Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Hujan
Cahaya matahari lembut menembus tirai tipis, menyapu wajah Liliana yang terbaring diam.
Matanya perlahan terbuka penglihatannya kabur sesaat, namun cukup untuk menyadarkan bahwa dirinya telah kembali. Kembali ke tempat asalnya.
Kamar mewah dengan dinding marmer putih, hiasan kristal, dan aroma bunga mawar yang sangat familiar.
Tapi yang berbeda kini adalah kehadiran ayahnya tidak ada di sisi tempat tidurnya.
Sebaliknya, empat orang dokter berdiri tak jauh, masing-masing dengan clipboard dan stetoskop di tangan.
"Nona Liliana, apakah Anda bisa mendengar suara saya dengan jelas?" tanya seorang dokter dengan nada tegas namun sopan.
Liliana mengangguk perlahan, masih bingung, tubuhnya terasa baik-baik saja, bahkan lebih ringan dari biasanya.
Tidak ada sakit kepala dan juga tidak ada nyeri.
"Denyut nadinya normal, tekanan darah stabil dan tidak ada tanda-tanda trauma fisik ataupun neurologis." ucap dokter lainnya yang sedang mengecek keadaan nadi dan detak jantung Liliana.
"Semua hasilnya benar-benar sempurna, tidak ada penjelasan medis mengenai kelainan." ujar dokter lainnya lagi yang terus membolak-balik catatan medis dari hasil pemeriksaan mereka.
Liliana dengan pelan, mengalihkan pandangan ke langit-langit dan sedikit bergumam, "Aku sempat keluar dari sini, bukan mimpi, aku sangat yakin!"
"Kalau begitu ini bukan masalah medis." bisik salah satu dokter ke dokter-dokter lainnya.
Setelah diskusi singkat, salah satu dokter segera meninggalkan ruangan, tak lama kemudian, ia melapor pada pria yang kini berdiri di ujung lorong kediaman, Demian, ayah Liliana, pria paling berpengaruh di dunia, dan satu dari sedikit orang yang percaya akan hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh sains.
"Tuan Demian, kami sudah memastikannya dan putri Anda dalam kondisi sempurna secara medis. Tapi, semua gejala dan proses terbangunnya kembali tidak sesuai logika manusia biasa." ujar salah seorang dokter yang langsung melapor pada Tuannya.
Demian memandang ke kejauhan, dingin dan berkata, "Jadi, apa mungkin ia benar-benar terhubung dengan 'itu'."
Para dokter yang dipanggil khusus dari berbagai penjuru dunia kini duduk dengan penuh rasa ingin tahu dan kebingungan. Di hadapan mereka, Demian, pria dingin yang jarang menunjukkan emosinya, berdiri membelakangi mereka, menatap jendela besar yang menghadap taman keluarga yang sunyi.
"Tuan Demian, maaf! Namun, apa yang Anda maksud dengan 'terhubung dengan itu'? Apakah ini berkaitan dengan suatu penyakit langka, atau?" tanya salah satu dokter yang merasa kebingungan.
Demian terdiam sejenak. Lalu, ia menarik napas dalam, membalikkan badan perlahan dan kini matanya tajam, namun kali ini ada kegalauan yang begitu jelas dalam sorotnya.
"Bukan penyakit, bukan pula sains." jelas Demian.
Para dokter menatapnya, saling berpandangan.
"Dua puluh tahun lalu, setelah Liliana lahir, istriku, dia menghilang begitu saja. Tak ada jejak, tak ada saksi, bahkan tak ada catatan ke mana dia pergi hanya menyisakan putriku di atas ranjang" lanjutnya dengan semakin jelas.
"Istri Anda tidak kembali sama sekali?" tanya dokter yang penasaran.
"Benar, dan yang lebih aneh adalah bagaimana cara dia menghilang, seolah-olah dunia ini tidak lagi mampu menampung keberadaannya."
Para dokter terdiam, mereka ingin menanggapi dengan logika, tapi tak satu pun dari mereka mampu menjelaskan hal itu secara medis.
"Aku menyelami dunia yang tak pernah kupercaya sebelumnya, dunia yang ada di antara garis tipis mimpi dan kenyataan, aku mencari segala kemungkinan, semuanya aku pelajari, segala makhluk, segala kutukan." kata Demian dengan suaranya yang dalam meskipun pelan.
Ia menatap tangan kirinya, seakan mengingat masa lalu yang sangat menyakitkan.
"Liliana, sejak kecil sering berbicara sendiri, bermimpi aneh dan menghilang dalam hitungan detik hanya untuk ditemukan kembali di tempat berbeda. Tapi aku, mengabaikannya, aku terlalu sibuk mengejar perusahaan, membangun kekuasaan karena kupikir, jika aku cukup kuat, aku bisa membawanya kembali."
Demian menunduk, rahangnya mengeras.
"Tapi ternyata semuanya kembali ke Liliana. Dia adalah kunci dari semuanya."
"Kunci untuk apa, Tuan?" tanya salah seorang dokter.
"Kunci untuk menembus batas antara dunia kita dan dunia ibunya." jawab Demian dengan sorot matanya yang tajam.
...----------------...
Langkah kaki Liliana yang ringan sempat terhenti saat mendengar suara ayahnya dari balik pintu ruang pribadi.
Ia berniat mencari udara segar setelah pemeriksaan medis, tapi tanpa sengaja, justru mendengar hal yang selama ini dirahasiakan darinya.
"Dia adalah kunci dari semuanya." kata Demian terdengar suaranya di balik pintu.
Liliana menyipitkan mata, bibirnya bergetar. Dia mengenali suara itu, suara ayahnya yang jarang sekali terdengar penuh beban seperti tadi.
Ia mendekat, bersandar perlahan ke dinding marmer yang menempel dingin di dekat pintu. Ia mendengarkan setiap kalimat, setiap nada getir dalam suara ayahnya.
Tentang ibu, tentang kutukan dan tentang kehilangan yang tak pernah diceritakan padanya sejak kecil.
Tubuhnya bergetar, tangannya mengepal di sisi jubah tidur sutranya. Tanpa sadar, air mata mulai menuruni pipinya, bukan karena marah.
Tapi karena hampa, kosong karena selama ini dia berpikir bahwa dirinya adalah anak yang tidak dibutuhkan ibunya.
Karena selama ini, tidak ada satu pun kisah tentang ibunya yang ia dengar, seolah ibunya tidak pernah ada.
Liliana berbisik dan terisak, "Kenapa tidak pernah ada yang memberitahuku?"
Langit di luar mulai memerah, cahaya senja menembus kaca jendela panjang koridor, dan menyentuh siluet Liliana yang kini merosot perlahan ke lantai yang menampilkan Liliana yang sedang memeluk lututnya sendiri.
Kesunyian menyelimuti sekitarnya, hanya suara bisikan hati dan deru napas patah yang menyertai tangisnya.
"Kalau memang aku kunci, lalu ke mana aku harus pergi?"
"Apa semua ini ada hubungannya dengan Sean?"
"Atau dengan dunia yang selama ini tersembunyi dariku?"
Liliana duduk di ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela, hujan telah berhenti. Tapi, pikirannya tetap bergemuruh.
"Kalau aku bisa berpindah ke waktu itu seharusnya bisa kulakukan lagi, bukan?" gumam Liliana bertanya-tanya.
Ia mencoba mengingat semuanya, detik demi detik saat ia pingsan, lalu tersadar di kamar Sean. Tidak ada logika, tidak ada penjelasan apapun, ia mencoba beberapa hal yang ia pikir dapat membantunya.
Menutup mata dan membayangkan kamar itu, menulis nama Sean di buku catatan, berdiri di bawah hujan buatan dari pancuran air hangat, tidak ada yang terjadi.
Ia kelelahan dan frustrasi. Tapi rasa ingin tahunya tidak surut.
"Ini bukan hal yang bisa dijelaskan secara ilmiah jadi mungkin jawabannya bukan di sains!" lirih Liliana dengan pelan.
Mata Liliana terpaku pada rak buku tua di sudut kamarnya. Ia berdiri dan mulai membongkar satu per satu buku tentang kerajaan, silsilah, sejarah, bahkan beberapa buku tua bersampul kulit yang tidak ia sadari pernah ada di kamarnya.
Hingga satu buku menarik perhatiannya, “Gerbang di Antara Dunia 'Catatan Rahasia dari Zaman yang Dilupakan'.”
Liliana membuka halaman pertama, tulisan tangan kuno memenuhi halaman-halamannya. Bahasa yang digunakan cukup tua, namun tidak sepenuhnya asing baginya.
Ia membaca dengan seksama.
"Ada kalanya antara dua dunia, terdapat jembatan yang tak terlihat, bukan tubuh yang berjalan di atasnya, tetapi kesadaran, kerinduan, dan takdir. Hanya jiwa yang terikat oleh rasa yang mendalam yang mampu melangkah melewati gerbang itu—"
Matanya membelalak. Buku ini berbicara tentang perpindahan tanpa alat, tanpa logika hanya koneksi batin yang dalam.
"Apakah karena aku memikirkan Sean? Karena aku merindukannya atau karena aku butuh jawaban darinya?" bisik Liliana semakin penasaran.
Tangannya meraba halaman itu, penuh harap. Ia menatap ke luar jendela, langit yang gelap dan tenang.
"Kalau benar maka pertemuan itu bukan sekedar kebetulan dan aku akan mencari jalannya, apa pun itu semua misteri ini harus ku pecahkan!"