Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaring Jaring Semakin Menjeratnya
Hari-hari berlalu bagaikan mimpi buruk yang berulang bagi Dinda. Perasaan tidak nyaman itu semakin menggerogoti hatinya, seperti karat yang perlahan merusak besi. Perubahan sikap ayahnya terhadap Anton masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan, sebuah misteri yang membuatnya bertanya-tanya apakah ia mengenal ayahnya sendiri. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa ia hanya terlalu khawatir dan paranoid. Namun, semakin keras ia mencoba, semakin kuat pula perasaan ganjil itu menghantuinya, berbisik di telinganya bahwa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang sangat salah.
Namun, yang lebih membuatnya tertekan adalah desakan Riani yang semakin menjadi-jadi untuk segera menikah dengan Anton. Riani seolah menjadi juru bicara Anton, selalu menanyakan kapan tanggal pernikahan akan ditetapkan, dan selalu memiliki segudang alasan untuk meyakinkan Dinda bahwa mereka harus segera mengikat janji suci. Setiap kali Dinda mencoba mengelak, menunda pembicaraan, atau bahkan sekadar mengalihkan topik, Riani selalu punya jawaban yang siap memojokkannya, membuatnya merasa bersalah dan egois.
"Din, kenapa sih kalian berdua lama banget nentuin tanggal pernikahan? Kalian kan sudah direstui sama Bapakmu, semua urusan adat sudah disetujui, bahkan Ki Sentanu sudah memberikan hari baik. Apa lagi yang kalian tunggu? Nggak baik lho menunda-nunda sesuatu yang baik, apalagi ini menyangkut kebahagiaan kalian berdua dan restu dari orang tua. Nanti keburu basi, lho," tanya Riani suatu sore saat mereka sedang bersantai di beranda rumah Dinda, menikmati teh hangat dan pisang goreng yang renyah. Riani menatap Dinda dengan tatapan intens, seolah pernikahan Dinda dan Anton adalah proyek pribadinya yang harus segera diselesaikan.
Dinda menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia sebenarnya belum siap untuk menikah, jauh dari siap. Ia masih ingin menikmati masa lajangnya, mengejar impian-impiannya, dan yang terpenting, ia ingin mengenal Anton lebih jauh, lebih dalam, sebelum memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya bersamanya. Ia ingin memastikan bahwa Anton adalah pria yang benar-benar ia cintai, bukan hanya pria yang disetujui oleh ayahnya dan didorong oleh sahabatnya. Namun, ia tidak ingin mengecewakan Riani dan ayahnya, dua orang yang sangat ia sayangi dan hormati. Ia tahu bahwa mereka berdua sangat menginginkan ia segera menikah dengan Anton, dan ia merasa bersalah karena belum bisa memenuhi harapan mereka.
"Aku juga pengennya sih cepet nikah, Ri, sungguh. Tapi, kan semua butuh persiapan yang matang. Aku nggak mau nikah terburu-buru, terus nanti pernikahanku malah berantakan. Aku pengen pernikahanku nanti berjalan lancar, sempurna, dan menjadi kenangan indah seumur hidupku," jawab Dinda dengan nada hati-hati, berusaha mencari alasan yang paling masuk akal dan tidak menyinggung perasaan Riani.
"Persiapan apa lagi sih, Din? Kalian kan sudah lama pacaran, sudah saling mengenal luar dalam. Yang penting kan kalian berdua saling cinta, saling percaya, dan sudah direstui sama orang tua. Soal persiapan, itu bisa diurus sambil jalan, sambil nyicil. Lagian, semakin cepat kalian nikah, semakin cepat pula kalian bisa punya momongan. Bapakmu kan pengen banget punya cucu, Din, penerus keluarga. Kamu nggak kasihan sama Bapakmu kalau harus nunggu lama? Umur beliau kan juga nggak muda lagi," balas Riani dengan nada mendesak, seolah tahu betul bagaimana cara memainkan emosi Dinda dan membuatnya merasa bersalah.
"Iya, aku tahu, Ri. Tapi, kan nikah itu bukan cuma soal cinta dan restu orang tua. Ada banyak hal yang harus dipikirkan dan dipersiapkan. Soal keuangan, rumah tangga, masa depan anak-anak kita nanti. Aku nggak mau nikah terus nanti malah susah," kata Dinda, mencoba memberikan alasan yang lebih rasional.
Riani menghela napas. "Din, kamu terlalu idealistis. Kamu terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Cinta itu yang utama, Din. Kalau ada cinta, semua masalah pasti bisa diatasi. Soal keuangan, kalian kan berdua kerja, pasti bisa nabung. Soal rumah tangga, kalian bisa belajar sama orang tua atau teman-teman yang sudah menikah. Soal masa depan anak-anak, itu urusan nanti. Yang penting sekarang kalian nikah dulu, bahagiain Bapakmu, dan mulai bangun keluarga sendiri," kata Riani, berusaha meyakinkan Dinda dengan kata-kata yang terdengar klise namun ampuh.
Dinda terdiam, merasa semakin terpojok. Ia tahu bahwa Riani tidak akan menyerah sampai ia setuju untuk segera menikah dengan Anton. Ia merasa terjebak dalam jaring-jaring yang semakin lama semakin mengikatnya.
Selain Riani, Anton juga mulai menunjukkan sikap yang membuatnya tidak nyaman. Ia menjadi lebih posesif dan mengontrol, selalu ingin tahu ke mana Dinda pergi dan dengan siapa ia bertemu. Ia juga sering melarang Dinda untuk bertemu dengan teman-temannya, terutama teman-teman pria. Ia ingin Dinda selalu berada di dekatnya dan hanya fokus padanya.
"Din, kamu jangan terlalu sering keluar rumah ya. Aku nggak suka kamu keluyuran nggak jelas. Kamu kan calon istriku, seharusnya kamu di rumah aja, nemenin aku, masak buat aku, ngurusin aku," kata Anton suatu malam saat mereka sedang makan malam bersama di rumah Dinda. Anton menatap Dinda dengan tatapan serius, seolah ia sedang memberikan perintah.
Dinda mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan sikap Anton yang terlalu mengaturnya. Ia merasa seperti kehilangan kebebasannya, seperti menjadi tahanan di rumahnya sendiri.
"Kenapa sih, Mas? Aku kan cuma pengen ketemu sama teman-temanku. Aku juga butuh hiburan, butuh refreshing. Aku nggak bisa dong terus-terusan di rumah. Aku juga punya kehidupan sendiri," jawab Dinda dengan nada protes, berusaha membela diri.
"Aku nggak suka aja kamu terlalu sering ketemu sama teman-temanmu. Mereka itu cuma bikin kamu lupa sama aku. Lagian, kamu kan jadi istriku, kamu seharusnya aku, bukan teman-temanmu itu. Kamu harus belajar jadi istri yang baik, yang selalu ada buat suaminya, yang nurut sama suaminya," kata Anton, suaranya meninggi, menunjukkan nada tidak suka.
Dinda terkejut mendengar perkataan Anton. Ia tidak pernah menyangka bahwa Anton akan bersikap seperti itu. Selama ini, ia mengenal Anton sebagai pria yang baik, perhatian, dan pengertian. Tapi, sekarang ia melihat sisi lain dari Anton yang membuatnya takut dan kecewa.
"Mas, kok kamu ngomongnya gitu sih? Aku kan bukan robot yang bisa kamu atur-atur seenaknya. Aku juga punya perasaan, punya keinginan. Aku nggak mau dong nikah terus hidupku jadi terkekang," kata Dinda, air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*