir yang sedikit terbuka saat bernapas. Ia terlihat begitu lelah, namun tanpa beban, berbeda sekali dengan keseharian Britania yang biasa ia lihat saat mengurus pekerjaannya. Tatapannya merendah tepat di depan wajah Britania. Jemari panjangnya terulur, perlahan mengusap puncak kepala Britania dengan lembut, seolah ingin menghapus semua lelah yang terkumpul di sana.
“Britania...” lirihnya, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Sampai dua kali Nathan melakukannya, Britania baru mulai mencapai kesadaran dari tidurnya. Sentuhan tangannya yang masih di kepalanya cukup membuatnya terperanjat, matanya yang memerah langsung terbuka lebar.
“P-pak Nathan... Maaf, maaf saya ketiduran lagi...” Britania buru-buru menegakkan duduknya, merapikan pakaiannya, jantungnya seketika berdebar kencang. Malu, lagi-lagi.
“Senang banget tidur kamu,” ujarnya dengan tersenyum miring, senyum yang khas Nathan, namun kali ini terasa lebih... hangat? Britania berusaha merapikan rambutnya yang berantakan, Nathan benar-benar sudah melihat banyak sisi buruknya.
“Pak Nathan ada apa? Ada tugas buat saya...?” tanya Bri mencoba mengalihkan pembicaraan.
Nathan menggeleng pelan, matanya menatap Britania lekat. “Kita cari dress buat kamu besok.”
Britania mengerutkan kening. “Mmm... enggak usah, Pak, saya ada kok. Walaupun saya bukan cewek-cewek sosialita, tapi saya punya kok dress formal. Tapi besok saya masih banyak kerjaan, Pak. Nanti saya absen dong, nanti gaji saya dipotong juga dong...” gerutu Britania tidak terima, ia tidak suka membiarkan pekerjaannya menumpuk.
Bagian payroll pasti akan dengan senang hati memotong gajinya gara-gara ia absen hanya untuk menemani Pak Bos ke acara resepsi temannya. Britania kan masih punya banyak tanggungan, banyak yang bergantung dari uang gajinya. Demi adik-adiknya di rumah singgah, ia tidak bisa ambil risiko ini.
“Tenang saja, enggak akan. Saya akan hitung kamu lembur full besok, jadi dibayar dua kali lipat, gimana? Atau kurang?” tawar Nathan , sempat terlintas, apa memang Brii begitu perhitungan perihal uang gaji??
Mata Britania langsung berbinar mendengar tawaran itu. Dua kali lipat? Ini tawaran yang menggiurkan. Tapi Britania, dengan segala sifat keras kepalanya dan sedikit isengnya, mencoba melambungkan tawaran itu.
“Mmm... saya punya banyak adik-adik yang harus saya biayai, Pak. Kalau saya minta gaji lembur besok tiga kali lipat, boleh? Anggap saja ini pekerjaan sulit buat saya pak, saya belum pernah sbelumnya.”
Pria itu terkekeh, sematre itu Brii yang di elu-elukan sebagai karyawan teladan??
“Bilang saja berapa pun, terserah kamu, gimana?” Nathan tak mau ambil pusing, yang penting Brii setuju. Urusan dia memanfaatkannya, biarlah itu urusan nanti, akan Nathan selidiki lagi.
Britania menyetujui usulannya kali ini. Senyumnya terkembang lebar. “Deal!” serunya, menjabat tangan Nathan erat.
Pria itu pun tak kalah lebar senyumnya. It’s sugar... No, Bri! Big No!
Dia atasan kamu, oke? Dia hanya butuh teman ke acara pernikahan! Tidak lebih.
Britania mengingatkan dirinya sendiri, berusaha mengenyahkan gejolak aneh yang muncul dari sentuhan tangan Nathan dan senyumnya yang manis itu.
“Oke, sekarang kita pulang, aku antar kamu...” ucap Nathan, masih belum beranjak dari tempatnya.
“Mmm... nggak usah, Pak. Saya bawa mobil kok.” tolak Brii, ia tidak ingin terus terjebak bersama Nathan, ia harus menjaga jarak. Seperti biasanya.
Sekeras apa pun Britania menolak, tetap saja Nathan CEO-nya di sini. Dia yang sangat berhak memerintah Britania, dan Britania sangat wajib menuruti perintah atasan.
Dengan alasan besok Nathan akan menjemputnya dan tidak tahu di mana alamat Britania, akhirnya Nathan berhasil membujuk untuk pulang bersamanya dan meninggalkan mobilnya di kantor.
Padahal share loc saja kan besok bisa, huhh... Apa dia kira ini masih zaman purba yang kesulitan komunikasi? Britania mendengus dalam hati, tapi ia tak punya pilihan.