Lasmini adalah seorang gadis desa yang polos dan lugu, Ketenangannya terusik oleh kedatangan Hartawan, seorang pria kota yang bekerja di proyek pertambangan. Dengan janji manis dan rayuan maut, Hartawan berhasil memikat hati Lasmini dan menikahinya. Kebahagiaan semu itu hancur saat Lasmini mengandung tiga bulan. Hartawan, yang sudah merasa bosan dan memiliki istri di kota, pergi meninggalkan Lasmini.
Bara, sahabat Hartawan yang diam-diam menginginkan Lasmini. Alih-alih melindungi, Hartawan malah dengan keji "menghadiahkan" Lasmini kepada Bara, pengkhianatan ini menjadi awal dari malapetaka yang jauh lebih kejam bagi Lasmini.
Bara dan kelima temannya menculik Lasmini dan membawanya ke perkebunan karet. Di sana, Lasmini diperkosa secara bergiliran oleh keenam pria itu hingga tak berdaya. Dalam upaya menghilangkan jejak, mereka mengubur Lasmini hidup-hidup di dalam tanah.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya terhadap Lasmini?
Mungkinkah Lasmini selamat dan bangkit dari kuburannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan terakhir Part 1
Bayangan kegelapan telah menyelimuti kediaman Sanjaya. Di balik keheningan yang mencekam, sepasang mata hijau keemasan berkilat penuh dendam. Lasmini, atau lebih tepatnya sosok yang kini ditempati aura Nyai Kencana Dewi, merasakan kekuatan baru mengalir di setiap serat nadinya, namun amarahnya jauh lebih panas dari kekuatan itu sendiri. Percobaan pembunuhan yang dilakukan Bara tadi telah menghapus sisa-sisa kemanusiaan dan belas kasih yang mungkin masih tersisa.
Ia tidak berjalan akan tetapi ia melayang di udara, bergerak lebih cepat dari hembusan angin malam. Gaun tidurnya yang putih kini tampak abu-abu dalam kegelapan, meliuk-liuk seperti bendera kematian yang diusung oleh badai batinnya. Di belakangnya, Darma dan Kanti mengikuti, wajah mereka adalah topeng kesetiaan dan kepuasan yang dingin. Mereka adalah saksi, dan sekaligus penguat, dari langkah pembalasan terakhir putri mereka.
Jarak ke kediaman Hartawan terasa sirna dalam sekejap. Lasmini mendarat tanpa suara di jalan setapak, tepat di depan pagar megah yang mengelilingi rumah Hartawan yang mewah dan buta akan bahaya yang mendekat. Tanpa ragu, ia melayang lagi, tubuhnya naik ke udara, menuju target utamanya yakni kamar tidur Hartawan yang berada di lantai dua.
Ia meluncur ke balkon, bau tubuh Hartawan, aroma kekuasaan dan kepuasan diri telah menusuk hidungnya. Dari balik tirai tipis berwarna putih, pandangannya menembus ke dalam.
Di sana, di ranjang megah, adegan panas yang telah ia saksikan adalah pemicu ledakan terakhir dari batas kemarahannya. Hartawan sedang bersama Kinanti. Wanita itu, yang kini mengandung anak Hartawan selama tujuh bulan, mende sah dalam pelukan suaminya, tanpa menyadari bahwa takdir mereka baru saja menjemput.
Pada saat itu, batas antara Lasmini dan entitas yang merasukinya hancur total.
Amuk Lasmini mencapai puncaknya. Kedua tangannya terangkat, dan seketika asap tebal hitam pekat mengepul darinya, diiringi percikan api berwarna merah darah yang melompat-lompat liar. Kedua matanya berubah total, bola matanya menghilang, menyisakan dua bulatan putih bercahaya yang menatap tanpa belas kasihan. Darah segar tiba-tiba merembes keluar dari sudut mulutnya, menetes ke gaunnya.
Lalu, kengerian sejati muncul.
Sebuah robekan terbuka di perutnya, tempat janin berusia tiga bulan itu pernah bersemayam. Darah dan cairan kental membanjir keluar dari lubang menganga itu, diikuti oleh belatung yang menjijikkan, merayap dan berjatuhan ke lantai marmer balkon. Namun, di tengah kekacauan menjijikkan itu, janin yang terkutuk itu tiba-tiba bergerak, meronta-ronta dari sisa-sisa rahim yang bolong, mengeluarkan suara tangisan melengking yang bukan tangisan bayi, melainkan ratapan duka yang menusuk jiwa.
Lasmini memegang perutnya yang kini bolong, senyumnya menyeringai dalam kesakitan dan kegilaan.
"Anakku," bisik Lasmini, suaranya serak dan bergetar, bergema oleh dua jiwa yang menyatu, "ini adalah tempat ayahmu. Dia telah membunuh kita, dan sekarang kita balas semua perbuatannya!"
Dalam sekejap, janin yang menangis itu terlepas sepenuhnya. Dengan kepala botak yang berdenyut dan mulut penuh taring tajam, ia mendarat di lantai dan mulai merangkak maju, bergerak menuju jendela.
Lasmini menahan napasnya, pandangannya yang putih penuh cahaya terfokus pada kamar tidur. Saat itulah ia melihat Hartawan, yang mungkin merasakan perubahan energi di udara, menoleh ke arah jendela, dan raut wajahnya berubah menjadi kebingungan yang segera diikuti oleh kengerian total.
WHUUSSHH!
Angin kencang yang terasa dingin dari makam menyambar, dan kaca jendela kamar Hartawan pecah berkeping-keping seolah diledakkan. Sebelum debu kaca sempat turun, sebuah bola api sebesar kepalan tangan melesat dari telapak tangan Lasmini, menembus celah jendela yang terbuka. Bola api itu meledak di udara, memancarkan cahaya hijau terang.
Kinanti, yang baru menyadari keberadaan Lasmini di balkon, menjerit histeris. Jeritannya terputus ketika gelombang kejut gaib menghantamnya, membuatnya langsung tak sadarkan diri.
Hartawan terlonjak. Ia berhasil menarik selimut dan mengenakan celananya dengan cepat, gerakan yang didorong oleh insting bertahan hidup. Ia membalikkan badan, matanya yang membesar menatap lurus ke arah balkon.
Di sana, berdiri tegak, adalah sosok paling menakutkan yang pernah ia lihat yakni Lasmini. Rambutnya terurai, mata putihnya bersinar, dan yang paling mengerikan adalah perutnya yang koyak dan bayangan janin bertaring yang merangkak di lantai.
"Lasmi... Lasmini!" teriak Hartawan, tergagap, suaranya tercekat di tenggorokan.
Seluruh tubuh Hartawan gemetar tak terkendali. Wajahnya yang biasa sombong kini pucat pasi, air mata ketakutan dan keringat dingin membasahi dahinya.
"Malam ini tamatlah riwayatmu Hartawan," desis Lasmini, suaranya menusuk bagai pecahan es. Ia menunjuk ke arahnya, dan janin yang merangkak itu berhenti, mengangkat wajah botaknya yang penuh taring. "Kau harus mati di tangan ku dan juga anakmu!"
"Ayah...ayah..ayah...!" panggil bayi menakutkan itu dengan suaranya yang melengking sehingga membuat telinga siapapun yang mendengarnya terasa penging dan juga sakit di telinga.
"Arrkh, dasar sial...!" ucap Hartawan mulai kalang kabut.
Akhirnya tanpa menunggu Lasmini bergerak, Hartawan membalikkan badan, rasa takutnya mengalahkan rasa malu. Ia berlari keluar dari pintu kamar, menuruni tangga dua sekaligus, meninggalkan Kinanti dan janin yang merangkak itu. Dalam kepalanya, hanya ada satu pikiran, yaitu ia harus mencapai lemari besi rahasianya, tempat ia menyimpan jimat penangkal yang diberikan oleh Mbah Loreng, satu-satunya harapan untuk melawan iblis yang berdiri di balkon rumahnya, malam ini adalah malam yang paling buruk untuknya.
Bersambung...