NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:380
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 Mencari Mata mata ....

Getaran itu berhenti, menyisakan keheningan yang lebih menusuk daripada deringnya. Di telapak tangan Sasha, ponsel itu terasa dingin, seperti artefak dari dunia lain. Nama kontak di layar—Bara ❤️—bersinar sesaat sebelum meredup, kembali menjadi kegelapan.

“Bu? Ibu tidak apa-apa?” Suara Rama memecah mantra itu, nadanya masih bergetar karena euforia yang kini terasa begitu jauh. “Ponsel siapa itu? Wajah Ibu pucat sekali.”

Sasha tidak menjawab. Tangannya yang sedikit gemetar mencoba menekan tombol panggil balik. Satu detik. Dua detik. Tiga. Sebuah suara operator yang dingin dan impersonal menjawab, ”Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar atau berada di luar jangkauan.”

“Tidak mungkin,” bisik Sasha pada dirinya sendiri.

“Apanya yang tidak mungkin?” desak Rama, mencondongkan tubuhnya ke depan dari kursi penumpang. “Bu Sasha, Anda membuat saya takut.”

“Nomor ini… nomor ini sudah mati, Rama. Seharusnya sudah tidak aktif sejak hari pemakaman,” jawab Sasha, suaranya serak. Ia menunjukkan layar ponselnya.

Mata Rama melebar. Ia mengenali nama kontak itu, ikon hati kecil di sebelahnya. “Astaga. Ini pasti… ini pasti perbuatan iseng. Seseorang melakukan caller ID spoofing. Ini kerjaan orang Hadi untuk meneror Anda.”

“Bukan,” potong Sasha, matanya menatap kosong ke jalanan malam yang melesat di luar jendela. “Nada deringnya. Itu nada dering khusus. Hanya aku yang tahu. Tidak ada seorang pun di tim teknis yang bisa mengakses ponsel pribadiku ini. Tidak ada.”

“Lalu… apa?” tanya Rama, kebingungan. “Hantu?”

“Sebuah pesan,” jawab Sasha, nadanya berubah dari syok menjadi dingin yang membekukan. “Seseorang baru saja memberitahuku bahwa mereka bisa menjangkau hal yang paling pribadi dalam hidupku. Seseorang ingin aku tahu bahwa tidak ada tempat yang aman.”

Keheningan menyelimuti mobil itu lagi. Suara gembira dari ponsel Rama yang terus bergetar dengan notifikasi media sosial kini terdengar seperti ejekan. Kemenangan di ranah publik terasa hampa.

“Ini ada hubungannya dengan kebocoran dana itu,” kata Sasha, seolah menyusun kepingan teka-teki di kepalanya. “Hadi tahu kita akan memindahkan uang itu. Ia tahu persis kapan dan bagaimana. Panggilan ini bukan teror acak. Ini adalah unjuk kekuatan. Pelakunya sama.”

“Tikus itu,” gumam Rama, akhirnya mengerti.

“Tepat,” sahasi Sasha. Ia menoleh ke arah Rama, matanya berkilat dengan amarah yang terkendali. “Kemenangan malam ini tidak ada artinya jika kapal kita terus bocor. Kita tidak akan merayakannya. Kita akan berburu.”

“Berburu apa, Bu?”

“Tikusnya,” jawab Sasha. “Putar balik, Pak,” perintahnya pada sopir. “Kita kembali ke kantor. Malam ini juga.”

...****************...

Dua jam kemudian, di dalam ruang rapat strategis yang kedap suara di lantai 50 Menara DigiRaya, hanya ada dengung lembut dari server pendingin dan ketukan jari Bima, kepala divisi keamanan siber, di papan ketiknya. Wajahnya tegang, diterangi oleh cahaya biru dari tiga monitor di depannya. Rama berdiri di sudut, menyeduh kopi ketiga malam itu. Sasha duduk di kepala meja, diam seperti patung, menatap Bima dengan intensitas yang membuat pria itu berkeringat.

“Aku mau log komunikasi semua manajer senior dan direksi,” kata Sasha memecah keheningan. “Email, pesan internal, log panggilan video. Tiga minggu terakhir.”

Bima berhenti mengetik. Ia menelan ludah. “Bu Sasha, dengan segala hormat… itu melanggar puluhan protokol privasi perusahaan. Bahkan almarhum Pak Bara tidak pernah meminta akses seluas ini tanpa surat perintah dari pengadilan.”

“Protokol dibuat untuk melindungi perusahaan, Bima. Bukan untuk melindungi pengkhianat yang mencoba menghancurkannya dari dalam,” balas Sasha tajam. “Hadi Wibowo tahu tentang manuver Dana Phoenix kurang dari satu jam setelah kita melakukannya di ruangan ini. Hanya ada tiga kemungkinan: ruangan ini disadap, salah satu dari kita bertiga adalah pengkhianat, atau seseorang di lingkaran dalam kita yang memberitahunya. Aku bertaruh pada opsi ketiga.”

“Tapi, Bu…”

“Lakukan saja, Bima,” potong Rama pelan. “Ini perintah langsung dari CEO. Tanggung jawab ada pada kami.”

Bima menghela napas pasrah, lalu kembali mengetik dengan kecepatan kilat. “Baik. Saya akan menjalankan algoritma pencarian anomali. Mencari komunikasi ke alamat IP yang terkait dengan firma hukum Hadi, atau lonjakan komunikasi terenkripsi keluar pada jam-jam kritis. Ini akan memakan waktu.”

“Kita punya waktu semalaman,” sahut Sasha.

Satu jam berlalu dalam keheningan yang tegang. Hanya ada suara ketukan dan sesekali gumaman frustrasi dari Bima.

“Nihil,” kata Bima akhirnya, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tidak ada komunikasi langsung. Siapa pun pelakunya, dia pintar. Dia pasti menggunakan perangkat pribadi atau kanal komunikasi di luar jaringan kita.”

“Kalau begitu kita buntu,” kata Rama, terdengar putus asa.

“Tidak,” ujar Sasha. “Kita hanya mencari di tempat yang salah. Jangan cari apa yang dikirim. Cari apa yang diterima.”

Bima mengerutkan kening. “Maksud Ibu?”

“Pengkhianatan selalu ada harganya,” jelas Sasha. “Aku tidak percaya Hadi mendapatkan informasi ini secara gratis. Periksa log keuangan pribadi mereka yang bisa kau akses. Laporan pengeluaran, klaim perjalanan dinas, apa saja. Cari anomali. Pembayaran besar yang tidak wajar, transfer masuk dari sumber yang tidak dikenal.”

“Itu lebih sulit lagi, Bu. Itu sudah masuk ranah perbankan,” protes Bima.

“Kau kepala keamanan siber di perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara, Bima,” balas Sasha dingin. “Aku yakin kau bisa menemukan caranya. Lakukan apa pun yang perlu kau lakukan.”

Perintah itu menggantung di udara, sarat dengan makna yang tak terucapkan. Bima menatap Sasha, kemudian mengangguk pelan. Ia membuka terminal baru, baris-baris kode hijau mulai memenuhi layar. Waktu merayap. Fajar mulai mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga saat Bima tiba-tiba menegakkan tubuhnya.

“Dapat,” bisiknya.

Sasha dan Rama serentak mendekat.

“Bukan transfer uang,” kata Bima, menunjuk ke salah satu layar. “Jauh lebih cerdik. Lihat ini. Gunawan. Kepala Divisi Pengembangan Infrastruktur.”

“Pak Gun?” Rama terdengar tidak percaya. “Dia orang kepercayaan Bara. Dia sudah di sini sejak awal.”

“Tiga minggu lalu, putrinya diterima di universitas di Swiss,” lanjut Bima, jarinya menelusuri baris data. “Biaya kuliahnya luar biasa mahal. Dua minggu lalu, sebuah ‘beasiswa’ anonim dari yayasan pendidikan di Liechtenstein melunasi seluruh biaya empat tahunnya. Yayasan itu… setelah saya gali lebih dalam, ternyata adalah perusahaan cangkang yang dimiliki oleh salah satu anak perusahaan Express Teknologi.”

Jantung Sasha seakan berhenti berdetak. Express Teknologi. Nama yang sama dari flash drive yang ditemukan Bara.

“Hadi bekerja sama dengan mereka,” bisik Sasha.

“Sepertinya begitu,” sahut Bima. “Dan lihat ini. Log akses gedung. Tepat setelah rapat Dana Phoenix, Pak Gunawan tercatat keluar dari gedung melalui pintu darurat di lantai parkir B3, tempat tidak ada CCTV. Dia kembali dua puluh menit kemudian. Cukup waktu untuk bertemu seseorang.”

Sasha memejamkan matanya sejenak. Rasa sakit karena pengkhianatan itu terasa tajam, menusuk di antara kelegaan karena telah menemukan sumbernya. Gunawan. Pria yang menangis paling keras di pemakaman Bara. Pria yang ia hibur secara pribadi.

“Rama,” panggil Sasha, suaranya datar tanpa emosi. “Hubungi Gunawan. Minta dia datang ke ruanganku. Pukul delapan pagi ini. Katakan ada rapat darurat mendadak tentang proyek Nusantara-Net.”

“Baik, Bu.”

“Bima,” lanjut Sasha, menoleh pada kepala keamanannya. “Hapus semua jejak pekerjaanmu malam ini. Tidak ada yang boleh tahu kita melakukan ini. Mengerti?”

Bima mengangguk. “Mengerti, Bu.”

...****************...

Pukul delapan pagi kurang lima menit, Gunawan masuk ke kantor Sasha dengan senyum ramah di wajahnya. “Pagi, Bu Sasha. Tumben sekali rapat sepagi ini. Ada kabar baik dari proyek Nusantara-Net?”

Sasha tidak membalas senyumnya. Ia hanya menunjuk ke kursi di seberang mejanya. “Duduk, Pak Gun.”

Gunawan duduk, senyumnya sedikit memudar melihat ekspresi dingin Sasha. “Ada masalah, Bu?”

“Saya hanya ingin mengucapkan selamat,” kata Sasha pelan. “Saya dengar putri Anda diterima di ETH Zurich. Universitas yang hebat. Pasti biayanya sangat mahal.”

Wajah Gunawan membeku. Kepanikan yang berusaha ia sembunyikan berkelebat di matanya. “Ah… iya, Bu. Kami… kami beruntung, dia dapat beasiswa penuh.”

“Beasiswa dari Liechtenstein, bukan?” lanjut Sasha, menatap lurus ke mata Gunawan. “Dari yayasan yang sama yang ternyata punya hubungan finansial dengan Hadi Wibowo dan Express Teknologi.”

Seluruh warna terkuras dari wajah Gunawan. Ia membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar.

“Bara memercayai Anda,” kata Sasha, suaranya bergetar karena amarah yang ditahan. “Aku memercayai Anda.”

“Saya… saya melakukannya untuk menyelamatkan perusahaan ini!” sergah Gunawan akhirnya, suaranya pecah. “Anda akan menghancurkannya! Manuver-manuver sembrono, wawancara di televisi… itu bukan cara Bara! Hadi punya rencana yang jelas, rencana yang logis!”

“Rencana Hadi adalah menjual perusahaan ini keping demi keping kepada pihak asing,” balas Sasha, nadanya mematikan. “Dan Anda membantunya. Anda menjual warisan Bara untuk biaya kuliah.”

“Anda tidak mengerti!”

“Oh, aku sangat mengerti,” potong Sasha, berdiri. “Aku mengerti bahwa loyalitas Anda bisa dibeli. Bereskan meja Anda. Tim keamanan akan mengantar Anda keluar dalam satu jam. Perjanjian kerahasiaan Anda masih berlaku. Jika satu kata pun tentang ini bocor, pengacara saya akan memastikan beasiswa putri Anda adalah hal terakhir yang bisa Anda bayar.”

Gunawan menatapnya dengan nanar, hancur. Tanpa sepatah kata pun, ia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah gontai, meninggalkan keheningan yang berat di belakangnya.

Sasha tidak merasakan kemenangan. Ia hanya merasa lelah dan semakin sendirian. Ia berjalan ke mejanya, menatap kursi kosong tempat Gunawan baru saja duduk. Pertarungan ini memaksanya memotong bagian-bagian dari masa lalunya, satu per satu.

Pandangannya kemudian jatuh pada sesuatu yang ganjil di atas mejanya. Sesuatu yang tadi tidak ada di sana sebelum Gunawan masuk. Tergeletak tepat di tengah-tengah alas meja kulitnya, sebuah benda kecil berwarna hitam pekat.

Sebuah paket mungil, terbungkus kertas cokelat sederhana tanpa alamat atau tulisan apa pun. Tangannya yang gemetar perlahan membukanya. Di dalamnya, hanya ada satu benda. Sebuah flash drive USB berwarna hitam polos, tanpa merek, tanpa label....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!