NovelToon NovelToon
JATUH UNTUK BANGKIT

JATUH UNTUK BANGKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Cinta Terlarang / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5: PANGALENGAN

#

Terminal kecil Pangalengan tidak seperti terminal di Jakarta—tidak ada keramaian memekakkan telinga, tidak ada pedagang asongan yang mengerumuni penumpang, tidak ada polusi yang membuat mata perih. Hanya bangunan sederhana dengan cat yang mengelupas, beberapa warung kecil di pinggir jalan, dan udara dingin yang menusuk sampai tulang—dingin yang berbeda dari dingin Jakarta, dingin yang terasa bersih, seperti pisau tajam yang membedah kabut pagi.

Elang turun dari bus dengan kaki yang kaku setelah empat jam duduk di jok keras. Tas kain usangnya terasa lebih berat sekarang, bukan karena isinya bertambah, tapi karena seluruh tubuhnya lelah—lelah bukan hanya secara fisik, tapi lelah dari dalam, dari tempat yang lebih dalam dari otot atau tulang. Lelah dari jiwa yang sudah terlalu lama berjuang hanya untuk tetap ada.

Pemandangan di sekitarnya asing tapi entah kenapa menenangkan. Kebun teh membentang hijau sampai ke horizon, berundak-undak seperti tangga raksasa menuju langit. Kabut tipis menyelimuti puncak-puncak bukit, membuat semuanya terlihat seperti lukisan cat air yang belum selesai. Udara berbau tanah basah dan daun teh—aroma yang tidak pernah Elang cium di Jakarta, aroma yang membuat paru-parunya mengembang lebih lebar, seolah selama ini ia bernapas dengan setengah kapasitas.

Ia berjalan mengikuti alamat di kertas—Jl. Raya Pangalengan No. 47. Tidak sulit ditemukan karena jalan utama hanya satu. Kakinya membawa ia melewati warung-warung kecil, toko kelontong dengan etalase sederhana, masjid kecil dengan kubah hijau pudar, dan orang-orang desa yang menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu dan curiga—tatapan yang biasa diberikan pada orang asing, tapi tidak dengan permusuhan, hanya kehati-hatian.

Warung Ma Ijah. Papan kayu tua dengan cat merah yang sudah memudar. Bangunan sederhana dengan ateng seng, beberapa meja plastik di depan, dan aroma gorengan yang membuat perut Elang—yang sudah hampir dua hari tidak diisi dengan benar—berbunyi keras seperti protes.

Elang berdiri di depan warung, ragu. Ini alamat yang benar? Stella mengirimnya ke... warung makan? Untuk apa? Pekerjaan apa yang bisa—

"Assalamualaikum, Akang cari saha?"

Suara itu membuat Elang menoleh. Seorang gadis berdiri di ambang pintu warung—awal dua puluhan, berkerudung pashmina cokelat sederhana yang membingkai wajah bulat dengan pipi sedikit chubby, mata besar yang jernih seperti mata anak kecil yang belum pernah melihat kejahatan dunia. Ia mengenakan kaos lengan panjang polos dan celana jeans lusuh, tangan memegang lap basah—sepertinya habis mencuci piring.

Elang terdiam sejenak. Ada sesuatu dari gadis itu yang membuat ia lupa sejenak bagaimana berbicara—bukan karena kecantikan, meskipun ia memang cantik dengan cara yang sederhana dan tidak dibuat-buat, tapi karena mata itu. Mata yang melihatnya bukan sebagai mantan narapidana, bukan sebagai gembel, bukan sebagai sampah masyarakat. Hanya sebagai... manusia yang tampak lelah.

"Gue... eh, saya cari Bu Marni," suara Elang serak. "Stella yang suruh kesini."

Mata gadis itu berbinar. "Oh! Akang itu temannya Teh Stella? Alhamdulillah! Mamah emang lagi nungguin katanya mau ada yang dateng teh." Ia tersenyum—senyum yang tulus, tanpa perhitungan, tanpa agenda tersembunyi. Senyum yang sudah lama tidak Elang lihat. "Mangga, mangga silakan masuk atuh. Meni capek pisan Akang mah, katingalna."

Elang mengikutinya masuk. Warung kecil dengan empat meja, dapur terbuka di belakang, dan seorang wanita paruh baya dengan kerudung bunga-bunga sedang menggoreng tempe. Wanita itu menoleh, wajahnya yang penuh kerutan berubah menjadi senyum hangat.

"Akang Elang?" tanya wanita itu—Bu Marni, jelas. "Teh Stella udah bilang. Alhamdulillah, tos dateng. Ieu pasti capek pisan ti Jakarta mah, jauh kitu."

"Iya Bu, saya Elang," katanya pelan, tidak terbiasa dengan kehangatan ini, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Anya, buatin teh panas dulu. Tah, liat Akangna meni pucat kitu." Bu Marni mengelap tangannya di apron. "Akang tos dahar? Belum kan? Ayeuna geuning jam dua, pasti keneh keuheul perutna mah."

Sebelum Elang bisa menolak—karena ia tidak punya uang, tidak punya apa-apa untuk membayar—Bu Marni sudah menyiapkan piring dengan nasi hangat, tempe goreng, tahu, dan sayur asem yang berasap. Aroma itu menyerang indra Elang dengan kejam, mengingatkannya bahwa ia adalah makhluk biologis yang membutuhkan makanan, bukan hanya mesin dendam yang berjalan.

"Bu, saya... saya nggak bisa bayar sekarang," kata Elang dengan susah payah, harga diri dan kebanggaan yang tersisa bentrok dengan kelaparan yang nyata.

"Saha nu nanya bayar?" Bu Marni menatapnya dengan mata yang sama jernihnya dengan anaknya. "Akang dateng jauh-jauh, tamu Allah atuh. Eta mah rezeki urang. Mangga, tuang heula. Ngobrol ti hareup mah, engke mun kenyang."

Elang duduk. Menatap piring itu dengan mata yang tiba-tiba terasa panas—bukan karena sedih, tapi karena sesuatu yang lebih kompleks: rasa bersyukur yang bercampur dengan malu, kehangatan yang bercampur dengan tidak percaya, dan perasaan aneh bahwa mungkin—hanya mungkin—tidak semua manusia jahat.

Ia makan perlahan. Setiap suapan terasa seperti berkah. Nasi yang pulen, tempe yang renyah, sayur asem yang asam segar—makanan sederhana yang tidak ada di menu restoran mewah, tapi entah kenapa lebih enak dari semua steak wagyu yang pernah ia santap di kehidupan lamanya.

Anya duduk di seberangnya, menyeruput teh dengan mata yang sesekali melirik dengan rasa ingin tahu yang tidak disembunyikan.

"Akang ti Jakarta, nya?" tanyanya dengan aksen Sunda yang kental tapi tidak berlebihan—bukan bahasa Sunda penuh, hanya logat yang membuat kata-kata terdengar lebih lembut. "Tos lami di dieu? Maksudna di Pangalengan?"

"Baru sampe tadi," jawab Elang. "Pertama kali ke sini."

"Ohh." Anya mengangguk. "Keliatan mah, Akang teh asa... gimana ya, capek pisan. Tapi teu cuma capek fisik teh, asa capek jiwa gitu. Mamah suka bilang, mata itu cermin hate. Mata Akang teh asa... sedih."

Elang berhenti mengunyah. Tidak ada yang pernah—tidak ada yang *pernah*—melihatnya dengan sedetail itu dan mengatakannya dengan sejujur itu. Di Jakarta, orang melihat apa yang ingin mereka lihat: kesuksesan, uang, status. Tidak ada yang benar-benar melihat *dia*.

"Maaf, Akang. Anya mah emang suka ngomong teu dipikir mah. Teh Stella suka bilang Anya teh polos kareueun." Ia tertawa kecil—tertawa yang terdengar seperti lonceng kecil, ringan dan tulus.

"Nggak apa-apa," Elang menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia maksudkan. "Lo... eh, kamu bener kok. Gue emang capek. Capek banget."

Bu Marni kembali dengan segelas teh panas tambahan. "Akang nyari kerjaan, nya? Teh Stella bilang Akang mau mulai lagi dari nol. Di dieu mah nggak ada kerjaan gedhe-gedhe teh. Paling bantuin di warung urang atuh. Atau di kebun teh. Upahna teu seberapa, tapi lumayan lah buat hidup sederhana mah."

Mulai dari nol. Kata-kata itu bergema. Dulu Elang membangun Garuda Investama dari nol—tapi nol waktu itu berbeda. Nol dengan mimpi besar, dengan energi muda, dengan kepercayaan naif bahwa kerja keras selalu dibayar adil. Sekarang nol ini... nol tanpa mimpi, nol dengan luka yang belum sembuh, nol dengan dendam yang masih membara.

"Apa aja Bu," jawabnya. "Gue... saya bersedia kerja apa aja. Bantu di warung juga nggak masalah."

"Alhamdulillah." Bu Marni tersenyum. "Tapi Akang ngekos dimana? Nggak ada kenalan di dieu kan?"

Elang menggeleng. Ia bahkan tidak memikirkan itu. Ia hanya... datang. Tanpa rencana. Tanpa persiapan. Seperti orang yang lari dari kebakaran dan baru sadar ia tidak tahu mau lari kemana.

"Ieu mah!" Anya berseru tiba-tiba. "Kamar di lantai atas kan kosong teh, Mah! Tos tilu bulan teu aya nu ngontrak mah. Bisa Akang pake atuh. Murah kok, mun Akang kerja di warung mah bisa dikurangin ti gaji."

Bu Marni berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Nya kitu atuh. Tos lah nggak masalah. Kamarna mah sederhana pisan, Kang. Tapi bersih kok. Aya kasur, lemari kecil, kamar mandi dalem. Cukup lah buat istirahat."

Istirahat. Kata itu terdengar asing. Elang tidak tahu kapan terakhir ia benar-benar istirahat—bukan tidur karena terpaksa, tapi istirahat karena merasa aman.

"Terima kasih Bu," katanya, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia benar-benar merasakan rasa terima kasih itu, bukan hanya mengucapkannya sebagai formalitas.

Kamar di lantai dua memang sederhana—tiga kali tiga meter, cat dinding putih yang sudah menguning, kasur single dengan seprai bersih beraroma matahari, lemari kayu tua dengan pintu yang sedikit miring, jendela kecil yang menghadap ke kebun teh. Tidak ada AC, hanya kipas angin. Tidak ada TV. Tidak ada WiFi. Tidak ada apa-apa.

Tapi ada kehangatan.

Kehangatan yang tidak datang dari pemanas ruangan atau teknologi, tapi dari fakta sederhana bahwa ada orang yang peduli—walaupun ia orang asing, walaupun ia datang tanpa apa-apa, walaupun ia tidak bisa menawarkan apa-apa sebagai balasan.

Elang meletakkan tas di lantai. Duduk di pinggir kasur yang lebih empuk dari kasur penjara meskipun lebih keras dari kasur apartemen dulu. Menatap jendela yang menunjukkan langit sore Pangalengan—jingga lembut bercampur ungu, bukan jingga kotor bercampur abu-abu seperti Jakarta.

Ia berbaring. Menutup mata. Dan untuk pertama kalinya sejak keluar penjara—untuk pertama kalinya dalam tiga tahun—ia tidur. Benar-benar tidur. Bukan tidur setengah sadar dengan satu mata terbuka waspada pada bahaya. Bukan tidur gelisah dengan mimpi buruk tentang pengkhianatan. Tapi tidur yang dalam, tidur yang menyembuhkan, tidur yang membuat tubuh ingat bahwa ia masih bisa merasa aman.

Ketika ia terbangun, langit sudah gelap. Bintang-bintang terlihat jelas—tidak seperti Jakarta yang langitnya selalu tertutup polusi. Di Pangalengan, bintang-bintang seperti lubang-lubang kecil di kain hitam, membiarkan cahaya dari dunia lain menetes masuk.

Ia mendengar suara adzan dari masjid kecil yang ia lewati tadi—suara yang bergema lembut di lembah, tidak keras dan memaksa seperti di Jakarta, tapi lembut seperti undangan, bukan perintah.

Maghrib. Elang bangkit, mencuci muka di kamar mandi kecil. Menatap cermin—wajahnya masih sama, masih kurus, masih berjanggut, tapi entah kenapa sedikit lebih... hidup. Seperti ada warna yang kembali, walau hanya setitik.

Ia turun ke bawah. Warung sudah tutup, tapi ada cahaya dari belakang—dapur rumah. Ia mendengar suara obrolan, tawa kecil.

"Akang!" Anya muncul dengan senyum. "Tos bangun? Asa seger teu?"

"Iya, lumayan," jawab Elang. Dan itu bukan kebohongan.

"Alhamdulillah. Ieu waktuna maghrib teh. Akang mau sholat jamaah teu? Anya sama Mamah mau ke masjid. Deket kok, lima menit jalan kaki mah."

Sholat jamaah. Kapan terakhir ia sholat jamaah? Sebelum penjara? Atau bahkan sebelum itu—ketika ia masih CEO yang sibuk, yang sholat hanya sebagai pencitraan di kantor agar terlihat religius di depan klien muslim?

"Gue... nggak bawa mukena... eh, sarung," katanya canggung.

"Mamah aya punya Bapa dulu atuh. Almarhum. Akang pake aja, nggak masalah." Anya mengulurkan sarung cokelat dan peci putih sederhana. "Ayeuna, mangga atuh. Daripada sholat sendiri mah."

Mereka berjalan bertiga ke masjid kecil—Bu Marni, Anya, dan Elang. Jalan setapak tanah dengan lampu-lampu kecil di pinggir. Udara dingin menggigit tapi tidak tidak menyakitkan, lebih seperti pelukan yang ketat.

Masjid itu sangat sederhana—lantai karpet hijau usang, mimbar kayu, lampu neon yang sedikit kedip-kedip. Tapi penuh dengan orang—bapak-bapak tua dengan sarung dan peci, anak-anak kecil yang berlarian sebelum sholat dimulai, beberapa pemuda.

Elang berdiri di shaf belakang. Tidak percaya diri untuk maju—merasa ia tidak pantas berada di shaf depan bersama orang-orang yang mungkin sholatnya lebih baik, lebih tulus, lebih bersih dari dosa.

Iqomah dikumandangkan. Suara yang membuat jantung Elang berdetak lebih cepat—bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih dalam, seperti memori kuno yang terkubur tiba-tiba digali.

"Allahu Akbar."

Ia mengangkat tangan. Berdiri tegak. Dan dalam keheningan antara takbir dan bacaan Al-Fatihah, ia merasakan sesuatu yang aneh: ketenangan. Bukan ketenangan yang membuatnya lupa pada dendam atau rasa sakit. Tapi ketenangan yang membuat ia ingat bahwa ia lebih dari hanya dendam dan rasa sakit. Bahwa ia masih manusia. Masih punya pilihan.

Sujud. Dahi menyentuh karpet yang berbau wangi khas masjid—campuran dupa dan keringat dan doa. Di sujud itu, untuk beberapa detik, Elang tidak memikirkan Brian atau Zara. Tidak memikirkan penjara atau pengkhianatan. Ia hanya... ada. Hanya bernapas. Hanya merasakan dahi di lantai dan jantung yang berdetak pelan.

Setelah salam, imam memberikan tausiyah singkat. Tentang kesabaran. Tentang cobaan. Tentang bagaimana Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.

"Tapi ingat," kata imam tua itu dengan suara yang gemetar tapi tegas, "cobaan bukan hukuman. Cobaan itu undangan. Undangan untuk kembali. Undangan untuk lebih kuat. Undangan untuk lebih baik."

Kata-kata itu menggantung di udara. Elang mendengar, tapi belum sepenuhnya memahami. Bagaimana cobaan yang menghancurkan seluruh hidupnya bisa menjadi undangan? Undangan untuk apa?

Mereka berjalan pulang dalam keheningan yang nyaman—bukan keheningan canggung, tapi keheningan orang yang tidak perlu mengisi setiap detik dengan kata-kata.

"Akang," Anya berkata pelan ketika mereka hampir sampai warung, "besok subuh yuk sholat jamaah lagi. Subuh mah paling afdol. Paling tenang. Asa deket banget sama Allah teh."

Elang menatapnya. Gadis ini—gadis asing yang baru ia kenal beberapa jam—berbicara tentang kedekatan dengan Allah dengan kepastian yang membuat Elang iri. Ia ingin merasakan itu. Ingin merasakan kepastian itu. Ingin merasakan kedekatan itu.

"Gue nggak yakin bisa bangun subuh," katanya jujur. "Udah lama nggak... disiplin kayak gitu."

"Yaudah atuh, Anya ketok pintuna aja. Jangan kuatir mah, Anya teu galak kok." Ia tertawa—tertawa yang membuat sesuatu di dada Elang yang sudah lama membeku mulai mencair sedikit. Hanya sedikit. Tapi cukup untuk terasa.

Malam itu, Elang berbaring di kasur sederhana itu dengan pikiran yang berputar. Ia datang ke Pangalengan untuk... apa sebenarnya? Melarikan diri? Bersembunyi? Memulai lagi?

Atau mungkin—dan ini yang membuatnya tidak bisa tidur—mungkin ia datang untuk menemukan sesuatu yang sudah lama hilang. Bukan uang. Bukan status. Bukan bahkan dendam.

Tapi dirinya sendiri. Versi dirinya yang tidak dirusak oleh pengkhianatan. Versi yang masih percaya bahwa hidup bisa punya makna di luar kesuksesan dan balas dendam.

Adzan subuh membangunkannya—atau mungkin ia tidak pernah benar-benar tidur nyenyak, hanya terlelap sebentar-sebentar. Suara itu bergema lembut dari masjid, bercampur dengan suara ayam berkokok dan angin dingin yang menggoyangkan jendela.

Ketukan di pintu. Lembut tapi jelas.

"Akang, subuh," suara Anya dari luar. "Anya tunggu di bawah ya."

Elang bangkit. Tubuh masih lelah tapi ada sesuatu yang mendorongnya—bukan kewajiban, bukan rasa bersalah, tapi... rasa ingin tahu, mungkin. Atau harapan kecil yang takut untuk mengakui dirinya sebagai harapan.

Ia turun. Anya sudah menunggu dengan mukena putih dan senyum pagi yang terlalu cerah untuk jam 4.30 pagi.

"Alhamdulillah, Akang mau ikut. Yuk atuh, nggak usah wudhu lagi kan? Tos wudhu semalam?"

Elang menggeleng. "Gue wudhu lagi aja. Biar... seger."

Wudhu dengan air dingin Pangalengan seperti ditampar pelan-pelan sampai sadar. Setiap basuhan membawa kesadaran baru: ini nyata. Ia di sini. Ia masih hidup. Ia masih punya pilihan.

Masjid subuh lebih sepi dari maghrib—hanya sekitar sepuluh orang. Tapi keheningannya lebih dalam. Seperti dunia sedang menahan napas, menunggu matahari membawa hari baru.

Elang berdiri di shaf. Mengangkat tangan untuk takbir. Dan di detik itu—di detik sebelum imam memulai bacaan—ia berbisik sangat pelan, hampir tidak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri:

"Ya Allah... kapan terakhir aku sholat tulus? Bukan karena pencitraan. Bukan karena takut. Tapi karena... aku pengen dekat sama Kamu."

Ia tidak tahu jawaban itu. Tapi mungkin, mungkin subuh ini adalah awalnya. Awal dari sesuatu yang berbeda. Awal dari jalan yang tidak ia pahami tapi mulai ia rasakan.

Awal dari bangkit yang bukan hanya tentang dendam, tapi tentang menjadi utuh lagi.

---

**[Bersambung ke Bab 6]**

1
Dessy Lisberita
aku kok suka nya elang sama. stella ya thoor
Dri Andri: sayangnya elang udah jatuh cinta sama anya
total 1 replies
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: oke simak terus yaa
total 1 replies
Rizky Fathur
hancurkan Brian Thor sehancur hancur Thor bongkar semua kebusukannya Brian Thor jangan bikin elang naif memaafkan Brian pas Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang berbisik kepada Brian Brian keluargamu bagiamana bikin di sini Brian sampai memohon jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli Dan tertawa jahat Thor hahahaha
Dri Andri: perlahan aja ya😁k
total 2 replies
Rizky Fathur
Thor cepat bongkar kebusukan Brian Thor bikin elang kejam kepada musuhnya musuhnya bantai Sampai ke akar akarnya bersihkan nama baiknya elang Thor bikin di sini sifatnya jangan naif Thor
Rizky Fathur
cepat bantai Brian dengan kejam Thor bongkar semua kebusukannya ke media Thor bikin elang bersihkan namanya Dan Ambil lagi semua hartanya bikin elang tuntut balik orang yang melaporkannya dulu Dan yang memfitnahnya dulu dengan tuntutan puluhan milyar bikin elang kejam kepada musuhnya Thor kalau perlu tertawa jahat dan kejam berbicara akan membantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya kepada elang bikin elang tertawa jahat hahahaha Brian aku tidak perduli habis itu pukulin Brian sampai pingsan
Dessy Lisberita
lanjut
Dri Andri: gaskeun
total 1 replies
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya seru cepat buat elang Ambil kembali asetnya bongkar kebusukan Brian bikin elang kejam Thor sama Brian bilang akan bantai keluarganya Brian bikin Brian memohon ampunan jangan libatkan keluarganya bikin elang tidak perduli bikin elang tertawa jahat Thor
Rizky Fathur: bikin elang kejam Thor bongkar kebusukan Brian ke media bersihkan nama baiknya elang Thor bikin elang tuntut balik yang memfitnahnya Dan menjebaknya itu dengan tuntutan berapa ratus Milyar Thor
total 2 replies
Dessy Lisberita
bangkit lah elang
Dessy Lisberita
jngan terlalu percaya sama saudara ap lagi sama orang asing itu fakta
Rizky Fathur
lanjut update thor ceritanya bikin elang menang bikin Jefri kalah Thor kalau perlu Hajar Jefri sampai luka parah
Dri Andri: gas bro siap lah perlahan aja ya makasih udah hadir
total 1 replies
Kisaragi Chika
bentar, cepat banget tau2 20 chapter. apa datanya disimpan dulu lalu up bersamaan
Dri Andri: hehehe iyaa
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!