Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 > Harga Yang Harus Dibayar
Malam hari di kediaman Varendra terasa lebih dingin dari biasanya. Serene Avila berdiri di balik tirai kamar, memandangi taman luas yang diterangi lampu-lampu temaram. Daun-daun bergoyang pelan diterpa angin, menciptakan bayangan panjang di tanah... bayangan yang entah mengapa terasa seperti jeruji penjara. Ia mengusap lengannya sendiri, mencoba menenangkan getaran yang belum juga reda sejak pertemuan sore tadi.
Keluarga Raiden. Neneknya. Tatapan wanita itu masih terpatri jelas di ingatan Serene... tatapan yang tidak melihatnya sebagai manusia, melainkan sebagai masalah yang harus dibereskan. “Menikah…” Kata itu berputar di kepalanya seperti mantra terkutuk.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar diketuk. Serene menoleh, jantungnya langsung berdebar. “Masuk.”
Raiden berdiri di ambang pintu. Jasnya sudah dilepas, kemejanya sedikit terbuka di bagian leher. Wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, seolah beban yang ia pikul tak hanya soal bisnis. “Aku mengganggumu?” tanyanya.
Serene menggeleng. “Tidak.”
Raiden masuk dan menutup pintu perlahan. Hening menyelimuti mereka. Tidak ada kemarahan. Tidak ada pertengkaran. Justru itulah yang membuat Serene semakin gelisah.
“Aku minta maaf,” ucap Raiden.
Serene menoleh cepat. “Untuk apa?”
“Untuk keluargaku,” jawabnya jujur. “Dan untuk dunia yang menyeretmu masuk tanpa izin.”
Serene tersenyum kecil, pahit. “Aku pikir aku sudah cukup kuat menghadapi hidup. Tapi ternyata… aku salah.”
Raiden mendekat beberapa langkah. “Kau lebih kuat dari yang kau kira.”
“Tidak,” bantah Serene lirih. “Jika aku kuat, aku tidak akan hampir menghilangkan anak-anakku sendiri.”
Kalimat itu menghantam Raiden lebih keras dari apa pun. Ia terdiam. “Aku tidak menyalahkanmu,” lanjut Serene cepat, seolah takut Raiden salah paham. “Aku hanya… jujur pada diriku sendiri.”
Raiden menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, sorot matanya tidak dipenuhi dominasi—melainkan keraguan.
“Nenekku tidak akan berhenti,” katanya. “Media juga tidak akan diam jika mereka tahu.”
Serene memejamkan mata. “Jadi… pernikahan adalah solusi mereka.”
“Ya.”
“Dan solusi itu akan menghancurkan hidupku,” ucap Serene pelan.
Raiden menghela napas panjang. “Aku tidak akan memaksamu.”
Serene tertawa kecil. “Tapi dunia akan memaksaku, bukan?”
Raiden tidak menjawab.
Jawaban itu sudah cukup.
***
Keesokan harinya...
Berita mulai bergerak lebih cepat dari dugaan. Serene sedang sarapan ketika pelayan menyerahkan tablet dengan wajah cemas. “Tuan Raiden meminta Nona melihat ini.”
Di layar terpampang judul berita ekonomi daring: PEWARIS VARENDRA CORP DIKABARKAN MENYEMBUNYIKAN WANITA MISTERIUS DI KEDIAMANNYA
Tangan Serene gemetar usah melihat itu. Ia menggulir layar. Foto mobil yang mengantarnya ke kampus terpampang jelas, meski wajahnya sedikit buram. Namun cukup untuk memicu spekulasi.
“Cepat sekali…” bisiknya.
Raiden masuk ke ruang makan dengan ekspresi dingin. “Aku sudah menduga.”
“Ini baru rumor,” kata Serene. “Bagaimana jika—”
“Rumor bisa menghancurkan perusahaan,” potong Raiden tenang. “Dan bisa menghancurkanmu.”
Serene menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak pernah meminta semua ini.”
Raiden menatapnya balik. “Aku tahu.”
Hening kembali tercipta.
“Ada satu cara untuk menghentikan ini,” lanjut Raiden.
Serene menegang. “Pernikahan.”
Raiden mengangguk pelan.
“Jika aku setuju,” tanya Serene dengan suara bergetar, “apa yang akan kudapat?”
Raiden terdiam sejenak sebelum menjawab. “Perlindungan. Status. Masa depan anak-anak itu.”
“Dan cintamu?” Serene bertanya tanpa sadar.
Raiden membeku.
Waktu seolah berhenti.
“Cinta bukan sesuatu yang bisa kujanjikan,” jawabnya jujur. “Aku tidak ingin berbohong padamu.”
Jawaban itu menusuk, tapi anehnya… Serene lebih menghargainya daripada janji palsu.
“Aku butuh waktu,” kata Serene akhirnya.
Raiden mengangguk. “Aku memberimu waktu. Tapi tidak banyak.”
***
Malam hari...
Serene tidak bisa tidur. Ia duduk di ranjang, memeluk lututnya, menatap gelap. Tangannya kembali mengusap perutnya. Gerakan refleks yang kini terasa begitu alami.
“Jika aku menikah,” bisiknya, “aku akan kehilangan diriku sendiri.”
Namun jika tidak… Ia akan kehilangan segalanya.
Ceklek!
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka pelan. Raiden berdiri di sana, wajahnya tegang. “Ada apa?” tanya Serene cemas.
Raiden melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Kau harus tahu sesuatu.”
“Apa?”
“Nenekku tidak hanya menekan dengan kata-kata,” ujar Raiden rendah. “Ia sudah menyiapkan calon istri lain.”
Dunia Serene runtuh seketika.
“Calon… istri?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Putri rekan bisnis,” lanjut Raiden. “Pernikahan strategis. Bersih. Aman.”
Serene tertawa pelan, getir. “Jadi aku hanya… masalah sementara.”
Raiden menatapnya tajam. “Tidak. Kau ibu dari anak-anakku.”
“Dan itu saja,” balas Serene cepat.
Raiden mengepalkan tangannya. “Kau ingin aku mengatakan apa?”
Serene berdiri, air mata mengalir bebas. “Aku ingin tahu apakah aku berarti bagimu… atau hanya kewajiban.”
Raiden terdiam lama. Jawaban itu… tidak pernah datang. Serene menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri: “Jika aku harus menikah demi anak-anakku, aku ingin melakukannya atas keputusanku sendiri.”
Raiden menatapnya terkejut.
“Bukan karena tekanan keluargamu,” lanjut Serene. “Dan bukan karena ancaman media.”
Raiden mendekat. “Apa maksudmu?”
Serene menatapnya lurus, penuh keberanian yang dipaksakan. “Aku akan menikah… jika kau memilihku. Bukan karena terpaksa. Tapi karena kau memang menginginkanku.”
Keheningan memekakkan telinga. Raiden menatap Serene seolah melihatnya untuk pertama kali. Pilihan itu… berbahaya. Jika ia memilih Serene, ia akan berperang dengan keluarganya sendiri.
Jika tidak… ia akan kehilangan wanita yang mengandung anak-anaknya.
“Aku akan menjawabmu,” kata Raiden akhirnya, suaranya rendah dan serius. “Tapi bukan malam ini.”
Serene mengangguk, menahan air mata. Raiden berbalik pergi. Namun sebelum keluar, ia berhenti.
“Serene,” panggilnya.
“Ya?”
“Jika aku memilihmu,” ucap Raiden perlahan, “tidak ada jalan kembali.”
Pintu tertutup.
Serene berdiri sendiri di kamar besar itu, napasnya tersengal. Di dadanya, harapan dan ketakutan bertabrakan hebat. Dan jauh di luar sana, keputusan Raiden Varendra akan menentukan segalanya— apakah Serene akan menjadi istri seorang konglomerat… atau hanya wanita yang harus disingkirkan demi kekuasaan.
Kata-kata pria itu masih terngiang jelas di kepalanya.Jika aku memilihmu, tidak ada jalan kembali. Serene berdiri kaku di tengah kamar. Tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan napas yang terasa berat. Ia perlahan duduk di tepi ranjang, lalu menunduk, membiarkan air mata jatuh tanpa suara.
Ia tidak menangis karena cinta. Ia menangis karena pilihan. Pilihan yang bahkan tidak pernah ia minta, namun kini harus ia tanggung dengan seluruh hidupnya. “Apa aku egois…” bisiknya lirih, “…jika aku ingin dipilih?”
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dalam hidupnya, Serene selalu terbiasa bertahan sendiri. Ia tidak pernah berharap pada siapa pun. Tidak pernah menggantungkan masa depan pada orang lain.
Namun sekarang… dua kehidupan kecil tumbuh di dalam tubuhnya. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak lagi bisa hanya memikirkan dirinya sendiri.
***
Di sisi lain rumah, Raiden Varendra berdiri di ruang kerjanya yang luas. Jendela kaca dari lantai ke langit-langit memperlihatkan gemerlap kota malam hari, namun pikirannya jauh dari keindahan itu. Tangannya menekan meja kerja. Wajah Serene terus muncul di benaknya—tatapan matanya yang rapuh namun keras kepala, caranya menahan tangis, suaranya yang bergetar ketika mengatakan satu kalimat yang menghantam hatinya: Aku ingin kau memilihku.
Raiden menghembuskan napas berat. Ia sudah terbiasa mengambil keputusan besar. Akuisisi perusahaan, merger bernilai triliunan, memecat direksi tanpa ragu. Semua itu mudah.
Namun keputusan ini… Mengorbankan stabilitas Varendra Corp demi seorang wanita dan dua bayi yang bahkan belum lahir? Atau mengorbankan wanita itu demi kekuasaan dan nama besar keluarga? Ketika ia sedang berperang dengan pikirannya tiba-tiba ponselnya bergetar.
Nama Elviera Varendra muncul di layar. Raiden memejamkan mata sesaat sebelum menjawab. “Ya, Nek.”
“Kau terlalu lama diam,” suara Elviera terdengar dingin. “Aku harap kau tidak lupa tanggung jawabmu.”
“Aku tidak lupa.”
“Bagus,” jawab wanita itu singkat. “Karena keluarga Adrian sudah tiba di kota.”
Jantung Raiden berdegup lebih keras. “Mereka ingin bertemu. Besok malam. Makan malam formal.”
Raiden mengepalkan tangannya. “Aku belum memberi jawaban.”
“Waktu bukan milikmu, Raiden,” balas Elviera. “Dan gadis itu… hanya akan menjadi batu sandungan.”
Panggilan terputus.
Raiden menatap layar ponselnya lama. Untuk pertama kalinya, ia merasa muak dengan dunia yang ia bangun sendiri. Sorot matanya memerah seakan menahan kemarahan yang luar biasa.
***
Pagi hari...
Serene terbangun dengan mata sembab. Tidurnya tidak nyenyak. Mimpi buruk datang silih berganti... tentang rumah sakit, tentang gaun pengantin yang terasa seperti borgol, tentang bayi-bayinya yang menangis memanggilnya. Ia bangun perlahan, lalu mendapati secarik kertas di meja samping ranjang.
Tulisan Raiden: Aku harus pergi seharian. Jangan keluar rumah. Jika ada apa pun, hubungi aku- R.
Serene memandangi tulisan itu lama. Ia tidak tahu apakah harus merasa dilindungi… atau dikekang. Hari ini terasa panjang. Terlalu panjang.
Serene menghabiskan waktu di taman belakang, duduk di bangku kayu, membiarkan matahari menyentuh wajahnya. Tangannya sesekali mengusap perutnya, mencoba berdamai dengan kenyataan. “Kalau ibu menikah,” bisiknya pada bayi-bayinya, “itu bukan karena ibu lemah… tapi karena ibu ingin melindungi kalian.”
Namun suara lain di kepalanya berbisik kejam: Atau karena kau takut sendirian.
Pelayan datang membawa surat. Surat resmi. Serene membacanya dengan tangan gemetar. Undangan Makan Malam Keluarga Varendra & Keluarga Adrian.
Dadanya terasa sesak. Ini bukan undangan. Ini vonis. lututnya terasa lemas.
***
Malam hari...
Raiden kembali lebih larut dari biasanya. Serene menunggunya di ruang tamu, duduk tegak meski jantungnya berdetak tak karuan. Begitu Raiden masuk, tatapan mereka langsung bertemu. “Aku tahu kau sudah melihat undangan itu,” kata Raiden pelan.
“Jadi itu benar,” jawab Serene lirih. “Calon istrimu.”
Raiden berjalan mendekat. “Itu belum tentu.”
“Besok makan malam,” Serene tersenyum pahit. “Keluarga Adrian tidak datang hanya untuk makan, Raiden.”
Raiden terdiam.
“Apa aku harus hadir?” tanya Serene.
Raiden menatapnya lama. “Aku belum memutuskan.”
Jawaban itu membuat hati Serene jatuh semakin dalam.“Jika aku tidak hadir,” lanjut Serene pelan, “itu berarti kau sudah memilih mereka.”
Raiden menghela napas. “Serene—”
“Aku tidak menuntut,” potongnya cepat. “Aku hanya ingin kejujuran.”
Keheningan kembali tercipta. Raiden akhirnya berkata, “Aku akan memberimu jawabanku besok.”
Besok?
Satu hari lagi untuk menentukan nasibnya.
***
Malam semakin larut. Serene kembali ke kamarnya, tapi kali ini ia tidak menangis. Ia berdiri di depan lemari, menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis sederhana yang kini berada di rumah konglomerat. Mahasiswi biasa yang hamil anak pewaris kekayaan raksasa.
Ia membuka koper kecilnya. Di dalamnya, hanya ada beberapa pakaian dan dokumen penting. Tangannya berhenti. Ia mengerti satu hal dengan jelas: apa pun jawaban Raiden besok, hidupnya tidak akan pernah sama.
Dan jika ia harus terluka… ia ingin terluka dengan harga diri yang utuh. Serene menutup koper itu perlahan. Sedangkan di luar kamar, langkah kaki Raiden berhenti tepat di depan pintunya. Ia mengangkat tangan… ragu untuk mengetuk.
Di antara dinding-dinding megah kediaman Varendra, dua hati sama-sama terjebak dalam keputusan yang akan mengubah segalanya. Akankah Raiden memilih wanita yang mengandung anak-anaknya… atau memilih kekuasaan yang selama ini ia pertahankan dengan darah dan nama besar? Jawaban itu akan datang… namun, mungkin sudah terlambat.
***
Jawaban apa yang akan Raiden berikan pada Serene?
Stay tune