menceritakan tentang seorang murid pindahan yang bernama Kim hyun yang pindah ke sekolah barunya yang bernama sekolah SMA CSB (CENTRAL SPORT BUSAN), awalnya kehidupannya lancar namun tampaknya dia tidak terlalu mengetahui tentang sisi gelap sekolah ini beserta kota ini maka dari itu kim Hyun mau tak mau harus mencari tahu tentang sisi gelap sekolah ini dan kota ini agar dirinya bisa menjalani kehidupan yang normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilwa nuryansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Pukul 15:30. Bel sekolah berdentang, menandai berakhirnya hari. Meskipun Central Sport Busan (CSB) adalah sekolah khusus olahraga, mereka tetap harus mematuhi kurikulum dasar Kementerian Pendidikan.
Kim Hyun meregangkan leher dan bahunya. Kelelahannya hari ini bukan berasal dari pertarungan brutal dengan Jin Woo-jin kemarin, tetapi dari sesi pelajaran Sejarah Korea selama dua jam yang panjang.
"Astaga, kepalaku lebih sakit daripada sikut Jin Woo-jin," gumam Hyun sambil merapikan tasnya.
Min-ho, yang berjalan di sampingnya, tertawa kecil. "Itu risiko sekolah elit olahraga, Hyun. Kami harus pandai berolahraga dan pandai berpura-pura belajar. Syukurlah jadwalnya dipadatkan. Fokus utama sekolah adalah klub. Hari ini kita hanya belajar. Besok, kita sudah masuk sesi latihan khusus."
CSB memang unik. Jadwal mereka sengaja dipersingkat. Dari pukul 08:00 hingga 14:00 adalah sesi akademik, yang sering diabaikan oleh banyak atlet. Sisanya adalah latihan klub, tempat para petarung sejati menghabiskan waktu, yang juga menjadi tempat utama perebutan kekuasaan dan pembentukan geng.
Saat Hyun dan Min-ho berjalan keluar gerbang, Hyun merasakan ketegangan di antara siswa lain. Mereka berbisik, sesekali melirik Hyun. Kabar tentang jatuhnya petarung nomor tiga Geng 2-B telah menyebar cepat.
"Aku harus istirahat dari drama," kata Hyun pada Min-ho. "Aku akan mampir ke supermarket untuk membeli sesuatu yang dingin. Kau ikut?"
"Tidak, aku harus mengantar Dong-hoon pulang. Dia masih lemas," jawab Min-ho. "Hati-hati, Hyun. Aku rasa mata-mata Gyu-sik ada di mana-mana sekarang."
Hyun mengangguk. "Santai. Aku akan bersikap seolah aku hanya anak normal yang haus."
Kim Hyun berjalan beberapa blok ke supermarket kecil yang ramai di dekat kompleks apartemennya. Begitu masuk, udara dingin AC langsung menyambutnya. Ia berjalan ke bagian minuman, matanya menyapu deretan botol dan kaleng yang berwarna-warni.
"Cola... terlalu banyak gula. Jus Jeruk... terlalu manis. Teh gandum? Tidak, butuh sesuatu yang benar-benar dingin dan membersihkan."
Pikirannya akhirnya tertuju pada sebotol besar "Air Mineral Dingin" dengan label biru bersih. Tidak ada rasa, tidak ada warna, hanya kesegaran murni. Itu yang ia butuhkan untuk menghilangkan sisa stres dari kekerasan kemarin dan kebosanan pelajaran hari ini.
Hyun mengambil botol itu dan berjalan ke kasir.
Di belakang konter, seorang wanita paruh baya yang ramah, "Ahjumma Park", tersenyum hangat. "Oh, Hyun! Biasanya kau membeli susu. Hari ini air saja? Berat badanmu sudah ideal, Nak."
Hyun meletakkan botol itu di konter. "Annyeonghaseyo, Ahjumma. Hanya butuh sesuatu yang dingin hari ini. Cuaca di luar sudah mulai menghangat."
\*BEEP!\* Suara pemindai terdengar. "Tiga belas ratus won, Nak."
Hyun mengeluarkan uang kertas 5.000 won dari dompetnya. Ahjumma Park mengambilnya, menghitung kembaliannya dengan cepat, dan menyerahkannya kepada Hyun.
"Terima kasih. Semoga harimu menyenangkan, Hyun. Dan jangan terlalu banyak berkelahi di sekolah. Aku melihat memar di wajahmu." Ahjumma Park tersenyum khawatir.
"Tentu, Ahjumma. Aku akan mencoba," balas Hyun dengan senyum canggung, mengambil botol dan kembaliannya.
Hyun melangkah keluar dari supermarket. Sinar matahari sore terasa menyengat. Ia segera memutar tutup botol air dingin itu dan mengangkatnya. Air dingin mengalir deras ke tenggorokannya yang kering. Ia meminumnya dengan cepat, merasa lega. Dalam sekejap, setengah botol air itu lenyap.
Saat ia membalikkan badan untuk melanjutkan perjalanan pulang, sebuah suara tiba-tiba menusuk ketenangan sore hari.
"Tolong! Lepaskan aku!"
Suara itu adalah rintihan seorang wanita, terdengar putus asa dan tercekik. Suara itu disusul oleh tawa keras dan cemoohan vulgar dari beberapa pria. Sumbernya berasal dari gang sempit tepat di seberang jalan, di antara toko optik dan kedai tteokbokki yang tutup.
Awalnya, Hyun menahan diri. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjauhi masalah. Ini bukan urusanku. Ada polisi.
Namun, saat ia mengambil langkah pertama, suara perempuan itu meninggi.
"TIDAK MAU! Jangan sentuh aku! Pergi!"
Lalu terdengar suara cegukan yang menyakitkan. Itu adalah suara orang yang sedang dicekik dan memohon.
Insting moral dan kebenciannya terhadap penindasan mengalahkan keinginan untuk hidup damai. Ia mengencangkan genggaman pada botol air dingin yang tersisa di tangannya.
Hyun berbalik, matanya yang tenang kembali menjadi fokus tajam militer. Ia menyeberang jalan dan berjalan ke mulut gang yang gelap.
Pemandangan di dalamnya membuat darahnya mendidih.
Ada lima siswa laki-laki yang mengenakan seragam olahraga CSB yang sama dengannya, tetapi dengan tampilan yang jauh lebih urakan. Mereka mengelilingi seorang siswi perempuan yang mengenakan seragam sekolah lain, yang kini sedang menangis dan bersandar di dinding.
Salah satu dari mereka, seorang pria besar dengan kepala botak licin mengkilap dan mengenakan jaket varsity klub Boxing mencengkeram lengan gadis itu.
"Ayolah, Sayang! Jangan jual mahal! Kami hanya ingin bersenang-senang di Karoke. Kami akan mentraktirmu," bujuk si Botak dengan senyum jijik.
"Aku bilang tidak! Aku bukan wanita murahan! Lepaskan aku!" teriak gadis itu, mencoba menarik tangannya.
"Berani-beraninya kau menolak undangan Geng CSB?!" si Botak itu tertawa. "Lihat, teman-temanmu itu sudah menunggu!"
Kim Hyun berdiri di mulut gang, menyaksikan pemandangan kejam itu. Lima anggota CSB, semuanya tampak mengenakan jaket yang mengindikasikan mereka berasal dari klub-klub seni bela diri yang berbeda, mengelilingi seorang siswi yang ketakutan.
Pria Botak Licin yang memimpin, yang terlihat mengenakan jaket tim Boxing, mencengkeram erat pergelangan tangan siswi itu. Wajahnya dipenuhi minyak dan keringat.
"Dengar, Nona Manis," bujuk si Botak, suaranya dipenuhi ancaman terselubung. "Kami bukan orang jahat. Kami hanya ingin berkaraoke. Kau tahu, bersenang-senang sebentar. Malam ini kau akan aman, kami janji. Anggap saja ini sebagai penghormatan karena bertemu dengan Raja Jalanan dari CSB."
Siswi itu, yang seragamnya sedikit kusut dan wajahnya basah oleh air mata, menggeleng keras.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku harus pulang sekarang! Lepaskan aku!" rintihnya, mencoba melepaskan cengkeraman.
Anggota geng lain, seorang pria tinggi dengan gigi kelinci dan bekas luka di alis, tertawa. "Ayolah, kami tidak akan menyakitimu, kecuali kalau kau membuat kami marah. Kau mau membuat kami marah, Nona?"
Si Botak mengencangkan cengkeramannya. "Kau harus mengerti. Orang-orang sepertimu seharusnya bersyukur kami memilihmu. Jangan buang-buang waktu kami!"
Siswi itu tiba-tiba mengumpulkan keberanian, matanya yang marah menatap lurus ke wajah si Botak.
"Aku lebih baik mati daripada pergi bersama sampah sepertimu!" bentaknya. Ia kemudian mengarahkan penghinaan yang paling menyakitkan, bernada komedi pahit. "Dan kau! Lihatlah kepalamu! Botak licin dan mengkilap! Kau tampak seperti bola billiard yang dilewati air got! Kau pikir kau bisa menakutiku?"
Senyum si Botak seketika lenyap, digantikan oleh ekspresi murka yang mengerikan. Hinaan tentang kepalanya adalah titik terlemahnya. Empat temannya langsung terdiam.
"Kau... Kau Berani ..." geram si Botak, urat di lehernya menonjol.
Dalam ledakan amarah, si Botak melepaskan pergelangan tangan gadis itu, dan dalam gerakan yang sangat cepat dan kejam, ia meraih leher gadis itu dengan lengan kanannya, menerapkan **cekikan siku** (*chokehold*) yang kuat.
Siswi itu langsung terbatuk dan tersedak. Wajahnya memerah, tangannya mencakar lengan si Botak, mencoba melepaskan diri.
"Sekarang, kau ikut kami! Dan kau akan membayar mahal karena telah menghinaku, jalang!" teriak si Botak, menarik gadis itu ke dalam gang yang lebih gelap.
Gadis itu merintih, suaranya nyaris hilang, hanya menghasilkan *ehekk-ehekk* yang menyedihkan. Ia berusaha menjerit minta tolong, tetapi cekikan itu menghalangi semua suara. Air mata mengalir deras. Keputusasaan membanjirinya.
Para berandalan lainnya tertawa, senang melihat si Botak mendapatkan kembali kendalinya.
"Itu pelajaran yang bagus untuknya, Bos!" seru salah satu dari mereka.
Saat mereka bersiap menarik gadis itu lebih dalam ke kegelapan, tawa mereka tiba-tiba terhenti.
Sebuah suara datang dari belakang mereka, tenang, santai, namun sangat tajam.
"Apakah kalian terlalu lama menjomblo sehingga harus melakukan ini?"
Lima berandalan itu langsung membeku. Mereka berbalik serempak, mata mereka menyipit, marah karena diganggu.
Di mulut gang, berdiri Kim Hyun, memegang botol air dingin yang isinya tinggal separuh. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan amarah, hanya kekecewaan yang tenang—seperti seorang guru yang melihat murid-muridnya menipu ujian.
Si Botak, yang masih mencekik gadis itu, mendengus. "Siapa kau, bocah? Kau juga dari CSB? Kau mau jadi pahlawan murahan? Enyah dari sini, atau kami akan mematahkan semua gigimu dan memasukkannya ke dalam tasmu!"
Hyun menghela napas, gestur itu dipenuhi kelelahan yang nyata. Ia mengambil langkah maju.
"Aku Kim Hyun, Kelas 2-C. Aku tidak peduli kalian mau menjadi sampah atau berandalan," jawab Hyun. "Tapi kalian melakukannya di dekat tempat aku tinggal, dan ini membuat pemandangan soreku tidak menyenangkan. Lepaskan gadis itu." Ucap kim hyun dengan santai.
Pria gigi kelinci maju, mengepalkan tinjunya. "Hei! Kau tidak dengar? Kami bilang enyah Kami dari Geng Kelas 1! Kau mau mencari mati, Kakak Kelas?"
Hyun melihat jaket mereka. Memang, mereka semua terlihat muda, kemungkinan besar siswa Kelas 1 dari CSB. Mereka belum sepenuhnya memahami hirarki Kelas 2 dan 3, tetapi mereka sudah berani bertindak di luar sekolah.
Hyun mengangkat botol airnya sedikit, air di dalamnya bergoyang. Wajahnya datar, namun matanya memancarkan perintah yang tidak bisa dinegosiasikan.
"Aku tidak suka mengulanginya. Lepaskan dia. Sekarang."
Si Botak tertawa terbahak-bahak, tawanya terdengar kering dan kejam. "Dengar, kawan-kawan! Dia pikir dia siapa? Oke, Kim Hyun dari 2-C. Aku adalah Kang Min-soo Pimpinan Geng Kelas 1-B. Kau baru saja membuat kesalahan terbesar dalam hidupmu."
Kang Min-soo (si Botak) melepaskan cekikannya. Siswi itu ambruk ke tanah, terbatuk-batuk, segera merangkak menjauh.
Min-soo menunjuk Hyun, seringainya penuh ancaman. "Kami akan memberimu dua pilihan: Pertama, berlutut, minta maaf, dan kami akan membiarkanmu pergi dengan beberapa patah tulang. Kedua," ia mengepalkan tinjunya. "Kami akan menguburmu di gang ini, dan tidak ada yang akan tahu!"
Hyun menatap lima lawan di depannya. Matanya beralih ke siswi yang ketakutan. Ia telah melihat cukup kekerasan selama dua hari terakhir untuk tahu bahwa satu-satunya cara mengakhiri kekacauan ini adalah dengan kekerasan yang lebih efisien.
Hyun tersenyum, senyum yang sama dinginnya dengan air di botolnya. Ia melemparkan botol air itu ke tanah, air dingin memercik di aspal.
"Pilihan yang bagus," kata Hyun. "Aku akan memilih yang ketiga: Kalian semua yang akan berlutut."
Dengan itu, Kim Hyun mengambil kuda-kuda, siap menghadapi lima anggota geng Kelas 1.
Bersambung...