NovelToon NovelToon
Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Elara Tawanan Istimewa Zevh Obscura

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Romansa Fantasi / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:695
Nilai: 5
Nama Author: Sibewok

Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.

Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.

Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.

Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 - Kebohongan Dan Keangkuhan

Di kediaman keluarga Elowen, udara terasa berat sejak siang itu. Ruangan utama yang biasanya dipenuhi suara diskusi tentang ladang, pedagang, dan urusan keluarga kini tenggelam dalam keheningan mencekam.

Ayah Elara mondar-mandir di lantai marmer, sorot matanya gelisah, jemari tangannya terus mengepal lalu mengendur. Pelayan pribadinya Elara, Heln, menunduk dalam-dalam, menyampaikan laporan yang sama untuk kesekian kalinya.

“Tuan… saya sudah mencari ke ladang bunga, ke kedai yang biasa nona kunjungi… bahkan ke tempat-tempat yang sering ia singgahi. Tapi… nona Elara tidak ada di Desa Osca.” Suaranya bergetar, penuh ketakutan.

Itu laporan ketiga belas hari ini. Dan sama sekali tidak membawa kabar baik. Setiap pelayan yang kembali dari pencarian hanya datang dengan jawaban kosong.

Wajah ayah Elara menegang, keningnya berkerut dalam, matanya menyipit menahan amarah. Heln hanya bisa menunduk, dada naik-turun, menyadari betapa tegangnya suasana itu.

Di kamar bagian dalam, ibunda Elara masih terus menangis. Suara isakannya menembus dinding, menghujam ke telinga semua yang ada di ruangan utama.

Beberapa pelayan perempuan berusaha menenangkan sang nyonya, namun tangisan itu tak kunjung mereda.

Ayah Elara menghentikan langkahnya, menatap pintu kamar istrinya yang tertutup rapat. Dari sorot matanya, ketegangan itu berubah jadi rasa sakit yang ditahan.

“Aku harus segera menemukannya…” bisiknya, hampir tak terdengar, namun cukup membuat semua pelayan di ruangan menahan napas.

Ia berbalik, menatap mereka dengan tajam, suaranya bergetar namun tetap tegas,

“Semuanya dengar baik-baik. Jangan sampai kabar hilangnya Elara ini terdengar keluar. Aku tidak ingin Pangeran Arons murka. Jaga rahasia ini, sekalipun dengan nyawa kalian. Dan terus cari… sampai kalian menemukannya!”

Para pelayan serempak mengangguk, meski sebagian wajah mereka pucat mendengar ancaman itu. Satu demi satu mereka segera bergegas, menyusuri desa hingga sore menjelang.

Kini hanya tersisa ayah Elara yang berdiri di tengah ruangan, tubuhnya membeku dalam keheningan. Tatapannya kosong, tetapi di dalamnya tersimpan badai rasa frustrasi.

“Elara…” suaranya pecah lirih.

“Kenapa kau membuat kekacauan? Dimana kau sebenarnya, putriku…?”

Suara itu terhenti, tenggelam dalam denting jam dinding yang terasa lebih keras dari biasanya.

Malam pun menurunkan kabut tipis di Desa Osca. Para pelayan berlarian kecil, menyalakan lentera, menyiapkan minuman, dan merapikan ruangan utama.

Bukan untuk menyambut Elara yang telah ditemukan, tapi semua karena kedatangan tamu yang tidak pernah mereka bayangkan malam ini. Pangeran Arons. Penguasa wilayah Utara.

Entah bagaimana, pria angkuh itu bisa masuk ke Osca tanpa satu pun pasukan Zevh menghentikannya. Jejak langkahnya bergaung di lantai marmer, setiap hentakan sepatu boots-nya seolah membawa tekanan yang membuat semua penghuni rumah menahan napas.

“Tuan muda… silakan duduk,” ucap Ayah Elara, menunduk hormat.

Namun Arons hanya berdiri, sorot matanya tajam, bibirnya melengkung tipis penuh kesombongan.

“Aku hanya ingin bertemu dengan calon istriku,” katanya, suaranya berat dan dingin, sama sekali tak mengizinkan bantahan.

Ayah Elara mengatur napas, lalu menanggapi dengan hati-hati.

“Tuan, putriku… sedang saya bujuk. Saya pastikan, besok putriku akan siap menghadap Anda.”

Sebuah suara lirih ikut terdengar dari arah belakang. Ibunda Elara melangkah maju, wajahnya sembab, kedua matanya masih memerah karena menangis.

“Seharian ini dia menangis, Tuan Arons. Kedua matanya bahkan tengah diobati oleh pelayan. Saya mohon Anda memahami kondisi putri kami…”

Arons menatap keduanya bergantian. Matanya yang dingin seperti bilah pedang, menguliti kebohongan yang disusun dengan rapuh. Keheningan panjang membuat jantung semua orang di ruangan itu berdegup lebih cepat.

Namun detik berikutnya, senyum tipis muncul di wajahnya.

“Baiklah. Karena kalian sudah berusaha meyakinkan putri kalian, maka aku akan kembali. Tapi ingat…” Suaranya mengeras, menembus dada siapa pun yang mendengarnya.

“Jaga calon istriku baik-baik. Aku tidak suka mendengar hal-hal yang tidak semestinya.”

Ia berbalik, jubahnya berkibar diterpa angin malam yang masuk dari pintu besar yang terbuka. Langkah-langkahnya menjauh, meninggalkan kediaman Elowen dengan aura ancaman yang masih menggantung di udara.

Ketika pintu akhirnya tertutup, semua pelayan melepaskan napas lega hampir bersamaan. Sang nyonya segera memeluk suaminya erat-erat, tubuhnya gemetar.

“Tenanglah…” bisiknya, seolah lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk Istrinya.

“Semuanya akan baik-baik saja…”

Namun di balik tatapan Ayah Elara yang mengeras, bayangan kekhawatiran justru semakin dalam. Karena ia tahu satu hal. Bila Arons menyadari Elara benar-benar hilang, maka badai yang sesungguhnya baru akan datang.

---

Sedangkan di desa Neval malam itu di sebuah penginapan. Lampu temaram menggantung rendah, memantulkan bayangan panjang di dinding kayu yang retak-retak.

Bau kayu terbakar dari perapian bercampur dengan aroma roti panggang yang samar merayap dari dapur.

Elara duduk di kursi kayu tua, wajahnya meringis sambil menekan perut yang kosong. Mata keemasannya yang tetap tajam meski tubuhnya lelah, menatap Zevh yang sejak tadi tak bergeming. Lelaki itu duduk tegap di depan meja, sibuk memainkan catur bersama Veron.

“Ini sudah ke delapan puluh kali tawananmu minta makan,” gumam Veron sambil tertawa kecil, mengetuk-ngetuk sisi papan catur seakan menghitung permintaan Elara.

Sorot mata Elara beralih dari Veron ke Zevh, menusuk bagai bilah pisau.

“Dia masih bisa menatap tajam. Artinya tenaganya belum habis,” ucap Zevh datar, sekilas menoleh padanya lalu kembali pada bidak catur.

Elara berdiri, langkahnya menghentak. Ia mendekati meja dan...

Brakk!

Tangannya mengguncang papan catur. Pion kecil berjatuhan, bergulir, beberapa bahkan melompat ke lantai.

Veron langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, tawa pendeknya pecah. “Hah! Menarik sekali. Aku mulai mengerti kenapa kau betah mengurungnya, Zevh.”

“Keluar,” ucap Zevh dingin, tanpa menoleh.

Veron berdecak, masih menyeringai. “Ah, manis sekali tawananmu, Zevh. Aku yakin, kau tak akan pernah bosan padanya.” Lalu ia berjalan keluar, meninggalkan keheningan yang menegangkan.

Elara bersedekap, wajahnya dipenuhi amarah bercampur lapar.

“Ucapan temanmu manis, Tuan. Tapi tak ada yang lebih manis dari tingkahku. Aku sudah meminta makanan sejak tadi, tapi kau tetap menolak. Maka biarkan aku keluar mencari makan sendiri.”

Ia menunduk sejenak, perutnya berbunyi keras, lalu buru-buru membuang muka, malu sekaligus benci pada tatapan tajam Zevh.

Lelaki itu masih duduk dengan aura tenang, namun tenang yang justru terasa seperti ancaman.

Dan tiba-tiba...

“Hai!” suara familiar mengejutkan.

Kepala Elara menoleh cepat. Dari jendela yang terbuka, wajah Veron muncul dengan senyum licik. Tangannya mengangkat nampan berisi roti hangat, sup, dan beberapa camilan khas desa Neval. Uap panasnya menggoda.

“Untukmu, gadis bandit,” ucap Veron, menyodorkan nampan.

Elara mendesis, meraih nampan itu tanpa pikir panjang. “Seharusnya aku hancurkan permainan kalian sejak tadi,” sindirnya.

“Dan aku akan tetap menyeringai,” balas Veron, masih nakal.

Elara buru-buru menutup jendela, muak melihat wajah Veron. Ia kembali ke meja, menaruh nampan di hadapannya dan bersiap melahap makanan.

Namun sebelum tangannya menyentuh roti.

“Berani sekali kau memakannya,” suara Zevh datar, namun penuh kontrol. Dengan gerakan pelan tapi pasti, ia menarik nampan itu mendekat padanya.

Elara membelalak. “Jadi ini bukan untukku?” suaranya getir, nadanya meninggi.

Ia meraih salah satu camilan kecil lalu melemparnya ke nampan. “Ambil saja. Biar jelas siapa yang sebenarnya rakus di sini.”

Zevh menunduk, menatapnya seolah membaca pikirannya. “Ini akan jadi milikmu. Setelah kau membereskan kekacauan yang kau buat.”

Tatapan Elara membara. “Dan kalau aku tidak mau?”

“Lalu satu hal lagi,” lanjut Zevh, mengabaikan protesnya, “bereskan tempat tidur untukku. Setelah itu, baru kau boleh memakannya.”

Ia berdiri, mengambil salah satu camilan dan memakannya perlahan di depan Elara. Gerakannya seolah disengaja, memperlihatkan setiap gigitan seakan menekankan kuasa penuh atas dirinya.

Jemari Elara mengepal, bergetar. Tapi akhirnya ia merunduk, memungut pion-pion catur yang berserakan.

Sesekali matanya melirik Zevh, lalu kembali ke nampan yang kini hanya tinggal beberapa jengkal dari tangannya.

Ketika tugasnya selesai, tanpa banyak kata, Elara merebut nampan itu dengan cepat. Ia duduk kembali, mulai melahap makanan dengan rakus, seakan lupa pada harga dirinya.

Zevh tetap berdiri, menatapnya tanpa berkedip, dingin sekaligus tak tertebak.

Sementara Elara mengabaikan tatapan itu sepenuhnya. Saat ini, ia lebih menyayangi perutnya daripada harga dirinya.

Satu suap demi satu suap ia lahap, bukan hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk mengumpulkan tenaga. Tenaga yang suatu hari akan ia gunakan untuk melawan pria yang begitu ia benci di hadapannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!