Setelah mati tertembak, Ratu Mafia yang terkenal kejam, dan tidak memiliki belas kasihan. Tamara sang Ratu Mafia, mendapati dirinya bertransmigrasi ke dalam tubuh seorang antagonis novel roman picisan bernama sama.
Harus menjalani pernikahan paksa dengan Reifan Adhitama, CEO berhati dingin dan ketua mafia yang tampan, dan juga terkenal kejam dan dingin. Duda Anak dua, yang ditakdirkan untuk jatuh ke pelukan wanita licik berkedok polos, Santi.
Dengan kecerdasan dan kemampuan tempur luar biasa yang masih melekat, Tamara yang baru ini punya satu misi. Hancurkan alur novel!
Tamara harus mengubah nasib tragis si antagonis, membuktikan dirinya bukan wanita lemah, dan membongkar kepalsuan Santi sebelum Reifan Adhitama terlena.
Mampukah sang Ratu Mafia menaklukkan pernikahan yang rumit, mertua yang membenci, serta dua anak tiri yang skeptis, sambil merancang strategi untuk mempertahankan singgasananya di hati sang Don?
Siapa bilang antagonis tak bisa jadi pemeran utama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hofi03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LAPORAN ROBERT
Saya perkirakan rata-rata kecepatan beliau di jalan tol melebihi 180 km/jam, dan di jalanan kota, manuver beliau sangat agresif dan presisi," lanjut Robert, masih terngiang-ngiang di kepala nya bagaimana, tadi Tamara mengemudi.
Reifan menurunkan cangkir kopinya ke meja. Ekspresinya kini berubah menjadi serius dan penasaran.
"Presisi?" tanya Reifan, mengulang perkataan Robert.
"Ya, Tuan. Nyonya Tamara menyalip dua truk besar di ruang yang sangat sempit, bahkan Nyonya melakukan pengereman mendadak yang hanya bisa dilakukan oleh pembalap profesional dan tidak pernah meleset sedikit pun dari perhitungan. Setiap akselerasi dan deselerasi dilakukan tanpa rasa takut," jawab Robert, menjeda ucapan nya, dan mengambil nafas.
Sepanjang perjalanan, beliau tidak terlihat tertekan, justru menikmati situasi tersebut. Nyonya terlihat tenang dan fokus, Tuan, seolah beliau berada di lintasan balap, bukan di jalan umum," lanjut Robert.
Reifan menyilangkan tangan di dada, senyum kecil, senyum tipis yang penuh makna muncul di wajahnya.
"Dan kau, Robert?" tanya Reifan, tersenyum miring.
Robert terdiam sejenak, tidak langsung menjawab pertanyaan dari Tuan nya, jujur saja Robert tidak suka mengakui kelemahannya, terutama kepada Reifan.
"Tuan, Saya akui, saya mengalami ketakutan yang mendalam. Saya harus mengakui bahwa saya belum menyiapkan diri untuk menghadapi calon istri Anda yang memiliki bakat mengemudi seperti itu. Saya sempat mencengkeram sabuk pengaman dengan sangat erat, Tuan. Nyonya bahkan sempat bertanya mengapa saya, sebagai pengawal Anda, takut pada kecepatan," jawab Robert, menceritakan keadaan dirinya waktu di dalam mobil tadi.
"Jadi, si Robert yang kaku ini akhirnya bisa merasa takut. Menarik. Dia tidak hanya menguji Azka dan Alvero. Dia juga menguji mu, Robert. Dia ingin melihat bagaimana dia bisa menggoyahkan simbol ketenangan dan ketegasan di sini. Dia tahu Robert yang panik pasti akan melapor padaku," ucap Reifan tertawa kecil, tawa yang langka dan mengejutkan.
"Saya minta maaf karena kehilangan ketenangan saya, Tuan. Tapi saya harus melapor: Nyonya Tamara adalah pengemudi yang berbahaya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, Tuan keahliannya itu setara dengan keahlian bertarung. Cepat, brutal, dan sangat mematikan," ucap Robert menunduk sedikit, merasa malu.
Reifan kembali memandang keluar jendela, senyumnya kini semakin lebar.
"Begitu rupanya. Dia ingin aku tahu, dia ingin aku tahu bahwa dia bukan hanya seorang seorang Ratu yang bermain dengan grant, melainkan wanita yang mampu mengendalikan mobil balap seolah itu adalah senjata, dan membuat bawahan ku yang paling handal hampir bertemu malaikat maut," ucap Reifan, tersenyum miring.
"Terima kasih atas laporan jujurmu, Robert. Kau boleh pergi. Sekarang, mari kita lihat bagaimana Ratu Mafia itu akan menghadapi dua Pangeran Kecil ku," ucap Reifan menoleh kembali ke Robert, matanya bersinar penuh tantangan.
Robert membungkuk sekali lagi dan dengan langkah cepat, ia meninggalkan ruang kerja Reifan, menutup pintu di belakangnya dengan kelegaan yang tak terlihat. Punggungnya masih terasa tegang. Meskipun telah didisiplinkan untuk tidak menunjukkan emosi, pengalaman beberapa menit di dalam mobil itu benar-benar menguji batas kemanusiaannya.
Di dalam ruangan, Reifan tetap di tempatnya. Dia tidak langsung bergerak ke ruang pengawasan. Sebaliknya, dia berjalan menuju mejanya, meletakkan tangannya di atas permukaan kayu mahoni yang dingin, matanya menatap kosong ke kejauhan.
"Dia bukan hanya membaca data," gumam Reifan, mengulangi kalimatnya sendiri dari pagi. "Dia merancang strategi yang sempurna, berdasarkan titik lemah."
Pikirannya menganalisis laporan Robert dan interaksi yang pasti sedang berlangsung di bawah.
Robert: Keahlian mengemudi setara keahlian bertarung. Cepat, brutal, dan mematikan. Dia ingin mengirim pesan padaku. Aku tidak takut pada bahaya, dan aku bisa mengendalikan apa pun yang aku pegang.
Azka: Kebutuhan validasi intelektual. Dia akan berbicara tentang strategi, kelemahan, dan Blind Spot. Azka akan melihatnya sebagai sekutu, bukan musuh.
Alvero: Rasa takut ditinggalkan dan kebutuhan figur pelindung. Dia akan berjanji untuk melindungi, memberikan rasa aman, dan menggunakan bahasa pertahanan.
Reifan menyeringai, senyum kali ini tidak tipis lagi, tapi penuh kekaguman yang tersembunyi.
"Tamara. Kau adalah pemain yang hebat," ucap Reifan pelan, seolah sedang memanggil nama lawannya di papan catur.
Rencana awal Reifan adalah membiarkan anak-anaknya menolak Tamara, membuat wanita itu frustrasi, dan membuktikan bahwa kecerdasan strategisnya di dunia bisnis tidak akan berlaku di rumah. Dia berharap Tamara akan melakukan kesalahan klasik: memaksa, menyuap, atau marah.
Namun, Tamara tidak melakukan satu pun dari hal itu. Dia datang sebagai validator untuk yang cerdas dan pelindung untuk yang takut. Dia berbicara tentang Blind Spot, sebuah konsep yang sangat mendasar dalam strategi militer yang akan langsung menyentuh kebanggaan intelektual Azka. Dan dia menggunakan mobil mainan Alvero, benda yang ia anggap remeh, untuk membangun narasi perlindungan.
"Dia tidak hanya ingin anak-anakku menerimanya, tapi dia ingin mereka membutuhkannya," gumam Reifan.
Jika Azka melihatnya sebagai guru strategis yang dapat memberinya validasi yang tidak didapatnya dari sang Ayah yang sibuk, dan jika Alvero melihatnya sebagai benteng pertahanan dari rasa takutnya, maka dua benteng yang dibangun Reifan untuk menolak Ibu Tiri akan runtuh dari dalam.
Reifan menarik napas panjang, dia tidak marah, justru Reifan tertantang. Rasanya seperti menghadapi lawan bisnis yang paling licik, tetapi di arena rumah tangganya sendiri.
"Damian," panggil Reifan, nadanya kembali menjadi dingin dan otoritatif, tetapi dengan nuansa kegembiraan yang aneh.
Ceklekk
Pintu terbuka dan Damian, sekretaris pribadi Reifan, masuk dengan wajah tegang.
"Ya, Tuan?" jawab Damian, sopan.
"Batalkan semua pertemuan pagi ini. Aku ingin kau memastikan tidak ada gangguan apa pun di ruang keluarga. Kepala pelayan harus bersiaga, tetapi tidak ada yang boleh menguping atau mengganggu interaksi mereka."
"Baik, Tuan. Tapi Tuan tidak akan mengawasinya?" tanya Damian hati-hati, tahu bahwa Reifan biasanya ingin mengendalikan segalanya.
Reifan tersenyum, kali ini senyum itu terlihat seperti predator yang menemukan mangsa yang layak.
"Tentu saja aku akan tetap mengawasi nya, walaupun aku yakin dia sudah membaca laporanku. Dia tahu aku mengawasi nya," jawab Reifan, dingin.
Reifan berjalan menuju lemarinya, mengeluarkan sebotol single malt Scotch terbaiknya, dan menuangkannya sedikit ke dalam gelas kristal.
"Kali ini, aku akan membiarkannya sedikit bergerak. Aku akan melihat betapa jauh dia berani melangkah. Dia ingin bermain catur, maka aku akan memberinya papan catur. Tapi dia lupa," ucap Reifan menyesap Scotch nya, matanya menyipit penuh perhitungan.
"Dalam permainan ini, meskipun dia adalah ratu, aku tetaplah Raja," lanjut Reifan, masih dengan ego yang tinggi.
"Biarkan dia membangun aliansi. Aku akan mengawasi nya dari ruang pengawas," pungkas Reifan, menikmati keheningan yang sekarang menyelubungi ruang kerjanya.
Dia bisa merasakannya. Bentengnya sedang diserang oleh seorang ahli, dan dia hanya perlu mengawasi dan mencari celah untuk bertindak.